Pijar Vatikan II: Ekaristi Hidup Seorang Siska Harinowo (38E)

0
470 views
Ilustrasi: Misa PalingSah bersama Mgr. Ignatius Suharyo tahun 2016 (Mathias Hariyadi)

KONSILI Vatikan II mengajarkan dengan jelas bahwa Ekaristi adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja.

Dengan pelbagai penjelasan, Ekaristi sebagai puncak dan sumber kehidupan Gereja itu dirumuskan dalam konstitusi-konstitusi penting Lumen Gentium tentang Gereja dan Sacrosanctum Concilium tentang liturgi suci.  

Tentu saja dokumen Konsili Vatikan II yang lain, seperti Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam Presbyterorum Ordinis, juga mencantumkan peran sentral Ekaristi dalam tugas utama para imam dalam melayani umat.

Seperti sebagian terbesar umat kita, Ibu Siska tentu tidak “kerajinan amat” untuk membaca dokumen-dokumen Konsili Vatikan II tentang Ekaristi itu.

Walau mungkin Bu Siska tidak pernah membaca dokumen Konsili yang “teologis” dan “teoretis” itu, tidak berarti Bu Siska tidak memahami makna Ekaristi dan menghayatinya.

Makna Ekaristi

Lebih dari sekedar mengetahui dengan “kepala”, Ibu Siska sudah mempraktrikkan dan menghidupi nilai utama Ekaristi itu dalam hidupnya. Ekaristi itu dari kata Yunani eucharistein, yang artinya bersyukur.

Dalam syukur itu ada eulogein, pujian untuk kemuliaan karya Allah. Karena Ekaristi adalah peristiwa cinta, maka syukur dan pujian itu juga tanggapan untuk peristiwa kasih itu.

Kata Yesus kepada para muridNya pada malam Perjamuan Terakhir: “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Aku”.

Bu Siska dipanggil Tuhan pada Hari Raya Tubuh dan Darah-Nya.

Kepada kita yang ditinggalkan, Tuhan seolah hendak bersabda: “HambaKu Siska, hari ini Kupanggil masuk ke dalam Kerajaan Surga, karena ia telah Saya anggap cukup menjadi abdiKu yang setia. Dalam hidupnya, Siska telah menjadi kepanjangan hati-Ku dan tanganKu sebagai roti yang terpecah dan anggur yang tercurah. Bersama-Ku, Siska telah menjadi roti yang hidup.”

Ekaristi, sumber hidup

Dari mana Ibu Siska memiliki energi cinta yang begitu besar? Dari mana “emak sejuta umat” ini terus menjadi penebar kasih yang tak pernah lelah?

Jawabnya mungkin kembali pada ekaristi, hal yang sangat dicintai bu Siska. Anda bisa membayangkan, apa jadinya Gereja kita ini tanpa Ekaristi?

Anda bisa membayangkan apa jadinya Gereja kita ini kalau tidak ada misa hari Minggu?

Agama macam apa bisa kita jalani tanpa doa, tanpa kebersamaan ibadat, tanpa ada bacaan dan renungannya, tanpa nyanyian, tanpa imam tertahbis yang memimpin, tanpa roti yang dibagikan?

Tanpa Ekaristi, tanpa misa, kita cuma akan jadi pemeluk sebuah agama tanpa bentuk. Boleh saja selalu ada nada kritik pada semua agama: percuma doa, kalau kelakuan minus. Percuma rajin ke gereja, kalau korupsi jalan terus.

Misa Palingsah bersama Mgr Ignatius Suharyo di tahun 2016 – by Mathias Hariyadi

Ada kurun waktu ketika tahun 1998-an dulu, kami para imam kelompok relawan mempopulerkan istilah “altar” dan “pasar”.

Yang jelas, dalam kekurangan dan keterbatasan itu, kita tak bisa mengingkari kenyataan bahwa Ekaristi itu mempersatukan.

Misa itu kegiatan yang paling digemari orang Katolik. Tak bisa diingkari, betapa umat kita sangat senang, gembira dan sepenuh hati kalau latihan koor mempersiapkan misa.

  • Berapa banyak bapak dan Ibu yang rela meninggalkan kesibukan pekerjaan dan keluarga untuk menjalankan tugas sebagai Prodiakon dan Prodiakones.
  • Betapa semangatnya anak-anak dan remaja kita menjadi putra atau putri altar.
  • Betapa semangatnya imam dan umat kita, kalau mengumpulkan dana membangun gereja.

Pernah terjadi, seorang office boy pada sebuah kantor besar dengan seribu karyawan lebih, menikah di Gereja Regina Caeli Paroki Pantai Indah Kapuk. Calon isterinya kebetulan aktifis Mudika paroki itu.

Betapa kagetnya sebelum turun dari mobil, ia melihat bos besar konglomerat pemilik perusahan tempat ia bekerja, lagi jadi tukang parkir gereja ngatur mobil yang ia tumpangi.

Yang semacam itu hanya terjadi di gereja yang merayakan ekaristi.

Ibu Siska, menjadi isteri yang setia, ibu yang baik dan emak untuk sejuta sahabat-sahabatnya, karena seperti dalam Ekaristi. Ia merangkul semua dengan penuh cinta.

Ketika Ekaristi dirayakan, yang datang dan merasakan kehadiran kasih Tuhan itu adalah umat yang diterima apa adanya, tak peduli siapa pun dia: hitam, putih, kaya, miskin, tua, muda.

Ilustrasi: Perayaan Ekaristi di Ibukota Lima di Peru oleh Romo Michael Agung O.Carm. (Ist)

Para imam tak pernah berhenti mensyukuri “mujizat Ekaristi” itu. Bagaimana mungkin tanpa perlu harus menunjukkan KTP atau tanda pengenal, setiap imam bisa merayakan misa di gereja dan paroki mana pun di seluruh dunia ini.

Kadang di gereja yang  penuh umat, hanya imam itu yang matanya sipit, kulitnya sawo matang dan rambutnya lurus.

Tuhan memanggil Ibu Siska pada Hari Raya Tubuh dan Darah Tuhan, seolah mau memberi “mahkota” pada hamba-Nya yang selalu merangkul dan memberi cinta kepada siapapun tanpa pandang suku, agama dan usia.

Bu Siska juga sangat mencintai para imam, karena ia tahu para imam itulah yang juga menjadi tanda kasih dan persatuan nyata antara umat dengan Tuhannya.

Tipe imam merakyat, yang “nggak banyak mulut”, yang kotbahnya sederhana, yang dekat dengan umat, adalah tipe imam yang sangat disukai Bu Siska.

Imam dan Uskup Emeritus Keuskupan Agung Pontianak yang sederhana seperti Mgr. Hieronimus Bumbun OFMCap adalah sosok yang sangat dicintai Bu Siska. “Mgr. Bumbun itu ‘bapa’k saya,” katanya dalam banyak kesempatan. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here