MUSIBAH meninggalnya 16 anggota Xaverian di Parma di tengah wabah coronavirus, tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam bagi Konggregasi Serikat Xaverian dan Gereja Italia, tetapi juga bagi Gereja Indonesia.
Dua orang dari 16 imam dan bruder Xaverian yang meninggal itu pernah bekarya sebagai misionaris di Indonesia.
- Romo Corrado Stradiotto SX, pada tahun 1967 sampai 1975 berkarya di Padang sebagai Procurator Keuskupan Padang.
- Romo Stefano Coronese SX, dua kali bertugas di Indonesia. Yang pertama, pada tahun 1968 sampai 1971 sebagai Pastor Rekan di Paroki Sikakap dan Padang Baru. Yang kedua, dari tahun 1979 sampai 1981, setelah mempelajari bahasa Mentawai, ia bekerja sebagai Pastor Rekan di Siberut. Dari tahun 1982 sampai 1987, ia diminta pimpinan Xaverian untuk membantu Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Padang. Umat di Keuskupan Padang akan terus mengenang Romo Coronese sebagai Pendiri Komsos Keuskupan.
Serikat religius untuk misi
Serikat Xaverian (SX) sendiri adalah sebuah Kongregasi Religius Gereja Katolik yang mengkhususkan diri bagi karya misi. Anggotanya biasa dikenal dengan sebutan Xaverian.
SX didirikan oleh Mgr. Guido Maria Conforti pada tahun 1895 di Parma, Italia.
Serikat Xaverian memiliki nama aslinya adalah Pia Societa di San Fransisco Saverio per le Missioni Estere (Kongregasi Santo Fransiskus Xaverius bagi Karya Misi).
Pada masa remaja, Conforti memang kagum pada figur Santo Fransiskus Xaverius. Sejak saat itu ia memiliki impian untuk menjadi seorang misionaris dan berkeinginan melanjutkan karya misi Santo Fransiskus Xaverius di Tiongkok.
Oleh karena itu kongregasi yang didirikannya, menjadikan sosok missionaris agung itu sebagai nama dan pelindungnya.
Di Indonesia, para Xaverian datang pertama pada 24 Juli 1951. Waktu itu, ada 8 orang imam misionaris Xaverian yang terusir dari Tiongkok tiba di Sumatera Tengah. Mereka kemudian berpencar dan datang ke Bagan Siapiapi, Padang, dan Bukit Tinggi.
Karya pertama para misionaris Xaverian awal adalah mengelola Vikariat Apostolik Padang yang baru terbentuk.
Pada tahun 1953 karya di Pekanbaru mulai dibuka. Tahun berikutnya SX datang ke Kepulauan Mentawai, kemudian dilanjutkan ke Selat Panjang, Sawahlunto, Payakumbuh, dan Padang Panjang.
Sekarang ini, para imam Xaverian (SX) melayani umat di:
- Keuskupan Padang: Muara Siberut Mentawai, Padang Baru, Bukit Tinggi, Payakumbuh, Pekanbaru.
- Keuskupan Agung Medan: Aek Nabara.
- Keuskupan Agung Jakarta: Pra-Novisiat dan Novisiat Bintaro, Skolastikat dan Prokurator Cempaka Putih, Paroki Toasebio, dan Paroki Santo Mateus Penginjil Bintaro, Tangsel.
Di seluruh dunia, menurut data tahun 2017, tercatat ada 707 imam, bruder dan missionaris SX yang berkarya di sekitar 150 komunitas Xaverian, yang hadir di 20 negara.
Xaverian ada di Eropa, Afrika, Asia dan Amerika.
- Di Asia, para missionaris Xaverian ada di Indonesia, Bangladesh, Jepang, Hong Kong.
- Di Afrika hadir di Kongo, Kamerun, Burundi, Sierra Leone.
- Di Amerika Latin, Xaverian hadir di Mexico, Brasil, Peru, Colombia
- Amerika Serikat.
Pendiri Serikat Xaverian, Mgr. Guido Conforti, meninggal dunia pada 5 November 1931 dan dimakamkan di rumah induk Xaverian di Parma.
Pada 17 Maret 1996, Paus Yohanes Paulus II menyatakan Guido Maria Conforti sebagai Beato, dan pada 23 Oktober 2011, Paus Benediktus XVI menyatakan Mgr. Conforti sebagai Santo.
Para gembala yang berbau domba
Mengenang 16 Xaverian yang meninggal di Parma, Superior Jenderal Xaverian Pater Fernando García Rodríguez SX dan Wakilnya Pater Mario Mula SX, menyampaikan pesan mereka melalui video conference sebagai berikut:
“Preghiamo perche Il Signore ricompensi l’offerta della loro vita per la missione di Cristo. Seguendo il loro esempio, restiamo immersi in questa storia, vivendo e soffrendo con l’umanità ferita. In questo momento di prova sono vive le parole e lo spirito del nostro fondatore Conforti che così definiva la nostra missione: fare del mondo una famiglia”
(Kita berdoa semoga Tuhan membalas persembahan hidup saudara-saudara kita yang meninggal dalam menjalankan amanat perutusan Kristus. Dengan meneladan mereka, marilah kita renungkan kejadian sedih ini serta kita satukan diri kita dengan umat manusia yang juga terluka dan menderita. Di saat penuh cobaan ini, marilah kita tetap mengingat pesan pendiri kita Mgr.Conforti dalam mendefinisikan perutusan kita, yakni : menjadikan dunia ini satu keluarga).
Saya tidak tahu, apakah dengan kejadian memilukan 12 Xaverian meninggal dalam waktu 3 minggu ini, Paus Fransiskus sudah menelpon langsung Pater Jenderal Xaverian. Yang pasti, Paus Fransiskus sudah menelpon langsung Uskup Bergamo, Keuskupan yang paling banyak kehilangan imamnya karena virus corona.
Pada tanggal 18 Maret 2020 pagi hari, Paus Fransiskus menelpon langsung Mgr. Francesco Beschi, Uskup Keuskupan Bergamo.
Paus menanyakan kondisi terakhir para korban coronavirus di Bergamo yang sangat parah itu. Paus sangat terpukul mendengar jumlah korban meninggal begitu banyak. Secara khusus Paus menyatukan doa untuk para dokter, perawat, petugas kesehatan, otoritas sipil, penjaga ketertiban dan keamanan yang tak kenal Lelah berjuang di garis depan melawan musibah ini.
Kepada para imam yang gugur dalam musibah ini, kata Mgr. Beschi, Paus memuji mereka sebagai “pastori con l’odore delle pecore” (gembala yang baunya domba. Gembala yang baju dan keringatnya sama seperti yang dipakai dan dimiliki domba-dombanya. Dan akhirnya, kepada umat Keuskupan Bergamo, Paus mengajak secara khusus berdoa kepada Santo Yohanes XXIII, pelindung dan Santo kebanggaan umat Bergamo.
Antara harapan dan kenyataan
Tentu saja, kepada saudara atau rekan yang sudah meninggal, kita biasanya diminta untuk mengenang hal-hal yang baik dari yang meninggal.
Maka hampir tidak ada, “obituary” atau kenangan bagi yang meninggal berisi caci maki dan penyesalan pada yang meninggal.
Maka Superior Jendral Xaverian dan bahkan Paus pun, memberi “kenangan indah” bagi para Xaverian yang meninggal dan para imam yang gugur karena musibah virus corona ini.
Bagi saya, ucapan Paus Fransiskus bagi para imamnya di masa sulit wabah corona ini, yang diulang di banyak kesempatan yakni: “pastori con l’odore delle pecore” (gembala yang semestinya berbau domba), isinya sangat mendalam, menyentuh dan “pas”.
Kalimat itu merumuskan harapan dasar panggilan imamat seorang imam yaitu menjadi gembala yang baik dan merasakan benar suka duka domba-dombanya, sampai-sampai bau keringatnyapun sama dengan keringat dombanya.
Justru di tengah kegalauan umat manusia 190 negara lebih karena pandemi coronavirus ini, seruan Konsili Vatikan II pada Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, artikel 1 jadi terasa benar relevansinya :
“Gaudium et spes luctus et angor hominum huius temporis, pauperum praesertim et quorumvis afflictorum, gaudium sunt et spes, luctus et angor etiam Christi discipulorum, nihilque vere humanum invenitur, quod in corde eorum non resone”
(Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga).
Bukankah oleh Paus Fransiskus, seruan Gaudium et Spes artikel 1 ini lalu dibahasakan dengan kalimat lain: pastori con l’odore delle pecore, gembala dengan bau keringat domba ?
Nah, perkaranya apakah idealisme Gaudium et Spes, bahkan “produk” Konsili Vatikan II yang lain yaitu Dekrit tentang kegiatan misi Ad Gentes (yang sudah sangat baik dihayati para imam Xaverian) serta merta telah dilakukan?
Tragedi ketidakcocokan antara “harapan dan kenyataan”, nampaknya akan terus menjadi tragedi abadi manusia dan kemanusiaan ini.
Memutuskan diri menjadi imam, bahkan tidak akan pernah luput dari “tragedi ini”.
Para imam yang meninggal karena wabah virus corona dan kita doakan khusus, juga tidak luput tragedi tidak cocoknya harapan dan kenyataan.
Kalau kita bertanya jujur, apakah para imam itu sebaiknya cepat meninggal saja daripada sakit berkepanjangan, bisa dipastikan jawaban umat banyak yang mengatakan ya!
Mungkin sama banyaknya dengan mengataka : sayang imam itu meninggal sekarang. Umat masih membutuhkan kesaksian hidup imam hebat macam mereka.
Atas saran pembimbing rohani saya seorang Romo Jesuit, saya pernah mengadakan “retret intensif” dengan oran tua dan adik-adik saya di rumah kami di Muntilan.
Pada kesempatan itu, kepada adik-adik saya lontarkan pertanyaan begini: “Tolong jawab dengan jujur, dalam keluarga kita ada dua imam. Untuk kalian, apakah kakak adik kalian yang imam itu, ada gunanya dan berperan dalam hidup kalian?”
Semua adik saya menjawab satu per satu: “jujur, tidak ada!”
Untuk mereka, para imam itu cukup dianggap sebagai tukang doa dan misa saja. Kalau mereka ada kesulitan rumah tangga, ngurus anak, ngurus pekerjaan, boro-boro minta bantuan Romo.
Ingat juga nggak. Boro-boro konsultasi pribadi atau bahkan ngaku dosa kepada saudaranya yang jadi imam.
- Adik-adik saya juga tidak pernah bangga punya saudara imam. Ikut sebel dan marah iya, kalau ada gosip miring tentang saudaranya yang jadi imam.
- Adik-adik saya juga tidak pernah sedikit pun menunjukkan rasa kagum kalau saudaranya yang imam itu meraih gelar doktor dari Universitas mentereng di luar negeri.
- Adik-adik saya juga tidak senang-senang amat, apalagi kagum kalau saudaranya imam berfoto dengan pejabat atau tokoh dunia.
Untung, para imam itu –kendatipun “kurang atau bahkan tidak diterima” oleh keluarganya– ternyata masih “terpakai” oleh umat.
Yang saya alami, malah lebih dahsyat. Yang menerima saya dengan tulus, apa adanya, justru karena tahu siapa saya sebenarnya dan senyatanya adalah teman-teman saya para imam.
Saya tak pernah berhenti bersyukur, dalam hidup saya Tuhan memberi saya begitu banyak teman-teman imam yang sangat baik.
Sejak saya lahir sampai hari ini, rasanya Tuhan memberi saya teman-teman imam yang sungguh baik.
Kali ini, saya menulis panjang tentang “drama pandemi coronavirus” yang “membunuh” begitu banyak imam di Italia, karena saya mau mengingat di negara yang sudah menjadi “Tanahair saya yang kedua” itu, saya ternyata pernah menemukan sahabat-sahabat imam yang luar biasa.
Sedihnya, dua imam yang menjadi sahabat sejati saya sejak di Roma, meninggal secara tragis di masa wabah coronavirus menghantam Itali.
Mereka adalah:
- Padre Corrado Stradiotto SX, seorang imam Kongregasi Xaveriam.
- Don Antonio Simoni Pr, seorang imam projo Paroki Calcinaia Keuskupan Pisa.
Padre Stradiotto meninggal di Parma 7 Maret 2020 dalam usia 86 tahun dan Don Antonio meninggal di Pastoran Calcinaia pada tanggal 18 Maret 2020.
Kedua sahabat kami ini tidak divonis meninggal karena coronavirus, namun patut diduga memburuk belakangan ini, karena semua sedang dalam darurat coronavirus.
Padre Corrado Stradiotto SX, Con l’Indonesia nel cuore
Dengan Indonesia selalu di hatinya.
Romo Gerardo Caglioni SX, pada bulan Mei 2009, menulis tentang Romo Corrado Stradiotto SX di majalah internal SX “Missionari Saveriani”.
Romo Caglioni menulis tentang Romo Stradiotto yang baru saja diangkat menjadi Rektor dan Ekonom Generalat Xaverian di Vialle Vaticano, belakang tembok Vatikan itu. Judul tulisannya : “Con l’Indonesia nel cuore P. Corrado : rettore, economo a Roma” (Dengan Indonesia di hatinya, Padre Corrado menjadi Rektor dan Ekonom di Roma).
Tidak ada yang menyangka, bahwa yang menulis dan yang ditulis sama-sama meninggal pada bulan “Maret Kelabu” 2020 di rumah induk Xaverian di Parma.
Siapap un yang pernah datang ke Generalat Xaverian di belakang tembok Vatikan itu, pasti mengenal Romo Stradiotto.
Menurut Romo Caglioni, Padre Stradiotto adalah sosok yang “poche parole, tanti fatti”. Sedikit bicara banyak kerja. Ia juga “uomo per tutte le Stagioni”, man for all seasons, karena mampu melaksanakan tugas dan permintaan apa pun.
Padre Corrado Stradiotto adalah “Menteri Keuangan” Generalat SX yang andal. Ia tidak hanya mampu mengurus keuangan SX untuk missinya ke seluruh dunia, namun juga urusan rutin yang nampaknya sepele namun vital yaitu: belanja keperluan dapur, memesan tiket pesawat, mengurus macam-macam pertemuan dsb.
Padre Stradiotto sosoknya tinggi besar. Gagah. Kelihatannya menakutkan. Namun begitu melihat senyum dan mendengar suaranya yang kalem, rasanya semua jadi adem. Paling tidak sebulan sekali, saya datang bertemu Romo Stradiotto.
Romo Roy Djakarta, mantan Romo Ekonom KAJ, mempercayakan urusan keuangan sekolah saya kepada Romo Stradiotto. Maklum saya diosesan Keuskupan Agung Jakarta yang pertama yang pernah bekerja di Paroki Xaverian.
Jadi saya sudah dianggap “anak sendiri” oleh Romo-romo Xaverian. Ketika saya datang di Roma pertama kali bersama Romo Jack Tarigan Pr, kami menginap di Generalat SX sebelum resmi masuk asrama.
Dan benar kata Romo Caglioni, dalam diri Romo Stradiotto ada Indonesia di hatinya. Entah mengapa, kepada sosok yang punya hati yang tulus dan baik seperti Romo Stradiotto, saya menemukan sosok sahabat yang sejati.
Memang itu semula karena semua urusan uang saku, kebutuhan libur, beli buku dsb dengan mudah saya minta dari Romo Stradiotto.
Tetapi kemudian, karena ada “hati” pada Indonesia, saya merasa Romo Stradiotto juga menjadi teman bicara yang baik. Saya bisa bicara tentang apa saja dan beliau juga bisa meminta masukan dari saya mengenai banyak hal.
Karena kesederhanaan, keandalan dan ketulusannya, Romo Stradiotto juga saya jadikan Bapak Pengakuan saya.
Bagi saya, sahabat imam yang sederhana, punya hati yang baik dan meneduhkan, adalah seorang rekan imam yang suci, yang pantas saya jadikan teladan dan mitra dalam berziarah memapaki kehidupan rohani ini.
Kepergian Romo Stradiotto, menjadi semacam “wake-up call” agar iman ini mesti tetap dihayati serius, sama seperti kami dulu pernah akrab bersama-sama mencari jawabnya dalam terang Tuhan.
Selamat jalan Romo Stradiotto, selamat jalan sahabat sejatiku! Doakan kami dari surga sana untuk peziarahan hidup saya ini dan lebih-lebih untuk Indonesia yang Padre cintai yang kini sedang dirundung duka karena musibah corona ! L’eterno riposo dona a lui, o Signore, e splenda ad ea la luce perpetua. Riposi in pace caro Padre Straditto !
Don Antonio Simoni, sahabat sejati para imam indonesia
Teman-teman imam dari Indonesia, yang pernah belajar di Roma dan tinggal di Collegio-collegio Propaganda Fide, banyak yang mengenal Don Antonio Simoni, seorang imam diosesan sederhana dan ramah dari paroki Calcinaia, Keuskupan Pisa.
Setiap Natal dan Paskah tiba, Don Antonio selalu mengundang satu atau dua imam dari Indonesia untuk datang membantu misa dan pengakuan dosa umat paroki.
Saya pernah tanya, sudah berapa imam Indonesia yang pernah membantu dan mengapa Indonesia?
Dijawab : “tak terhitung lagi”.
Sejak tahun 1970-an ketika masih bertugas di Paroki Forte Dei Marmi, sudah puluhan imam Indonesia yang saya undang datang. Semua saya jadikan teman. Saya senang dengan Indonesia, karena kalian baik, senang bercanda, mudah akrab, mudah bersahabat. Itu cocok dengan kultur Toscana kami.
Cita-cita saya sebelum meninggal: pengin datang ke Indonesia kalau diundang menghadiri imam Indonesia yang saya kenal diangkat menjadi Uskup.
”Sayang
Don, cita-cita datang ke Indonesia menengok Tanahair kami yang kamu cintai itu
tidak terlaksana. Sedih rasanya, Don Antonio sudah begitu baik pada kami, hanya
untuk cita-cita naik pesawat datang ke Indonesia kok tidak terlaksana.
Don Antonio telah puluhan tahun menjadi Pastor Paroki Calcinaia, kota kecamatan sebelah kota Pontedera pusat industri motor terkenal Vespa. Sebelum bertugas di Calcinaia, imam yang lahir pada tahun 1933 ini pernah bertugas di Paroki Castelmaggiore, di Pagnatico e San Giorgio dan Visignano, comune Cascina.
Pada Facebook Paroki Calcinaia, umat meratapi kepergian imam parokinya yang luar biasa ini.
“Se n’è andato uno dei parroci più amati da tutti i cittadini di Calcinaia, fedeli e non. Il suo proverbiale buon umore, la disponibilità ad ascoltare e ad affrontare qualsiasi situazione con serenità e con un sorriso dipinto in volto, ha fatto di don Antonio Simoni un punto di riferimento per molte generazioni di calcinaioli”
(Telah berpulang satu imam Paroki yang paling dicintai seluruh umat dan masyarakat Calcinaia, yang Katolik maupun yang tidak. Humornya, kesediaannya mendengarkan, kemampuannya menghadapi situasi apapun dengan ketengan dan senyum di wajahnya, membuat don Antonio menjadi panutan dan rujukan seluruh umat dan masyarakat Calcinaia dari pelbagai generasi).
Untuk imam yang begini baik, sebenarnya umat ingin menyelenggarakan upacara besar. Penghormatan sebesar apa pun, rasanya tidak akan pernah cukup diberikan pada imam sebesar Don Antonio Simoni.
Masih terbayang, pertama kali ia ngajari saya membuat caffe espresso yang enak. Masih terbayang guyonan-guyonan lepasnya yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Tapi lebih dari itu, masih akan terus kami jadikan warisan kenangan, masih ada imam-imam yang hebat dan pribadi-pribadi yang sangat istimewa di Itali seperti Don Antonio.
Ia anak tunggal. Walau begitu ia dan kedua orangtuanya rela menyerahkan seluruh hidupnya untuk Gereja. Don Antonio adalah gembala yang baik, yang sangat mengenal domba-dombanya. Berapa kali saja musim panas, saya lewatkan dengan tinggal di Paroki Calcinaia mengganti Don Antonio ketika ia retret atau libur dengan mudika Paroki.
Betapa saya tahu dan merasakan, bagaimana indahnya hidup beriman dan berparoki kalau antara umat dan gembalanya bisa begitu dekat.
Kalau adik-adik saya di rumah tidak membutuhkan kehadiran kakak-adiknya yang menjadi imam, di Calcinaia saya melihat dan merasakan betapa imam itu hadiah terindah untuk umat dan sebaliknya umat itu hadiah terindah untuk imamnya.
Di dalam diri Don Antonio Simoni, saya melihat imamat itu indah karena antara harapan dan kenyataan penghayatannya memang “cucok”.
Don Antonio pergi, ketika tragedi wabah coronavirus telah merenggut nyawa lebih dari 10.000 orang di negara yang sangat indah dan sangat Katolik ini, seolah menjadi simbol keindahan imamat Don Antonio Simoni.
Ia pergi dalam sepi. Ia pergi dalam kesendirian.
Kepergian seorang imam yang benar-benar sudah menjadi tulang punggung, hati dan kepala paroki sebesar Calcinaia ini, di masa keprihatinan ini hanya tersimbulkan pada secarik pengumuman kecil di pintu gereja:
“Don Antonio Simoni, i parenti, I parrocchiani, gli amici e tutti coloro che gli hanno volute bene lo rigraziano e lo ricordano con affetto. Per sua espressa volontà, sarà inumato nel Cimitero di Calcinaia.
Per dare la possibilità a tutti di accompagnarlo con la preghiera nel viaggio verso il “Padre”, domani 19 Marzo alle ore 15.00 saranno suonate le campane. Non è consentita la presenza a nessuno, neppure al Cimitero. –
Calcinaia 18 marzo 2020 (Don Antonio Simoni, keluarga, umat Paroki, para sahabat dan mereka yang sangat mencintaimu mengucapkan terima kasih tulus dan akan terus mengenangmu dengan penuh cinta. Sesuai dengan kehendak almarhum, maka jenasah akan dimakamkan di makam Calcinaia.
Semua diminta mengiringi perjalanan Don Antonio ke rumah Bapa, pada 19 Maret pukul 3 siang dengan iringan lonceng gereja. Pada saat itu tidak dihararapkan kehadiran seorang pun, juga ketika di makam).
Selamat jalan para sahabat imam yang telah mendahului kami. Terima kasih telah memberi kesaksian nyata mencintai Tuhan dan umatNya ternyata indah karena kalian dan keluarga kalian semua memiliki iman, hati, dan cinta yang indah pula!
Grazie di cuore cari nostri amici sacerdoti.
Dalam terima kasih, kekaguman dan doa yang tak putus. (Selesai)
A. Kunarwoko – 29 Maret 2020