DULU sekali diSeminari Tinggi Santo Paulus di Kentungan, Yogyakarta, salah satu kuliah wajib yang harus kami ikuti adalah mata kuliah Pengantar Perjanjian Baru. Pengajarnya Romo St. Darmawijaya Pr.
Setiap kali Romo Darma menerangkan tentang “gelar-gelar Yesus”, beliau pasti mengutip kata-kata Shakespeare: “What is in a name?”. Dan, Romo Darma langsung melanjutkan: “A name is a claim.”
Memang, dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus di-“claim” dengan banyak julukan: Mesias, Juru Selamat, Anak Allah, Putera Allah yang hidup, Anak Domba Allah,Tuhan, Anak Daud, Rabbuni, Guru, dan pelbagai gelar yang lain.
Bukan sembarang nama
Romo Antonius Soetanto, imam Jesuit yang lahir pada 31 Agustus 1938 dan meninggal 1 Maret 2022 sepekan yang lalu, pastilah pula “hanya” sebuah nama. Ia hanya satu dari sekian banyak nama imam di Indonesia ini.
Namun Antonius Soetanto SJ bukan sembarang nama. Romo Tanto, demikian kami memanggilnya, mewariskan nama yang besar.
Sebagaimana dosen kami, Romo Darma mengatakan: “What is in a name?” dan kalau kemudian “A name is claim” itu diberikan kepada Romo Tanto, maka “klaim” tentang Romo Soetanto sungguh luar biasa.
Ucapan duka yang diposting di pelbagai grup media sosial sekitar kepergiannya mengungkap dengan baik siapa sosok Romo Tanto.
Di mata kebanyakan sahabat, Romo Tanto dikenang sebagai pemusik. Almarhum Romo Tanto adalah ahli musik gerejawi (Romo J. Ageng Marwata SJ), Indonesia Jesuit liturgical composer (Romo A. Priyono Marwan SJ dalam Facebook-nya), pembuat Puji Syukur (Y. Siswata, mantan imam KAS yang tinggal di Lampung), begawan musik gereja era tahun 1970-an (P. Djoko Trimartanto, mantan frater KAJ), dan maestro musik gereja Indonesia (Koekoeh Hadi Santosa, alumnus Seminari Menengah Mertoyudan). Yohanes Haryanto, mantan murid Romo Tanto di Mertoyudan mengenang Romo Tanto sebagai guru biolanya. “Sugeng tindak Romo Tanto, guru biolaku” katanya.
Di WA grup Kader Awam, Mas Johannes Kent mengenang Romo Tanto sebagai “ahli musik gerejawi, pembina koor dan pelatih organ untuk anak-anak. Guru musik liturgi, bersama almarhum Bapak Frans dan Hari Haryadi, domine Van Dop, Mas Ireng Maulana, Alex Paat, F. Silangit, dll”.
Romo FX Mudji Sutrisno SJ mengenang Romo Tanto sebagai “pamong kami” di SMM (Seminari Menengah Mertoyudan). Mas Intony, alumnus Seminari Garum dan walau bukan didikan Romo Tanto di Seminari Mertoyudan juga mengenang Romo Tanto dan lagu-lagu gerejanya.
“Meski hanya 1-2 kali bertemu, namun alunan melodi hatinya selalu mampu mendorongku menuju Atas”, kata Intony.
Tentang Romo Tanto, Ngurah Ciptadi adik kandung Romo Rai Sudhiarsa SVD menulis begini: “Beliau hidup abadi dalam karya-karya lagu dan aransemen liturgi beliau.
Kekhasan ordinarium Misa Kita (terutama II dan IV) dan karya-karya top lainnya itu akan selalu hadir di Indonesia. Banyak karya lagu liturgi beliau yang enak dinyanyikan untuk misa”.
Keluarga Ngurah Ciptadi di Palasari Bali adalah sahabat keluarga kami. Ayah, kakak dan keluarga mereka -selain menjadi tokoh Katolik- juga pencipta dan pemusik Gereja yang andal. Jelas, sebagai pemusik dan keluarga pemusik, kalau teman ini bilang musik Romo Tanto bagus, ya berarti memang bagus.
Dari grup WA “Brayat Muntilan”, seorang teman tetangga Romo Tanto di Muntilan menuliskan kehilangannya: “Muntilan kehilangan salah satu putera dan imam terbaiknya. Lagu-lagu Romo abadi. Dan kami akan terus mendendangkannya”.
Membaca postingan teman Muntilan itu, Eko Praptanto dari Paroki Kampung Sawah di Bekasi juga ikut berkomentar.
“Paroki Kampung Sawah juga kehilangan. Sebelum dapat hadiah mobil dari Semarang, Romo Tanto dengan “bus” tuanya senantiasa setia mengantar anak-anak Ascensio berlatih. Pulangnya diantar satu persatu,” tuturnya.
Yustinus Prastawa, Ketua Ikatan Alumni STF Driyarkara dan Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, juga mengungkapkan kehilangannya.
“Sungguh kehilangan besar. Romo Tanto adalah Romo kami yang sangat luar biasa. RIP Romo, sugeng kondur,” ujar mas Prastawa. (Berlanjut)