Pijar Vatikan II – In Memoriam Romo Antonius Soetanto SJ: Ketika Iman Ditempa dalam Penderitaan (41F)

0
204 views
RIP Romo Antonius Soetanto SJ -Pastor Yesuit sederhana yang telah menjadikan masa kecilku bahagia dan aku mencintai musik liturgi Gereja (Ist)

GEREJA dan menggereja yang dialami oleh Romo Antonius “Tanto” Soetanto SJ bukan soal konsep. Bukan sekedar diskusi di atas kertas atau di media sosial tentang Gereja Altar dan pasar, asing dan “aseng”, Eropa dan Indonesia, internasional dan lokal, bule dan pribumi.

Gereja dan menggereja bukan pertama-tama konsep atau pengertian. Gereja adalah hidup dan kehidupan. Di mana pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, seorang yang pernah dibaptis Katolik, ya mestinya konsekuen menjalani ke-Katolik-annya itu.

Faith that works

Iman yang hidup atau faith that works itulah yang dijalani Romo Tanto.

Dengan menjadi imam, seorang Katolik bernama Antonius Soetanto, menjadikan panggilan iman, harapan dan kasihnya menjadi lebih indah berbunga.

Untuk Romo Tanto, contoh hidup orangtua dan keluarga besarnya yang begitu berimansudah cukup untuk membentuk ke-Katolik-annya.

Dengan menjalani hidup sebagai imam Jesuit, pelajaran dalam Katekismus tentang “trilogi panggilan iman katolik” sebagai “imam, raja dan nabi” untuk Romo Tanto lalu menjadi lebih mengejawantah.

Romo Tanto lahir dan dibesarkan dalam suasana ke-Katolik-an zaman pra kemerdekaaan.

Menurut Romo Mangun, ciri khas umat Katolik Zaman Belanda adalah gembira. Suka bernyanyi, suka bercanda, suka berkumpul, suka berolah-raga adalah ciri-ciri umat yang gembira itu.

Dalam bukunya Gereja Diaspora, Romo Mangun berpandangan bahwa suasana demikian tercipta karena para rohaniwan yang datang ke Indonesia, memang membangun gereja dalam prinsip de blijde Roomse jeughtd (muda-mudi Katolik Roma yang gembira).

Beda sekali dengan gaya Gereja Protestan yang murung berat dan serius.

Dalam suasana gembira pulalah, para imam, biarawan dan biarawati itu menanamkan baik-baik aspek-aspek iman Katolik yaitu diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), koinonia (persekutuan) dan liturgia (ibadat).

Puncak dari semua itu adalah martyria (kemartiran).

Nama Antonius Soetanto SJ, akan terus melegenda, karena ia telah menjadi pelayan umat yang setia.

  • Diakonia-nya terpuji. Dengan lagu-lagu dan musiknya, ia telah menjadi maestro ibadat yang jempolan.
  • Liturgia-nya tak tertandingi. Romo Tanto mengaku kepada saya dan kepada banyak teman, bahwa dia tidak pandai berbicara. Namun dia menjadi pewarta yang andal dengan cintanya yang luar biasa pada pendidikan musik kepada generasi muda Gereja.
  • Romo Tanto menjalankan kerygma tidak dengan mulutnya, tetapi dengan totalitas cintanya pada Gereja, melalui musiknya.
  • Dalam hal koinonia atau persekutuan, jangan dikata lagi. Semua paroki dan umat yang dilayani Romo Tanto, merasakan Romo Tanto adalah kakak, saudara dan ayah yang merengkuh, yang mempersatukan. Romo Tanto adalah sosok yang tidak hitung-hitungan dalam menjalankan pelayanannya.

Suasananya seperti ibu saat mau melahirkan: cemas dan bahagia

Semasa pendudukan Jepang, sampai masa mempertahankan kemerdekaan, wajah Gereja ala God’s bloeiende wijngaard (kebun anggur Tuhan yang berbunga) berubah drastis.

Gereja yang gembira menjadi Gereja yang berjuang. Gereja yang menjadi “rumah teduh” bagi umat kini langsung berubah menjadi Gereja yang teraniaya.

Sejak masa pendudukan Jepang yang sulit itu, Gereja lalu berganti rupa menjadi Gereja yang terserak, yang tersebar, yang diaspora, yang mesti “mengungsi” karena perang.

Harga yang harus dibayar oleh umat Katolik untuk menyambut kelahiran Gereja Diaspora yang baru itu juga sangat mahal.

Mgr. Muskens, Uskup Keuskupan Breda di Negeri Belanda dan kemudian menjadi Rektor kami di Collegio Olandese di Italia punya padanan yang bagus menggambarkan susahnya hidup Gereja di masa pendudukan Jepang.

Mgr.Muskens, ahli sejarah Gereja Indonesia ini mengatakan: “Itu seperti rasa sakit seorang ibu yang hendak melahirkan bayinya”.

Kesakitan yang akan melahirkan kebahagiaan dan pengharapan.

Di masa sulit seperti itu, kita mesti berterimakasih kepada para Romo, para misionaris, biarawan dan biarawati Belanda. Mereka berhasil menyemai benih-benih hidup menggereja yang baik.

Dengan contoh hidup dan pelayanannya, mereka telah membentuk umat Katolik Indonesia yang gembira dengan imannya, yang bahagia dengan ke-katolik-annya.

Iman adalah ungkapan syukur yang menggembirakan. Bahkan seandainya karena iman, lalu mereka mesti menjadi martir, itu pun harus tetap disambut gembira.

Tidak mengherankan, dari zaman pendudukan Jepang sampai masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ada beberapa sosok Katolik yang berbahagia terpilih menjadi martir dan pahlawan nasional.

Tarulah itu seperti Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Yosafat “Yos” Sudarso, Agustinus Adisoetjipto, Ignatius Slamet Riyadi, Wage Rudolf Soepratman, Robert Wolter Monginsidi sampai Jenderal Urip Sumihardjo.

Muntilan juga punya pahlawan. Namanya Romo Sanjaya. Walau belum resmi dinyatakan sebagai “orang kudus” oleh Vatikan, namun untuk orang Muntilan Romo Richardus Sanjaya Pr adalah pahlawan dan sudah kami anggap sebagai “Santo”.

Jadi “martir” dengan cara merawat Paduan Suara Ascensio

Romo Tanto wafat di RS Elisabeth setelah cukup lama menderita sakit stroke. Romo Tanto memang tidak menjadi martir dan mengurbankan nyawa karena perang.

Namun di mata para saudara, sahabat dan umat yang mengenalnya, Romo Tanto adalah pahlawan.

Untuk ratusan anggota dan mantan anggota Paduan Suara Anak-anak Ascensio serta sekian banyak organis gereja yang dididiknya, Romo Tanto adalah pahlawan mereka yang besar.

Hymne Guru Tanpa Tanda Jasa pantas disematkan pada tokoh yang besar ini.

Romo Tanto mendirikan paduan suara anak-anak Ascensio pada tahun 1978. Ia bukan hanya pendiri.

Sampai tak berdaya ketika ditimpa sakit keras, Romo Tanto masih giat melatih, menulis lagu membuat aransemen, mengorkestrasi, serta mengurus berbagai keperluan Ascensio.

Gereja Indonesia berhutang besar pada Romo Tanto. Tanpa kehadiran dan keprihatinan Romo Tanto pada anak-anak dan musiknya yang tidak mendapat panggung di gereja, entah apa jadinya peribadatan Gereja Katolik kita.

Tak terbilang lagi pemusik dan organis-organis muda yang dikadernya.

Karena Romo Tanto, kini kita memiliki banyak organis gereja yang baik, benar, andal dan mewarisi tradisi musik Katolik yang begitu menyejarah.

Dan itu semua dikerjakan Romo Tanto dengan tangguh, tanpa pamrih.

“Romo Tanto tidak cari duit dengan kejagoannya. Malahan harus selalu tombok iya”, kata Mas Beni Antono, kerabat Romo Tanto dari Muntilan dan alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1987.

Tak perlu bayar jadi anggota Ascensio dan belajar musik

Dalam wawancara dengan Majalah Hidup tahun 2016, Romo Tanto menceritakan mengapa ia sama sekali tak pernah memungut bayaran kepada orangtua murid kelompok Paduan Suara Ascensio.

Selain memang sejak semula Romo Tanto tak mau dibayar, Romo Tanto berpendapat jika pasang tarif, maka yang sanggup membayar hanyalah orang-orang yang mampu. “Lantas, bagaimana dengan nasib anak-anak yang kurang mampu?” tanyanya.

Pilihan dan keberanian Romo Tanto menggratiskan seluruh muridnya, sempat mendapat tantangan dari Uskup Agung Jakarta waktu itu: Mgr.Leo Soekoto SJ.

Kata Mgr Leo, paduan suaranya tak akan bertahan lama jika terus seperti itu. Bila mau kelompoknya bernapas panjang, kata Bapak Uskup seperti ditirukan Romo Tanto, ia harus membentuk sebuah lembaga atau sekolah musik.

Namun, saran Mgr. Leo tak diikutinya.

“Saya tak mau membuat lembaga seperti itu. Nanti kita dituntut terus mencari uang, agar lembaga bisa berjalan. Nantinya, jadi   lupa tugas utama kita yakni mengajar”

Dan kekawatiran Mgr. Leo tidak sampai terjadi.

Sampai hari ini kelompok Paduan Asuara Ascensio sudah 44 tahun berdiri.

Bertekun dalam kesulitan dan penderitaan, kiranya sudah menjadi prinsip hidup Romo Tanto. Menjelang dan sesudah Perang Kemerdekaan RI, semua orang menderita. Kita semua, bangsa ini menderita habis.

Ilustrasi: Para imam misionaris CP dan suster OSA di medan karya: Menarik jip yang selip di kobangan lumpur khas jalanan di pelosok Ketapang, Kalbar. (Dok CP-OSA/Repro MH)

Dua tipe “orang Belanda”

Kakek saya sebagai lurah Eesa Tirto Salam yang tidak Katolik di masa itu mengenal dua jenis orang Belanda.

  • Jenis pertama adalah orang Belanda yang baik, yaitu para Romo.
  • Yang kedua adalah orang-orang Belanda jelek, para tentara yang membakar rumah kakek. Rumah dan pendopo kelurahan yang besar itu hangus tak tersisa.

Pada jaman clash, rumah kakek dianggap tempat menyembunyikan gerilya. Padahal di rumah kakek, Romo Spekle SJ, Romo Paroki Boro sering rawuh untuk sekedar berkunjung atau mengajar agama.

Kakek saya yang tidak Katolik itu sangat terkesan dengan Romo Spekle SJ yang santun, ramah dan fasih berbahasa Jawa.

Kami tidak mendengar cerita kalau rumah keluarga Romo Tanto dibakar atau dirusak seperti rumah kakek. Namun dari keluarga besarnya yang dekat dengan keluarga kami, kami mendapat cerita kalau di masa sulit itu keluarga Romo Tanto juga “mengungsi” ikut tinggal di rumah saudara.

Saling menampung anggota keluarga besar, saling membantu memberi makan dan menyekolahkan anak, sudah menjadi hal yang lumrah di zaman sulit seperti itu.

Sesudah rumah kakek dibakar, kami pun tinggal di rumah saudara.

Ini bukan soal “budaya” Jawa: “Mangan ora mangan waton bisa kumpul” (makan tidak makan asal bisa kumpul).

Ini lebih naluri lumrah saja: siapa yang harus menolong kalau bukan saudara sendiri.

Lagi pula, sebagai orang Katolik, keluarga-keluarga kami termasuk keluarga besarnya Romo Tanto, diberi pelajaran oleh para romo bahwa anak bukanlah tabungan hari tua dan harta yang kita punya iu hanyalah sekedar titipan Tuhan.

Dalam semangat itu, maka kesulitan dan penderitaan seberat apa pun, tidak membuat keluarga-keluarga Katolik zaman itu menjadi gampang menyerah.

Sebaliknya, ketika semua berjalan baik, berprestasi dan merasa terberkati, katekese masa itu berhasil menyadarkan bahwa semua keberhasilan itu tidak abadi.

Itu pun pasti terjadi, karena “providentia Dei”, berkat penyelenggaraan Tuhan.

Maka tidak mengherankan, kalau Romo Tanto dalam berkarya dengan kelompok Paduan Suara Ascensio tidak mendapat uang , tapi malah tekor terus. Karenanya, adik-adik dan keponakan Romo Tantolah yang paling sering turun tangan membantu. Sumbang sana-sini.

Sudah tak terhitung sarana, konsumsi, bantuan apa saja diberikan diam-diam pada anak-anak Ascensio dari keluarga dekat Romo Tanto.

Di paroki saya Bintaro dulu, ada adik Romo Tanto yang memiliki style khas keluarga Pak Poerwo dalam melayani Gereja, yaitu habis-habisan dan tanpa hitungan dalam membantu paroki.

Berdiri di belakang layar dan tak mau tampil ketika semua sudah berjalan baik.

Itulah spiritualitas Romo Tanto dan keluarganya. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here