ALMARHUM Romo Antonius “Tanto” Soetanto SJ lahir dari tradisi Gereja Belanda. Concern musiknya sangat klasik dan baku, seperti buku Puji Syukur.
Agak berbeda dengan Romo Karl E. Prier SJ.
Dalam bermusik liturgi, Romo Prier yang orang Eropa saja, masih mengakomodasi musik liturgi inkulturasi, seperti lagu-lagu gaya daerah pada buku Madah Bakti itu.
Pada misa tahbisan imamat kami di Balai Sidang Senayan Jakarta (dulu bernama Jakarta Hilton Covention Hall) tanggal 4 Juli 1984, Romo Tanto SJ tampil memimpin koor tahbisan kami.
Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia
Anggota koor tahbisan itu 400 orang lebih. Mereka berasal dari pelbagai paroki. Mereka sekalian dilatih untuk mempersiapkan Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) yang diadakan sepekan sesudah tahbisan kami.
Himne PNUKI-1984 yang juga dinyanyikan sebagai lagu penutup tahbisan itu dibuat oleh orang Protestan.
Lagu Ke Depan Altar Aku Melangkah karangan John Hayon pemusik NTT yang agak-agak ngepop dan lagi ngehit tahun itu dipilih Romo Tanto sebagai lagu pembukaan.
Walau positioning Romo Tanto jelas, yaitu berpihak pada musik klasik gerejani yang baku, namun Romo Tanto bukan pemusik yang kaku.
Di Cilincing dulu, ketika mudika kami dan juga mudika Paroki Romo Tanto Tanjung Priok “iri” pada koor kelompok Paduan Suara anak-anak Ascensio, kami diminta untuk memakai lagu-lagunya Paul Widyawan dan Romo Prier SJ di buku Madah Bakti itu.
“Lagu-lagu begitu cocok untuk suara muda-mudi. Dikroncongi dan dikendangi kayak lagu-lagu vocal group juga ngga apa-apa. Yang penting umat jadi seneng ke gereja”, begitu pesan Romo Tanto.
Jadilah, kami lalu membentuk koor mudika Salib Suci dengan gaya vocal group. Yang penting, seperti pesan Romo Tanto, membuat umat jadi senang menyanyi dan senang ke gereja ikut misa.
“Membuat umat senang bernyanyi dan ke gereja” yang dikatakan Romo Tanto itu, menurut pendapat saya adalah hal yang baik dan sah dalam mengukur keikutsertaan umat dalam beribadat.
Per cantum ad Iesum
Santo Augustinus dari Hippo pernah mengatakan: “Qui bene cantat, bis orat” (siapa bernyanyi baik, maka ia berdoa dua kali lipat).
Tak ada yang bisa mengingkari kebenaran kata-kata Augustinus ini sungguh terjadi pada Romo Tanto.
Musik dan karya musik Romo Tanto sudah menghantar begitu banyak orang berdoa berlipat-lipat ganda kepada Tuhan.
Dalam obituar tentang sosok almarhum Romo Tanto SJ, bung Beni Antono memberi kesimpulan bagus tentang imam Jesuit dan musisi gerejani ini:
“Rute penghayatan iman Romo Tanto telah berkontribusi besar dalam menghidupkan salah satu ruh Gereja itu per cantum ad Iesum. Melalui nyanyian, kita dihantar menuju Tuhan Yesus.”
Benar kata Beni Antono ini: ukuran iman yang sejati adalah semakin tercapainya “persatuan” kita dengan Tuhan Yesus.
Romo Tanto telah dihadirkan kepada kita dan Gereja Indonesia sebagai saksi sejarah kehadiran dan perjuangan gereja yang terus menyanyi, terus berlagu, terus bersyukur, dan terus bergembira dipilih jadi umat-Nya.
Terima kasih Romo Tanto, penjenengan sudah pernah hadir dalam hidup kami dan dalam Gereja dan hidup menggereja kami.
Romo adalah anugerah Tuhan yang luar biasa bagi kami.
Kami sungguh merasa terberkati dengan kehadiran Romo.
60 Tahun Konsili Vatikan II
Ketika tahun 2022 ini, kami akan merayakan 60 tahun Konsili Vatikan II, tonggak perjalanan Gereja yang bersejarah itu, maka sosok almarhum Romo Tanto SJ adalah contoh terbaik putera Gereja Sacrosanctum Concilium, Lumen Gentium dan Gaudium et Spes.
Romo Tanto SJ (alm) adalah sosok putera terbaik “Gereja Sekitar Altar, Gereja Pasar dan Gereja Millenial”.
Melalui Romo, Tuhan berbicara kepada kami: “Inilah putera-Ku yang baik, yang bisa kalian jadikan teladan dalam mengasihi Allah Bapa-Ku melalui Gereja dan umat-Ku yang satu, kudus, katolik dan apostolik”.
Dan lebih dari itu, kami akan terus bernyanyi memuji Tuhan dalam lagu-lagu dan karya Romo yang abadi.
Sare tentrem langgeng ing kamulyan Dalem Gusti Romo Tanto. Requiescat in pace. (Selesai)
Jakarta, “Peringatan 7 Hari Wafat Romo Tanto” tanggal 8 Maret 2022
Dalam doa yang tak pernah putus
A. Kunarwoko