SECARA pribadi, saya sebenarnya tidak mengenal Pak Sumarlin dengan baik. Apalagi putera-puterinya. Biasanya, saya cuma melihat Pak Marlin dari kejauhan.
Itu pun pada kesempatan tertentu saja, seperti pada resepsi perkawinan Ivy, puteri om saya VB Da Costa, berpapasan di Keuskupan setelah Pak Marlin ketemu Mgr. Leo Soekoto SJ, ketemu pada acara di kampus Atma Jaya, pada misa di gereja atau melayat kenalan.
Terakhir saya bertemu dan salaman dengan almarhum Pak Marlin, pada saat perayaan ulang tahun ke-70 sahabat saya Mas Witdarmono, 30 Agustus 2015 di Gereja Kristus Raja Pejompongan.
Dari keluarga besar Pak Marlin, sebenarnya hanya Mas Witdarmono inilah yang saya kenal baik.
Mas Wit adalah keponakan dekat Pak Sumarlin.
Satu-satunya kesempatan saya bisa ngobrol lama hampir sejam dengan Pak Marlin, adalah ketika pada tahun 1995 saya diundang memberi renungan Natal di BPK.
Waktu itu Pak Marlin menjadi Ketua BPK dan saya masih mengajar di Jurusan Kateketik Universitas Atma Jaya Jakarta.
Seusai Perayaan Natal di Aula BPK Slipi yang megah itu, Pak Marlin mengajak saya mampir ke ruangan kantornya. Ada Bu Marlin juga waktu itu.
Saya merasa mendapat kehormatan besar, bukan hanya karena orang sehebat Pak Marlin berkenan meluangkan waktunya yang berharga untuk saya, tetapi juga karena hari itu Pak Marlin dan ibu mengajak saya ngobrol dengan menggunakan bahasa Jawa halus.
Luar biasa.
Pak Marlin dan Romo Lugano
Saya ingat sekali, di ruang kerja Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, kami ngobrol tentang Paroki Salib Suci Cilincing yang kegiatan sosialnya saya jadikan contoh belarasa pada renungan Natal saya.
Di bawah bimbingan Romo FX Wartadi CM, imam Kongegasi Misi (CM) asal Tanggul di Paroki Wedi, pada tahun 1984-1985 ketika saya ditugaskan Mgr. Leo Soekoto SJ menjadi pastor rekan di sana,
Paroki Salib Suci Cilincing di Tanjung Priok, Jakarta Utara, mempunyai kegiatan sosial “Lumba-lumba” dan “Magdalena”.
- “Lumba-Lumba” adalah kegiatan pendampingan untuk anak-anak dan keluarga miskin di perkampungan nelayan.
- “Magdalena” hadir untuk para wanita tuna susila terutama yang beragama Kristen dan Katolik di Komplek WTS Kramat Tunggak.
Gereja Salib Suci Cilincing memang tidak jauh letaknya dari Komplek WTS terbesar itu.
Pak Marlin nampak sekali berminat mengetahui dan mendukung kegiatan-kegiatan sosial semacam itu. Beliau lalu teringat dengan para romo CM di Blitar, tempat kelahirannya yang juga selalu giat mengadakan kegiatan sosial di paroki.
Dari obrolan itu, Pak Marlin dan Ibu lalu jadi ingat Romo Francesco Lugano, romo praja atau imam diosesan dari Itali yang sudah menjadi WNI dan praktis menjadi “Romo Pahlawan” untuk masyarakat pesisir selatan Jawa Timur dan para nelayan.
Saya juga bercerita ke Pak Marlin, waktu di Roma saya sempat ketemu Romo Lugano pada sebuah acara di Wisma KBRI Vatikan di Kawasan Eur.
Waktu itu, beliau mau pulang ke Jawa Timur lagi setelah berobat cukup lama di rumahnya di Genoa. Dari Mas Eko dan Mbak Fitri staf KBRI Vatikan, malah saya diberitahu kalau Romo Lugano sakit cukup lama dan dirawat intensif di Genoa karena diracun orang.
Siapa Romo Lugano yang karyanya sampai amat dikagumi Bapak dan Ibu Sumarlin ini?
Romo Francesco Lugano, adalah romo Indonesia keturunan Italia yang berkarya sebagai imam diosesan Keuskupan Surabaya.
Beliau lahir di Genoa Italia pada 7 Mei 1938 dan meninggal pada 9 Februari 2006 pada usia 67 tahun.
Romo Lugano meninggal dalam tugas di stasi Dongko, Trenggalek, Jawa Timur. Stasi yang berjarak sekitar 90 km dari kota Tulungagung itu, berada di wilayah penggembalaan beliau, yaitu Paroki Santa Maria Tak Bernoda, Tulungagung.
Romo muda Francesco Lugano, datang ke Indonesia sejak Agustus tahun 1963. Putera kedua dari lima bersaudara, anak pasangan Carlo dan Giovanna Lugano ini datang ke Indonesia bersama enam pastor asli Indonesia yang pulang belajar dari Italia.
Romo Lugano mendapat tugas pertama dari Uskup Surabaya di Paroki Blitar, kota kelahiran Pak Sumarlin.
Di Blitar inilah, Romo Lugano mulai belajar bahasa Indonesia pada seorang guru bahasa. Ia pun memulai merintis penggembalaanya di daerah pesisir yang waktu itu belum banyak diperhatikan.
Tahun 1967, Romo Lugano mendapat tambahan tugas mengembalakan umat di sekitar Mojorejo, daerah Blitar Selatan. Karena mayoritas umat desa itu menggunakan bahasa Jawa, maka ia pun mempelajari bahasa Jawa.
Berkat kedekatannya dengan umat di desa Mojorejo itu, Romo Lugano tak membutuhkan waktu lama untuk lancar berbahasa Jawa.
Sejak awal pengabdiannya sebagai imam di Indonesia, Romo Lugano sudah sangat berminat melayani masyarakat pesisir dan para nelayannya. Jiwa lautnya sudah mandarah daging dari kecil.
Maklum ia lahir dan besar di Sanova, Genoa, daerah pesisir yang masyarakatnya hidup dengan menangkap ikan. Jadi, dalam hal menangkap ikan, lebih-lebih dari segi teknik dan pengalaman, Romo Lugano jagonya.
Pengetahuan Romo Lugano dalam hal kelautan dan menangkap ikan, sangat mumpuni. Pengetahuan dan pengalamannya ini ia bagikan gratis kepada penduduk pesisir selatan Jawa Timur, mulai dari Blitar, Tulungagung hingga Trenggalek (Teluk Prigi).
Ia bagikan semua ilmunya tidak hanya kepada umat parokinya yang Katolik, tetapi kepada semua nelayan tanpa memandang agama dan kepercayaan.
Genoa, tempat tinggal Romo Lugano, selain dikenal sebagai kota pesisir, memang tempat tumbuh tradisi bahari.
Kota pelabuhan bagian barat laut negara Italia ini menjadi salah satu pusat pembuatan kapal terkemuka.
Genoa seolah “ditakdirkan” menjadi kota yang pandai mendidik penduduknya akrab dengan air laut, bau pantai, ikan dan seluk-beluk dunia perkapalan.
Tak heran bila Romo Lugano sangat dekat dengan kehidupan laut: pandai merancang kapal penangkap ikan, mengenalkan teknik dan cara-cara efektif untuk menangkap ikan.
Romo Lugano bahkan menciptakan desain jaring khusus yaitu jaring slèrèk dan pukat cincin. Sebelumnya, jaring dan pukat semacam itu belum dikenal para nelayan di pesisir selatan Trenggalek.
Dulu penduduk sekitar Prigi (Watulimo) selain petani, sebagian adalah nelayan yang menjaring ikan dengan jaring dan perahu tradisional, berpenghasilan kecil dan hidup cenderung kurang sejahtera. Kondisi ini membuat Romo Lugano prihatin.
Karena itu, ia tergerak untuk melatih bakat melaut (menjaring dan membuat perahu) penduduk setempat. Bakat alam dan insting di lautan yang ia miliki diasahnya kembali, untuk menolong orang-orang kecil di pesisir pantai, yang hidup serba miskin.
Selain membuat perahu dan jaring, Romo Lugano juga bekerjasama dengan pemda dan masyarakat setempat untuk gotong royong membangun jalan-jalan desa terpencil.
Pada tahun 1969 misalnya, dengan didukung aparat kecamatan dan desa setempat serta Lembaga Karya Dharma Keuskupan Surabaya, dimulailah pembuatan jalan makadam (bebatuan) sepanjang 12 kilometer yang menghubungkan daerah Wates-Gondangtapen-Jalasutra.
Projek padat karya yang melibatkan seluruh warga setempat dilanjutkan kembali dengan merintis jalan antara Wates-Mirigede sepanjang 4 kilometer, Wates-Tugurejo sepanjang 4 kilometer dan Wates-Bantengan sejauh 6 kilometer.
Pengerjaan tersebut berlangsung selama 3 tahun dan berakhir tahun 1972.
Bukan hanya dalam hal menjala ikan, Romo Lugano juga dikenal masyarakat di wilayah Blitar Selatan, Wlingi, Tulungagung dan Trenggalek sebagai gembala yang sederhana, tak kenal menyerah, tangguh dan setia.
Kesederhanaannya, tampak dari selalu menerima apa adanya apa yang disediakan umat entah itu makanan dan tempat tidur. Ketangguhannya, tampak dari imannya yang teguh saat menghadapi tantangan dan cobaan, termasuk ketika pernah diracun melalui minuman ketika menjalankan karyanya di daerah Blitar Selatan.
Selain mengupayakan peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir dengan menangkap ikan dengan cara yang baik, Romo Lugano juga memberi penerangan mengenai kesejahteraan keluarga dan hidup sehat. Kepada umatnya yang miskin.
Romo Lugano dalam berkotbah juga selalu menyisipkan pesan hidup sehat dan cara menambah penghasilan keluarga. Teladan dengan cara dan sikap hidup luhur tanpa pamrih telah ditunjukkan sehari-hari dengan menyatukan hidupnya bersama umatnya yang mayoritas adalah masyarakat yang sederhana, lugu, dan berpenghasilan rendah.
Itulah Romo Lugano, yang sangat dikagumi Pak Marlin.
Dari antusiasme kami ngobrol tentang Romo Lugano hari itu, saya menangkap belarasa yang sangat besar dari Pak Marlin kepada para imam, gembala kita yang sangat tekun dan serius melayani mereka yang miskin dan terbelakang.
Ikut terdampak kebesaran nama Sumarlin
Pada kesempatan ngobrol di BPK itu, saya juga sekilas “melaporkan” ke Pak Marlin pengalaman saya di New York ikut “menikmati” atau lebih tepatnya “terdampak” kebesaran nama Sumarlin.
Bulan Juni sampai Agustus tahun 1990, saya membantu Paroki St Mary Star of the Sea yang terletak di Court Street, kawasan Brooklyn New York.
Begitulah, bea siswa kami di Roma hanya berlaku sembilan bulan. Libur musim panas kami harus mencari makan sendiri.
Untunglah, untuk kami para imam, mencari paroki di Italia atau luar Itali yang bersedia menampung selama libur, tidaklah sulit. Sebagai warga negara yang baik, seminggu setelah saya tinggal di Brooklyn, saya harus melapor ke Konjen RI di New York.
Saya ke sana diantar Nanik, adiknya Henny, isteri Mas Witdarmono. Begitu masuk ke Konjen RI di 68th Street kawasan Manhattan itu, saya disambut dengan amat istimewa. Urusan melapor berlangsung sangat cepat. Praktis tidak ditanya apa-apa.
Sesudah itu, saya bahkan diajak makan dengan menu istimewa pula.
Nanik, adik ipar Mas Wit hanya tersenyum melihat saya disambut staf Konjen RI dengan sangat istimewa begitu. Dia lalu cerita, beberapa hari sebelum saya datang ke situ, terjadi kehebohan.
Sylvia Sumarlin, sepupu mas Witdarmono, datang melapor perpanjangan paspor. Pegawai Konjen bertanya dengan setengah menyelidik, apakah nama Sumarlin di belakang nama Sylvia Efi adalah Sumarlin Pak Menteri itu.
Efi tidak mau menjawab pertanyataan itu. Pertanyaan semacam itu untuk Efi dianggap tidak relevan. Dia tidak ingin mendapat perlakuan istimewa, hanya dengan mengaku benar bahwa ia anak Pak Menteri Sumarlin.
Efi sebenarnya mau diperlakukan profesional dan biasa saja.
Kata Nanik, pegawai Konjen yang melayani Efi jadi semakin penasaran dan semakin nyinyir. Kurang lebih dia malah berucap: “Bukan apa-apa dik, di zaman sekarang banyak orang yang mengaku ngaku anak pejabat dan ingin dilayani khusus.”
Setelah Konjen tahu bahwa Sylvia Efi memang puteri Pak Sumarlin dan ia sama sekali tidak ingin dilayani khusus, Konjen langsung minta maaf. Konon, pegawai yang nyinyir itu langsung dimutasi.
Gara-gara kejadian itu, nampaknya siapa pun yang “berbau” Sumarlin, harus dilayani khusus. Apalagi nama Sumarlin, waktu itu sudah melegenda sebagai tokoh nasional pemberantas “pungli” (pungutan liar) bahkan dengan menyamar menjadi “Pak Sidik” segala.
Mungkin, saya dilayani khusus, karena saya dikira adik Mas Witdarmono keponakan Pak Sumarlin. Banyak yang bilang, wajah saya cocok untuk dianggap adiknya Witdarmono. Apalagi yang mengantar saya adalah adik ipar Mas Wit.
Tahun 1990, sebelum Mas Witdarmono diangkat jadi koresponden Kompas di Jepang, cukup lama Mas Wit pernah bekerja di Konjen RI di New York, yang kami datangi itu.
Sampai kejadian dengan Sylvia Sumarlin tadi, saya menduga mas Witdarmono tidak pernah cerita dan pamer bahwa Prof. Dr JB Sumarlin petinggi negara itu adalah pamannya.
Bahwa dari pasangan suami isteri Johannes Baptista Sumarlin dan Theresia Yostiana Sudarmi, lahir anak-anak dan cucu yang berkarakter kuat, memegang prinsip, mandiri, berintegritas seperti contoh Sylvia Efi Sumarlin yang saya alami di New York itu, pasti itu karena hasil pendidikan orangtua.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kacang mangsa ninggala lanjaran, kata pepatah Jawa.
Pola asah dan pola asuh yang diterapkan Pak Marlin dan Ibu Sudarmi dalam membesarkan anak-anaknya, nyata benar mengalir dari penghayatan spiritualitas keluarga Katolik Jawa yang sangat mendalam.
Kesaksian putrinya, bahwa Pak Marlin menjelang wafatnya sudah mempersiapkan pakaian, rambutnya minta dirapikan, karena ibu sudah menunggu dengan penuh senyum, yakin bahwa tanggal “pertemuan” itu sama dengan tanggal meninggalnya isteri tercinta, membuktikan betapa dalam ikatan cinta bapak-ibu Sumarlin ini.
Karena anak-anak dan para cucu menyaksikan, mengalami dan merasakan hebatnya cinta dan kesetiaan orang tua serta eyang mereka, maka tak mengherankan anak cucu Sumarlin juga mendapat anugerah berlimpah terutama yang terungkap dalam kemampuan menghayati hidup dan kehidupan ini secara baik dan benar.
Seperti teladan orang tua dan eyangnya: Bapak-Ibu Sumarlin. Sugeng tindak BaPak Sumarlin sutresna, nampi karahayon langgeng Gusti.
Requiescat in pace.
Dalam terimakasih, kekaguman dan doa yang tak putus
A. Kunarwoko – Jakarta, 13 Februari 2020
(Selesai)