Pijar Vatikan II: Megat-Megot Jesuit, Tangis Greysia, dan Inspirasi Tim Azzurri – The Name of the Game is Change (39A)

0
384 views
Satu-satunya yang selalu berubah itu adalah perubahan itu sendiri. (Ist)

SEORANG teman pastor Jesuit baru saja menyelesaikan kuliah doktoralnya di Georgetown, Universitas Jesuit yang terkenal di Washington.

Pulang dari Amerika, teman ini liburan sebentar ke rumah, menengok ibunya. Sampai rumah, ia merasa tidak enak badan.

Lantas minta dikeroki. Setiap kali kerokan ibunya kena bagian yang pegal-pegal, teman ini lalu mengaduh-aduh. “Oh my God, oh my God,” demikian teriaknya.

Paginya, seorang tetangga lalu menyapa. “Jaré anakmu bali seka Amerika, Yu? Piyé kabaré. Rak yo apik-apik waé to? (Katanya anakmu baru saja pulang dari Amerika. Gimana kabarnya? Baik-baik saja ‘kan?)”.

Dengan kalemnya, ibu teman ini menjawab: “Embuh kaé. Sakplokké bali seka Amerika, kok saiki anakku senengané mégat mégot (Ngga tahu ‘tuh. Sejak pulang dari Amerika, kok anak saya itu sekarang senangnya mégat-mégot)”.

Anekdot lama

Pada saat para Jesuit baru saja merayakan pesta nama Santo Ignatius Loyola 31 Juli dan perayaan 500 tahun pertobatan pelindungnya, saya jadi ingat cerita itu.

Cerita teman Jesuit mégat-mégot ini sebenarnya guyonan lama. Cerita itu sudah jadi candaan populer di kalangan para Jesuit.

Cerita ini saya dengar pertama kali sahabat saya Romo Antonius “Dipo” Sudiarjo SJ yang sekarang jadi Guru Besar STF Driyarkara.

Bahwa para Jesuit itu, kalau bicara suka pakai bahasa tinggi, tentu sering kita dengar. Namun bahwa mereka juga suka bergurau dan menertawakan diri, sebenarnya kita juga tahu.

Dan memang demikian. Itu pula yang membuat saya senang setiap kali ngobrol dengan teman-teman Jesuit.

Ada lagi kisah mégat-mégot Jesuit yang lain. Kali ini diceritakan sendiri oleh Romo Benedictus Hari Juliawan SJ, Romo Provinsial SJ Provinsi Indonesia sekarang ini.

Ilustrasi: Latihan Rohani. (Ist)

Pada misa merayakan Pesta Nama Santo Ignatius Loyola bersama para alumni yang tergabung dalam Asosiasi Alumni Jesuit Indonesia (AAJI) tanggal 1 Agustus lalu, Romo Beni memberi pengantar kotbah yang menarik.

Pada tahun 2016, ada Konggregasi Jenderal ke-36 di Roma. Pada pertemuan yang yang dihadiri oleh wakil-wakil Jesuit dari seluruh dunia tersebut, terlontar sebuah pertanyaan yang sangat mengganggu.

Yaitu, “Mengapa Latihan Rohani yang selama ini menjadi pusaka warisan Santo Ignatius Loyola, tidak menghasilkan perubahan seperti yang diharapkan?

Padahal di mana-mana, para Jesuit itu “jualan”nya adalah Latihan Rohani. Kok ‘barang jualan’ kita ini malah tidak manjur untuk diri kita sendiri?” demikian tutur Romo Beni.

Mendengar “mea culpa” pada homili Pater Provinsial Jesuit ini, terus terang saya agak tersentak.

Bahwa Latihan Rohani yang sudah menjadi “nyawa” Jesuit itu ternyata tidak membawa perubahan pada diri para Jesuit.

Ini pasti sebuah pengakuan yang sangat serius.

Ini masuk kategori mégat-mégot, karena kita yang mendengarnya bisa langsung berseru: “Oh my God, OMG, masak iya?”

Romo Provinsial membawa mégat-mégot apa lagi ini?

Secara tidak langsung, rupanya Romo Beni mengakui bahwa antara harapan dan kenyataan, antara jualan dan pembelian, antara ide besar dan pelaksanaan, antara cita-cita dan realisasi, selalu ada jurang.

Itulah kontroversi yang sekarang ini dihadapi oleh semua orang. Termasuk para Jesuit.

Itulah mégat-mégot terbesar zaman ini. Dan menurut Romo Provinsial, kontroversi para Jesuit itu jawabnya adalah perubahan.

The name of the game is change.

Ilustrasi — Mengalami kesenderian dan kesepian saat sakit tanpa keluarga (ist)

Tentang perubahan, tentu siapa pun bisa memperdebatkan ukuran serta validitasnya. Bagaimanapun serunya perdebatan itu, perubahan itu selalu ada dan akan terus menuntut.

Bukankah filsuf Yunani kuno Heracletos (540-480 SM) sudah lama menyatakan “nothing endures, but change”.

Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Game changer bulan “mensis horribilis” Juli 2021

Para Jesuit rupanya yakin, tolok ukur keberhasilan pelaksanaan Latihan Rohani Santo Ignatius adalah perubahan. Sebagian besar dari kita, mungkin jarang berdiskusi tentang perubahan. Tiba-tiba, kini kita dihadapkan langsung pada perubahan itu sendiri.

Sadar atau tidak, gara-gara Covid-19, kita berubah. Suka atau tidak. Oleh Covid-19 kita diubah.

Tanpa ampun. Pandemi ini tiba-tiba mengubah semua. Tua-muda, laki-laki perempuan, kaya miskin, siapa pun kita, diubahnya dengan telak.

Cara kita makan, bekerja, sekolah, bergaul, beribadat, semua berubah. Covid-19 ini adalah game changer.

Mengubah segalanya. Menjadikan hidup berubah drastis. Bahkan mati dan dikuburpun ikut berubah.

Ekonomi dihantam habis. Anggaran, perencanaan, prioritas maupun kebijakan pembangunan, dipaksa berubah. Covid-19 melahirkan sedikit ruang kantor, lebih sedikit pertemuan, dan lebih sedikit perjalanan.

Pandemi Covid-19 juga berdampak pada gaya hidup masyarakat.

Tahun lalu, Snapcart melakukan sebuah survei. Respondennya sekitar 2.000 orang laki-laki dan perempuan yang berusia antara 15 sampai 50 tahun.

Survei dilakukan di delapan kota besar di Indonesia: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar, dan Manado.

Hasilnya, pandemi Covid-19 dirasakan paling berdampak pada tata kehidupan sosial masyarakat dan pekerjaan. Uniknya, menurut survei itu, hubungan dengan pasangan rupanya belum cukup terdampak.

Aspek-aspek kehidupanyang terdampak serius oleh pandemi Covid-19. (Ist)

Sejarah mencatat, Covid-19 adalah pandemi terparah yang pernah melanda manusia. Tahun 2020, akan dikenang sebagai tahun wabah terburuk yang pernah terjadi di abad modern, setelah wabah Flu Spanyol tahun 1918.

Juli 2021, “mensis horribilis” Indonesia

Wabah Covid-19 yang pertama kali diidentifikasi di Kota Wuhan China di akhir bulan Desember 2019 itu kini sudah menjangkiti lebih dari 200 juta orang. Telah merenggut 4,2 juta nyawa.

Pada 4 Agustus 2021, WHO melaporkan di seluruh dunia yang terpapar Covid-19, jumlahnya ada sebanyak 200.840.180. Yang meninggal 4.265.903.

WHO juga melaporkan, sampai hari itu vaksin telah diberikan kepada 3.984.596.440 orang (https://covid19. who.int/).

Sementara itu, bulan Juli 2021 akan tercatat sebagai mensis horribilis (bulan mengerikan) untuk Indonesia.

Mengapa?

Karena di bulan Juli 2021, penambahan kasus harian yang terpapar covid-19 di Indonesia memecahkan rekor dunia.

  • Pada tanggal 14 Juli 2021 lalu dilaporkan penambahan kasus harian Covid-19 berada di atas 50 ribu, yaitu 54.517.
  • Tanggal15 Juli 2021, rekor tertinggi terpecahkan yaitu 56.757.
  • Bertambah lagi 54.000 pada tanggal 16 Juli 2021.

Kasus kematian harian juga kembali menyentuh angka tertinggi sebanyak 1.205 orang.

Ini rekor kematian tertinggi semenjak Covid-19 masuk Indonesia. Total hari itu, yang meninggal karena Covid-19 di seluruh Indonesia jumlahnya mencapai 71.397.

Ilustrasi – Penguburuan jenazah sakit Covid-19 (Thomas Suhardjono-Monika)

Juli 2021 adalah mensis horribilis.

Karena selama tiga hari berturut-turut, dari 14-16 Juli 2021, kasus harian Covid-19 di Indonesia memecahkan rekor.

Jumlah 56.757 yang terpapar Covid-19 dalam sehari menjadi angka tertinggi di seluruh dunia. Jumlah itu mengalahkan Brasil sebanyak 52.789 kasus, Inggris 48.553 kasus, India 39.722 kasus, dan Amerika Serikat 36.431.

Juli 2021 lalu, benar-benar bulan horror. Bulan itu kita memegang rekor dunia korban pandemi.

Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito mengakui bahwa pemerintah hingga kini masih belum dapat menekan lonjakan angka kematian pasien Covid-19. Setidaknya, selama tiga peka berturut-turut angka kematian melebihi 1.000 kasus per hari.

Bahkan pada hari Selasa (10/8/2021) tercatat di atas 2.000 kasus.

“Dalam bulan Juli 2021 saja. kita telah kehilangan 24.496 nyawa dengan rata-rata kematian harian di atas 1.000 orang,” kata Wiku dalam konferensi pers yang ditayangkan oleh YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (10/8/2021).

Pada pekan ini saja, persentase kematian mencapai 2,92 persen atau hampir mendekati tiga persen. Angka ini lebih tinggi dari persentase kematian tingkat dunia yang berada di angka 2,12 persen.

Lima provinsi yang menyumbangkan kenaikan kematian mingguan tertinggi yakni Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah.

Sementara itu, berdasarkan data Worldometer Senin (5/8/2021), untuk pertama kalinya kasus kematian covid-19 di Indonesia menembus angka 100 ribu (tepatnya 100.636). Lima hari kemudian pada 10 Agustus 2021 Waldometer mencatat total kematian di Indonesia menjadi 108.571.

Dari seluruh negara di dunia, Indonesia kini bertengger di peringkat ke-11 kematian terbanyak dunia karena Covid-19.

Di atas RI, ada:

  • Amerika Serikat (633.799);
  • Brasil (563.707);
  • India (428.715);
  • Meksiko (244.690);
  • Peru (197.029);
  • Rusia (166.442);
  • Inggris (130.503);
  • Italia (128.273);
  • Kolombia (122.601);
  • Perancis (112.288). (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here