Pijar Vatikan II: Menjadi Pengikut Kristus ala Presiden Trump (37C)

0
603 views
Paus Fransiskus saat menerima kunjungan Presiden Trump dan isterinya di Vatikan by ist

KALAU mau bicara soal cover buku dan isinya, bungkus dan jerohannya, casing atau prosesornya, sebenarnya kita tidak perlu mencari contoh jauh-jauh sampai ke Amerika segala.

Pernah terjadi di negeri kita, ada seorang pengikut Kristus yang memiliki prestasi kerja yang sangat baik. Ia sosok pejabat yang bersih dan jujur. Sosok langka di negeri +62 ini. Ia pernah menjadi Gubernur DKI.

Sebagai gubernur, ia membuat banyak terobosan baik dalam mengatasi banjir dan kemacetan yang selalu jadi momok kota itu. Duit dan anggaran Pemda ia kawal dengan sistem pengawasan yang transparan. Kota itu ia bawa menjadi kota internasional yang bersih dan nyaman, layaknya sebuah ibukota dunia modern.

Sayang ia “dibuat” mendekam di penjara. Ketika di penjara ia malah menceraikan isterinya. Para pengagumnya terpana dan sangat tidak percaya. Banyak para fans, terutama para wanita, jadi sangat marah dan berubah sikap 180 derajat meninggalkan dia. 

Bagaimana mungkin seorang yang mengaku Kristen, mengkhianati janji perkawinan di depan altar: setia sampai maut memisahkan. Baik kalau tidak setia percuma. Pelan-pelan, issue yang menyangkut bungkus dan cover itu mulai reda.

Tokoh ini masih tetap melanjutkan penghayatan iman dan pelayanannya. Tidak sedikit pun ia meninggalkan iman pada Yesus. Menteri BUMN memberinya kedudukan tinggi sebagai Komisaris Utama satu perusahaan terbesar dan terpenting di negeri ini.

Pemimpin sejati teruji dalam krisis

Jadi, kalau kembali ke sosok Donald Trump, orang-orang Amerika sangat jengkel bukan karena Trump pernah menjadi cover majalah Playboy tahun 1990. Mereka sangat marah karena merasa tidak memiliki presiden yang bisa diandalkan dalam keadaan serba sulit sekarang ini.

Lain dengan orang Jakarta, yang pernah sangat puas karena memiliki Gubernur yang sangat bisa diandalkan mengatasi masalah apa pun.

“Di mana kehadiran negara, ketika 8 menit leher George Floyd ditindih polisi kulit putih sialan itu sampai mati? Di mana tentara, ketika sampai 16 kali Floyd berteriak “I can’t breathe”?

Ternyata di Lafayette Park tentara itu cuma jadi anjing “herder” Trump menembaki demonstran dengan gas air mata, agar ia bisa aman jalan kaki ke gereja seberang untuk berfoto”.

Begitu kurang lebih perasaan sebagian besar rakyat Amerika sekarang ini. Para pengunjuk rasa itu memaki-maki presiden mereka, karena dari TV mereka mendengar info selama ada kerusuhan di depan Gedung Putih, ternyata Trump mendekam berlindung di bunkernya.

Mereka sangat meradang mendengar berita ini. Ketika 30 kota Amerika terbakar, seorang pemimpin sejati semestinya tampil di garda depan menenangkan rakyatnya, bukannya malah ngumpet di bunker istana.

Piers Morgan, kolumnis senior Daily Mail tidak tahan melihat kekonyolan Donald Trump dalam menghadapi krisis Amerika yang begitu parah. Menanggapi kerusu-han rasisme itu, ia menulis:

“… and we’ve seen, with terrible irony, how right NFL star Colin Kaepernick was to take the knee to protest about police brutality against black people. Let’s be very clear: George Floyd was killed because he was a black man whose life just didn’t matter to Derek Chauvin. That much is crystal clear from the nonchalant, staggeringly callous way Chauvin allows Floyd to slowly expire from life under his knee.

Even by the dreadful standards of police violence against black people in America, this is a new low. It’s the moment everything Kaepernick said about black people’s discrimination at the hands of the criminal justice system is shown to be shockingly, inarguably true. That’s why the whole country has exploded with fury. That’s why cities are burning. That’s why there’s rioting on the streets. I don’t condone any of the looting and violence.

It’s shameful, wrong, and self-defeating. As Martin Luther King said: ‘Hate begets hate; violence begets violence. Toughness begets a greater toughness.’ But my God, I understand the rage of the protesters. And it’s just not good enough for white people like me to watch George Floyd die, shake our heads and say how awful it is, rant about the looters, then turn away and get on with our comparatively privileged lives. This is a wake-up moment for all of us.”

Siapa pun yang menangis dan prihatin pada kerusuhan rasial di Amerika sepekan ini, pasti menyetujui apa yang ditulis Piers Morgan.

Tentang Trump, sahabat yang pernah ia dukung pada Pilpres 2016 yang memenangkannya, Morgan menegur Trump dan menunjukkan apa yang semestinya dilakukan seorang presiden Amerika pada krisis separah ini.

President Trump had one job to do after this terrible killing – and that was to heal the raging wounds of fellow Americans. To speak to them from the Oval Office, with love, and respect and empathy. To say he understood their anger and would do everything in his power to stop more black people like George Floyd being killed by the very people charged with protecting their lives.

 Instead, as America burned, Trump poured fuel onto the fire. ‘When the looting starts, the shooting starts,’ he tweeted on Friday. This was a direct quote from racist Miami police chief Walter Headley in 1967, who referred to Civil Rights protests by saying: ‘There is only one way to handle looters and arsonists during a riot and that is to shoot them on sight. I’ve let the word filter down: when the looting starts, the shooting starts”.

Bukannya menenangkan, Trump malah menyiram api dengan bensin. Main ancam lagi. Rakyat Amerika marah sekali.

Tentu Piers Morgan termasuk orang yang juga sangat marah, ketika mendengar info tentang ngumpet di bunker itu. Ia menganggap Trump seorang pengecut.

Bagi Morgan, Trump bukan seorang pemimpin sejati. Pemimpin sejati menghadapi kesulitan, bukan malah ngumpet menghindarinya.

Ia menyamakan Presiden Trump dengan Kaisar Nero. Tuduhan yang sangat sadis :

He failed to protect America from Covid-19 now a cowardly President fuels the fires and fiddles in his bunker as America burns with rage at George Floyd’s despicable murder by police – shame on you, Mr Trump!

In 64 A.D. a great fire ravaged Rome for six days, destroying 70% of the city and leaving half the population homeless. Emperor Nero, so legend has it, was safely tucked away in his villa 35 miles away, playing the fiddle. His people never forgave him.”

Bukan main pedasnya kritik Piers Morgan in.  Ia hanya jengkel, ketika dunia sedang dilanda wabah Covid-19 dan membutuhkan pemimpin yang kuat, Amerika di bawah Trump kok memble seperti itu. Padahal selama berpuluh-puluh tahun, Amerika selalu dipandang sebagai kiblat dunia dan pemimpin dunia.

Menyikapi dan mengatasi masalah ala Trump dan ala Paus

Pada bulan Februari tahun 2016, Paus Fransiskus datang ke Mexico dan Cuba. Dari sudut pastoral, kunjungan Paus ke Mexico adalah kunjungan yang sangat simbolis dan bersejarah. Paus mengawali kunjungannya ke Mexico dengan berdoa kepada Bunda Maria Guadalupe, pelindung Amerika. Kemudian ia mempersembahkan misa di kawasan Ecatepec, wilayah yang menjadi jantung kriminalitas terorganisasi di kota Mexico.

Dalam kotbahnya di tempat itu, Paus mengingatkan bahaya kekayaan, ketamakan dan kesombongan. Kemudian ia melanjutkan kunjungannya ke kota San Cristóbal de Las Casas di Chiapas, kota dengan konsentrasi penduduk asli terbesar di negara Mexico. Di kota ini, Paus mengunjungi tempat tinggal para penduduk asli. Kemudian Paus datang dan mempersembahkan misa di kota Morelia.

Di Mexico, Morelia adalah kota yang terkenal sebagai “kota laknat”, “murder capital”, kota yang dikuasai para gangster narkoba. Di sini Paus mengingatkan, bahwa Yesus tidak pernah memerintahkan anak-anak muda menjadi “hitmen” pembunuh bayaran.

Dan akhirnya, kunjungan Paus ke Mexico diakhiri dengan misa besar di lapangan kota Ciudad Juárez, kota perbatasan Mexico dengan Amerika. Tentu saja, di kota perbatasan di mana akan dibangun tembok pemisahnya oleh Trump,  Paus berdoa khusus bagi kaum imigran dan martabatnya. Misa besar di kota Ciudad Juárez ini dihadiri pula oleh beberapa Uskup dari Amerika, termasuk Kardinal Sean O’Malley dari Boston.

Kunjungan Paus ke Mexico sangat jelas misinya: berpihak pada mereka yang miskin, yang tersingkirkan, yang terbelenggu gangster narkoba, yang selalu terancam kriminalitas, dan yang mengadu nasib sebagai imigran.

Di pesawat yang membawanya pulang ke Itali, Paus Fransiskus, seperti biasa, menggelar obrolan santai dengan para wartawan. Para wartawan minta tanggapan Paus tentang issue yang lagi ramai dibicarakan, yaitu rencana Donald Trump  membangun tembok pemisah di perbatasan Amerika-Mexico kalau ia menang pilpres November 2016 nanti.

Dalam Bahasa Italia, Paus menjawab: “Seseorang yang hanya berfikir membangun tembok, di manapun itu, dan bukannya jembatan, ia bukan orang Kristen.”

Beberapa media lalu “memlesetkan” judul beritanya menjadi: “Pope says Trump ‘is not Christian”. Sampailah berita demikian itu ke Donald Trump, kandidat presiden dari partai Republik.  

Dengan ketusnya Trump menjawab komentar Paus Fransiskus: “For a religious leader to question a person’s faith is disgraceful.”

Dan pada kesempatan kampanye beberapa waktu kemudian, Trump menyindir Paus dengan mengatakan: “If and when the Vatican is attacked by ISIS, which as everyone knows is ISIS’s ultimate trophy, I can promise you that the Pope would have only wished and prayed that Donald Trump would have been President because this would not have happened”

Trump mengingatkan, Vatikan adalah target utama ISIS. Tanpa bantuan Amerika, ISIS tidak mungkin akan lenyap.

Tembok pemisah di garis perbatasan Amerika dan Meksiko by Pbs.org

Tentu saja rakyat Amerika tidak begitu saja mengamini pernyataan-pernyataan Trump yang “menyerang” Paus Fransiskus. Apalagi orang-orang Katolik para pendukung Hillary Clinton dari Partai Demokrat.

Meme dan komentar-komentar lucu tentang Yesus vs Trump, Paus vs Trump dan bahkan Injil menurut Trump berseliweran sampai sekarang; tidak hanya marak selama masa kampanye saja. Amerika sangat cerdas untuk mentertawakan diri mereka sendiri dan terutama mentertawakan Trump. Twitter-twitter cerdas pada #TrumpBible bisa menjelaskan dengan baik siapa Trump. 

Ini misalnya:

  • @TheRickWilson: “Lucifer? Thrown out of the Kingdom of Heaven? Lemme tell you, I’d hit God with an eminent domain claim so fast…” #TrumpBible
  • @KevinMKruse: “Jesus of Nazareth? Maybe. I’ve got credible evidence from some top Romans that says he isn’t.” #TrumpBible
  • @EsotericCD: This Pilate, I dunno; I can’t work with him. Wishy-washy. What is truth this, wash my hands that. You’re in charge! Make a call! #TrumpBible
  • @BrianZahnd: Scribe: Which is the greatest commandment? Jesus: Sit down. Nobody called on you. Go back to Jerusalem.#TrumpBible
  • @fbcjaxwatchdog: “Corinthians? They’re fine people, wonderful people, make a tremendous leather product.  My home in Malibu is covered in it.” #TrumpBible
  • @RobGeorge: “Judas? Bad leadership on Jesus’ part. Would never have happened on #CelebrityDisciple.” #TrumpBible
  • @IvanKaramazov: “Then He will also say to those on His left, ‘Depart from Me, haters and losers, into the eternal fire, which is Mexico.'” #TrumpBible
  • @EsotericCD: Don’t get me wrong: Jesus? Great guy, classy. But a terrible executive. I would never tolerate a traitor within my organization.
  • @bryanbehar: This Moses guy wanders 40 years, never even makes it into the land of Canaan. There’s a name for guys like that. Loser.  #TrumpBible
  • @sdouglass69: Joseph & Mary rode a donkey into a foreign town to have a baby in a manger? Sound like illegals to me.  #TrumpBible #BuildAWall
  • @bencasselman: And Jesus said to them, “It is hard for a rich man to enter the kingdom of heaven, but I am REALLY, REALLY rich.” #TrumpBible
  • @bencasselman: And Moses went to Pharaoh and said to him, “Let my people go!” and Pharaoh did because Moses knew how to negotiate. #TrumpBible
  • @MattChilders87: Paul? he’s a hero bc he wrote some letters from prison? Personally I like people who weren’t captured.   #TrumpBible
  • @nick_bunker: This Goliath guy, he’s HUGE loser. David, he’s a real classy winner. Used his sling to Make the Israelites Great Again.

Katolik Amerika yang tidak bisa dianggap remeh

Setelah terpilih menjadi presiden Amerika, pada hari Rabu 24 Mei 2017, Trump mengadakan kunjungan kehormatan kepada Paus Fransiskus. Ia datang ke Vatikan disertai ibu Negara Melania. Baru 5 bulan menjadi Presiden AS, Trump memberi prioritas untuk datang ke Vatican. Ia tahu pentingnya Paus dan peran Gereja Katolik di dunia.

Paus menyambut kedua tamunya dengan hangat. Ia sudah melupakan omongan “nyinyir” Trump seusai dikritik Paus tentang tembok perbatasan itu. Paus Fransiskus memberikan kenangan kepada Presiden Trump dua buah buku.

Buku Ensiklik lingkungan hidup Laudato Si dan buku dalam bahasa Italia: “La non violenza, stile di una politica per la pace” (Anti kekerasan, gaya politik untuk perdamaian). Selain buku, Paus juga memberikan medali bergambar daun zaitun simbol perdamaian.

Sambil memberikan buku-buku dan medali itu, Paus berpesan kepada Trump: “Questo glielo regalo perché lei sia strumento di pace.” (saya berikan cinderamata ini dengan harapan semoga Anda menjadi alat perdamaian).

Dijawab Trump: “We can use peace”, sambil melanjutkan dengan beberapa hal mengutip pidato Martin Luther King. Suasana menjadi lebih hangat, ketika Paus memuji Trump yang selalu tampak sehat dan segar.

Dalam bahasa Spanyol, Paus bertanya kepada Melania: “Suami Anda masih sangat gagah. Apa resepnya? Anda kasih makan potica?”

Potica adalah roti manis kegemaran orang-orang Latin Amerika. Melania nampak kurang menangkap candaan Paus. Juru bicara Vatican terpaksa mengulangnya dalam bahasa Inggris.

Melania tertawa lebar. Ia menjawab: “Saya kasih pizza.” Candaan tentang makanan, terbukti mencairkan ketegangan. Seusai pertemuan, Trump menjabat tangan Paus dengan hangat.

Sebelum pamit, ia berbisik kepada Paus Fransiskus: “Thank you, I won’t forget what you said.”

Iustrasi by RD

Sebagai presiden Amerika, Trump memang tidak bisa menganggap remeh kehadiran dan peran gereja Katolik di negaranya. Kemarin, Uskup Episkopal dan Uskup Agung Katolik Washington mengecam Trump, karena mereka merasa presiden Amerika itu hanya memanfaatkan Gereja untuk kepentingan politiknya. Bahwa Gereja cuma dipakai untuk berfoto,adalah tanda bahwa Trump sama sekali tidak peka dan tidak mengerti arti terdalam dari sebuah Gereja.

Gereja bagi Trump adalah cover, bungkus atau casing saja. Gereja paling-paling dianggap sebagai tempat ibadat saja. “Isi” gereja sebagai pembawa pesan iman, harapan dan kasih tidak ia mengerti, apalagi ia praktikkan. Padahal, sebagai presiden Amerika yang mengaku diri Kristiani, semestinya ia melakukan pesan kasih sebagai pesan utama Gereja dan Kitab Suci yang dipamerkannya dalam berfoto.

Amerika dan dunia marah, karena dalam mengatasi kerusuhan rasial akibat terbunuhnya George Floyd, Trump sama sekali tak menunjukkan empatinya, apalagi tindakan cintakasih yang berasal dari pengakuannya sebagai orang Kristen.

Sindiran-sindiran pada #TrumpBible, sudah menunjukkan dengan baik siapa Trump dan Kitab Suci yang dihayatinya. Seorang pendeta Presbiteran, gembala “paroki”-nya Trump di Manhattan pernah mengatakan, Trump jarang datang ke gereja. Ia bukan anggota gereja yang baik. Pada presiden “Kristen KTP” seperti itu, sebagian besar orang Amerika memang sudah pasrah dan “terima nasib”.

Mereka tahu, dalam bencana Covid-19 yang merenggut nyawa 100 ribu lebih orang Amerika, dan kisruh rasial sepekan ini, mereka tidak bisa berharap banyak pada presiden dengan kualitas seperti itu. Sama seperti penduduk Jakarta, yang juga pasrah mendapatkan Gubernur yang kualitasnya tidak seperti yang mereka harapkan.

Walau dikritik habis dan dikecam pihak Gereja, Trump dengan kalemnya mendatangi gereja St. John dan Saint JP2 Shrine di Washington. Dia seolah hendak mengatakan, walau di matamu saya ini Kristen konyol, namun Tuhan tahu saya tetap mengandalkanNya. Meski kamu mentertawan saya sebagai presidenmu, namun saya tahu kalau Tuhan yang memimpin, siapa bisa melawan?”

Keyakinan Trump ini diamini oleh Rev. Robert Jeffress, pastor Gereja Evangelis yang berkotbah pada pelatikan presiden Trump. “I believe President Trump was absolutely correct in walking over last evening and standing in front of that church to show his solidarity not only with that congregation but with houses of worship across America,” kata pendeta Jeffress pada interview dengan “Fox & Friends”.

Siapa pun presiden Amerika, termasuk Donald Trump, tidak bisa mengabaikan kehadiran Gereja Katolik Amerika. Official Catholic Directory tahun 2016, yang diterbitkan oleh kantor Konferensi Uskup Amerika, mencatat orang Katolik Amerika jumlahnya  70.412.021, 22% dari jumlah penduduk Amerika.

Catatan jumlah umat Katolik Amerika ini didasarkan pada “the parish assessment tax” yang dilaporkan oleh para imam paroki.

Kalau yang dihitung cuma orang Katolik dewasa, menurut Pew Research Center (PRC), sebuah lembaga survey Amerika yang kredibel, jumlah orang Katolik Amerika cuma sekitar 51 juta. Pada survey tahun 2014 yang dirangkum dalam Religious Landscape Study, PRC melaporkan jumlah pemeluk Kristen di Amerika (termasuk Katolik) adalah 70.6%.

Dengan jumlah itu, bisa dikatakan mayoritas penduduk Amerika adalah Kristen. Menurut PRC, dari 70.6% penduduk Kristen itu, Protestan dengan pelbagai denominasinya jumlahnya 46.5%, Katolik 20.8% sisanya sekte Kristen lain seperti Mormon dan Saksi Jehovah.

Seperti yang terjadi di banyak negara, setiap kali pemilu tiba, para capres Amerika juga mulai mengadakan “pedekate” (pendekatan) dengan agama-agama dan gereja mayoritas. Gereja Episkopal, gereja mayoritas dari gereja Protestan Amerika, selalu dijadikan “langganan” kampanye para presiden dari Partai Republik termasuk Trump.

Ketika menjadi kandidat presiden dari Partai Republik, Trump meraih banyak dukungan pada “Iowa Evangelical Gathering”, sebuah acara tahunan penting Gereja-gereja Protestan Amerika.

Sudah bukan rahasia lagi, mayoritas orang kulit putih dari Gereja Episkopal, Presbiteran dan gereja-gereja denominasi Protestan lain pasti mendukung presiden dari Partai Republik.

Sementara para pemilih Katolik terutama kaum “Hispanic” dari keturunan Amerika Latin dan Mexico yang berbahasa ibu Spanyol, biasanya menjadi pendukung setia partai Demokrat. Sementara orang-orang Katolik kulit putih, termasuk para pengusaha kaya yang tergabung dalam organisasi seperti Knight of Columbus, mayoritas mendukung presiden dari Partai Republik.

Dan Trump tahu itu. Maka ia tidak terlalu risau dan mengabaikan saja kecaman Uskup Katolik kulit hitam yang memimpin Keuskupan Agung Washington.

Kunci memahami semua ini: dialog dalam kasih

Kerusuhan rasial di Amerika sudah terlanjur meledak. Tragedi ini menambah keterpurukan Amerika yang sudah terkapar karena wabah Covid-19. Oleh banyak fihak, Presiden Amerika dikecam sangat kedodoran dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan kerusuhan rasial.

Selain masalah “law enforcement” yang langsung tampil di panggung dalam musibah di Amerika ini adalah masalah hubungan Gereja dan negara, hubungan presiden dengan para pemuka Gereja, hubungan presiden dengan para Gubernur Negara Bagian, hubungan pemerintah Gedung Putih dengan para Senator dan tentu saja hubungan warga Amerika kulit putih dan kulit hitam.

Tiba-tiba kita sadar, betapa bersyukurnya kita yang hidup di negara yang dipimpin oleh presiden yang tidak memiliki budaya saling mengecam. Tiba-tiba dari pergulatan batin orang-orang Amerika, termasuk Uskup Amerika ini, kita disadarkan betapa kita mesti bersyukur memiliki budaya yang mengedepankan musyawarah. Betapa kita tak pernah henti berterima kasih pada para leluhur bangsa kita, yang selalu mengajar kita  berdialog.

Dialog itu bukan cuma bicara dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Kepada pejabat yang cuma pinter ngomong tapi nggak becus bekerja, orang Surabaya punya kritik sangat tepat: “Nek mung mbacot kaya ngono aku yo isa rek.”, kalau hanya ngomong kayak gitu, saya juga bisa.

Menafsirkan kejadian dengan baik dan benar, juga termasuk tugas dialog semua orangtua dalam menanamkan nilai kebenaran. Seorang ibu di Amerika, gagap dan sangat tidak siap, ketika ia mesti menerangkan kepada anaknya yang baru berusia 3 tahun, tentang kerusuhan yang terjadi.

Chanon Bah, seorang ibu berusia 31 tahun dari Maryland, kebingungan saat ditanya oleh Cairo anaknya yang baru berumur 3 tahun “Mommy, who’s the bad guy ?”

Cairo bertanya demikian, karena di televisi ia menyaksikan tayangan berulang-ulang polisi Minneapolis yang menindis leher George Floyd.

Chanon tidak bertanya kepada anaknya yang masih kecil, siapa “bad guy” yang dimaksudkan. Polisi kulit putih, atau orang kulit hitam yang ditindih itu. “I tried to explain that sometimes, the police are the good guys, but sometimes they’re not,” katanya dengan berlinang air mata.

Ulah orang-orang tua “berkelahi” bahkan berbuat rusuh, membakar, memukul, melempar, berteriak dengan kata-kata kotor selalu melupakan anak-anak kecil yang menyaksikan semua itu dan jadi galau dalam mencoba memahami apa arti semua itu. Speechless.

Dalam diskusi para Bapa Konsili tentang draf naskah “Gaudium et Spes”, ada sessi diskusi cukup panjang tentang gereja dan dunia. Gereja dan dunia atau gereja di dunia? Kira-kira begitulah topik diskusi panas Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes.

Syukurlah, para Uskup Asia (yang hampir semuanya tidak pernah ikut hadir pada Konsili Vatikan II itu) berhasil merumuskan semangat dialog yang pas dan tepat guna dalam menggereja di Asia.

Dalam memperingati 50 tahun FABC (The Federation of Asian Bishop’s Conferences) yang sedianya akan diadakan pada tahun 2020, para periti (para teolog ahli) merangkum kembali pokok-pokok penting yang selama 50 tahun dijadikan perhatian para Uskup Asia dalam melaksanakan tugas perutusannya.

Menurut para Uskup Asia yang tergabung dalam FABC,  tugas Gereja Katolik di Asia adalah menemukan dan menghidupi: “new way of doing church“.

Ada enam hal yang mendasari jalan baru dalam menggereja di Asia ini :

  1. the Asian Church is called to be a “communion of communities” that is
  2. shaped by, and responds to the immense diversity and pluralism of Asia,
  3. under girded by a commitment and service to life,
  4. inspired by an overarching vision of harmony,
  5. oriented toward a threefold dialogue with Asian cultures, religions and the poor, and
  6. seeking to build the Kingdom of God in Asia.

Selama kita mampu berdialog dengan baik tanpa melupakan budaya luhur kita, bersama para pemeluk agama lain dan terutama dengan tetap merangkul saudara-saudari kita yang miskin, yang teraniaya, yang tertindas, kita pasti tidak akan “ribet” dan “ribut” seperti yang kita saksikan di Amerika.

Selama kita erat bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat dalam suasana persaudaraan sejati dan dalam musyawarah yang dewasa, seperti harapan FABC, kita dan gereja kita pasti akan terus bisa menjadi garam yang asin dan terang yang bersinar.

Bukankah untuk menjadi “Lumen Gentium”, Tuhan membutuhkan tangan kita? (Selesai)

A.Kunarwoko – Jakarta 3 Juni 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here