BERSAMA Kardinal Suharyo, ada sembilan Kardinal lain yang termasuk kardinal pemilih pada kloter keenam Konsistori Kardinal pada hari Sabtu, 5 Oktober 2019 pekan lalu.
Tiga kardinal lain yang dilantik pada hari itu bukan masuk kategori kardinal pemilih.
Dengan demikian, menurut banyak pengamat, Paus Fransiskus sedang meningkatkan strategi kepemimpinannya, agar Paus yang akan menggantinya nanti terus bisa melanjutkan policy-nya.
Dengan menunjuk 10 kardinal elector baru pada angkatan Kardinal Suharyo, Paus ingin “mengirim pesan” kepada dunia apa yang menjadi prioritas penggembalaannya.
Para kardinal memiliki peran dan posisi strategis yang sangat penting bagi Paus.
Menurut Pater Thomas J. Reese SJ, analis dan kolumnis pada koran Katolik tersohor The National Catholic Reporter dan majalah Katolik America yang berwibawa terbitan Jesuit, tugas pokok seorang Kardinal pada era Paus yang sekarang ini adalah menjadi megaphones.
Demikian pendapat penulis Jesuit ini: “In short, by making these men cardinals, the pope is handing them megaphones. He wants their voices heard above the crowd of thousands of bishops in the church. He wants them brought to the notice of the 1.2 billion Catholics in the world. In the appointment of these new cardinals, the men are the message”.
Memang benar, para Kardinal adalah “megaphone” Paus dan Gereja yang sangat mempesona.
Para Kardinal, dalam istilah Pater Thomas J. Reese SJ adalah “the men of the message”.
Para jurnalis dan awak media di mana-mana, selalu mengejar dan mewawancarai para Kardinal, kalau mau bertanya tentang masalah Gereja.
Menjadi pusat perhatian media
Dulu, kalau Bapak Julius Kardinal Darmaatmadja SJ datang ke Roma karena ada undangan macam-macam acara, beliau biasanya menginap di Collegio Olandese, collegio kami di Roma.
Berapa kali Bapak Kardinal cerita, kalau ada wartawan dari Belanda atau Italia akan datang ke Collegio Olandese untuk mewawancarainya.
Di Amerika, media cetak dan elektronik tidak akan pernah mendatangi juru bicara Konperensi Waligereja Amerika kalau ada issue penting tentang Gereja Katolik Amerika. Para Kardinal-lah yang biasanya dikejar dan diwawancaraI.
Suara kardinal oleh banyak fihak selalu dianggap suara resmi Gereja. Kardinal juga sosok Gereja Katolik setempat yang paling dihormati.
Saya ingat, Gus Dur saja setiap kali ketemu kami, selalu menyampaikan “Salam kagem Bapak Kardinal nggih.”
Saya yakin, setelah diangkat menjadi Kardinal, para pencari berita akan lebih memandang Mgr. Suharyo sebagai Kardinal ketimbang sebagai Ketua Para Waligereja Indonesia atau Ketua KWI.
Begitulah konsekwensi “jabatan”.
Mengenai peran kardinal sebagai “corong” Paus dengan pelbagai tafsirnya, para kardinal pada konsistori angkatan Kardinal Suharyo itu adalah angkatan yang “lengkap” serta berpengalaman pada isu-isu yang selalu melekat pada hati Paus Fransiskus.
Yakni, masalah tentang pengungsian, migrasi, kemiskinan, peningkatan pemahaman dan kerjasama antaumat beragama, rekonsiliasi, membangun perdamaian, evangelisasi, dan perhatian pada lingkungan hidup.
Kardinal Jesuit Michael Czerny
Mgr. Michael Czerny, imam Jesuit yang dilantik menjadi Kardinal bersama Mgr. Suharyo, adalah contohnya.
Jesuit berumur 73 tahun ini adalah rujukan Paus, kalau mau berurusan dengan persoalan migrasi dan pengungsi.
Masih ingat bukan akan kejutan Paus Fransiskus, setelah beberapa pekan menjadi Paus? Beliau mendadak memutuskan datang mengunjungi para pengungsi di Lampedusa, Italia Selatan, lalu juga mempersembahkan misa di atas perahu pengungsi yang terdampar.
Banyak yang percaya, Mgr. Czerny SJ sangat berperan dalam kejutan Lampedusa itu. Ia juga diduga penulis draf ensiklik lingkungan hidup “Laudato Si’ yang kini dipuji di mana-mana.
Sebelum fokus pada pelayanan migrasi dan pengungsi, Romo Czerny SJ juga mengurus para penderita AIDS di Afrika.
Dengan menjadi Kardinal, kini Kardinal Czerny SJ diharapkan menjadi “corong yang besar dan kuat” dalam menyuarakan masalah pelik pengungsi dan migrasi. (Berlanjut)