SEPERTI biasa, sebelum mengantar anak ke sekolah, saya membuka HP. Saya tertegun. Hari ini, HP saya penuh dengan berita tentang kepergian Mgr.Johannes Pujasumarta Pr, Uskup Agung Semarang.
Menurut berita-berita itu, Mgr.Puja, wafat tadi malam hari Selasa 10 November 2015 di RS Elisabeth Semarang pada pukul 23.30. Walau teman-teman yang mengabarkan berita duka itu ada yang mencoba menghibur diri dengan mengatakan: Ini pasti yang terbaik bagi Mgr.Puja setelah sakit begitu berat, Tuhan telah menganggap cukup tugas Mgr. Puja di dunia ini dan sekarang saatnya memperoleh mahkota kemuliaan bersama Tuhan dsb, namun tak bisa dipungkiri, semua tiba-tiba merasa sangat kehilangan.
Kalau ada tokoh yang meninggal, biasanya media mengabarkan dengan bahasa “baku”: “Kita kehilangan salah satu putera terbaik bangsa ”.
Bagi kebanyakan orang, kata-kata itu mungkin sudah cenderung menjadi klise. Namun bagi saya pribadi dan bagi kami keluarga besar alumni Seminari Mertoyudan angkatan 1973, kata-kata “kehilangan salah satu putera terbaik” karena meninggalnya, itu bukanlah kata-kata kosong.
Kepergian Mgr. Pujamarta telah membawa kehilangan dan duka yang sungguh mendalam bagi kami. Ketika kami masuk di Seminari Mertoyudan tahun 1973 itu, kami disambut Mgr. Pujasumarta. Waktu itu beliau bukan Rektor, bukan pula Direktur Seminari.
Tahun 1973 itu, Mgr. Puja masih seorang frater, belum ditahbiskan menjadi imam. Jabatannya juga tidak tinggi-tinggi amat. Beliau “cuma” menjabat sebagai Frater Sub-Pamong MP (Medan Pertama), asisten Romo Y. Udyasusanto SJ yang waktu itu ditunjuk sebagai Pamong MP.
Walaupun frater Puja “cuma” menjabat sebagai sub-pamong alias pamong pembantu atau dalam bahasa sekarang “pamong rekan”, namun bagi kami ia justru menjadi tokoh, panutan, simbol pemersatu, bahkan “roh” yang mengikat kami alumni Seminari Mertoyudan angkatan 1973.
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2015/11/Mgr-Puja-dengan-keluarga-alumni-Merto-73-6-Desember-2014-e1447290135893.jpg)
Pamong jempolan
Pada awal bulan Juli tahun 2013, kami mengadakan reuni akbar 40 tahun persaudaraan alumni Merto-73 di antara perkebunan teh yang asri di Wisma Aloysius Ciwidey Jawa Barat. Selain mengadakan acara temu kangen, kami juga membuat buku kenangan “Bunga rampai 40 tahun Merto-73”, yang kami beri judul “Aku berikan apa yang aku miliki”.
Dari 45 artikel yang ditulis teman-teman, ada 37 artikel yang meruntut pada pengalaman tahun pertama di Medan Pertama Seminari Mertoyudan. Dari artikel-artikel itu ada 31 artikel yang menyebut nama Frater Pujasumarta, dan hanya ada beberapa artikel yang menyebut nama-nama Romo atau pembimbing yang lain.
Nama guru bahasa Indonesia kami dulu, malah lebih sering disebut dibanding nama Rektor kami. Walau begitu, nama Pujasumarta tetap yang paling banyak disebut. Begitu mengesannya pengalaman di Seminari bersama Frater Pujasumarta, sehingga kami tidak bisa melupakan kenangan dan jasa Frater Puja untuk kami.
Mengapa kami tak bisa lupa pada Romo Pujasumarta ? Saya rasa jawabnya sederhana: Romo Pujasumarta orang yang sangat baik. Frater Puja tidak terlalu ambil pusing kalau mendapati kami mencuri buah (kenakalan remaja klasik dan turunan anak asrama), bangun kesiangan, terlambat ikut instruksi umum di Aula dan aneka kenakalan remaja yang lain.
Bersama Riyo Mursanto (mantan Provinsial SJ) saya pernah kepergok Frater Puja terlambat ikut instruksi umum. Biasanya hukuman yang akan diterima bagi yang terlambat semacam itu, adalah ngepel atau ngosek WC. Tetapi karena waktu itu Frater Puja lagi menggalakkan penghijauan komplek Medan Pertama dengan kebun yang asri dan memelihara aneka satwa (termasuk memelihara ular besar), maka hukuman yang kami terima adalah menyabit rumput.
![mgr puja 73b](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2015/11/mgr-puja-73b-e1447290324775.jpg)
Yang sangat mengesan untuk saya, sama sekali bukan hukuman nyabit rumput itu, tetapi kata-kata yang dipilih Frater Puja ketika memberi hukuman. Dia bilang: “Kun, ketoké truweluné ngelih jé. Kana ngarit !” (Kun, kayaknya kelinci kita lapar. Sana nyabit rumput!).
Ada cerita lain. Dua teman kami ketahuan Frater Puja, malam-malam masih “ngebut” belajar di belakang WC. Dengan diterangi lilin remang-remang, mereka ngumpet-ngumpet mempersiapkan ulangan bahasa Latin.
Kepada mereka, Frater Puja cuma bilang: “Mesakaké mripaté. Diteruské sésuk waé sinauné. Nèk tetep isih angèl, tak kancani sinau wis!” (Kasihan matanya. Dilanjutkan besok saja belajarnya. Kalau masih tetap sulit, saya beri “les tambahan” deh).
Romo Puja memang memiliki kepribadian yang baik. Caranya bersikap dan bertutur kata, diiringi dengan kemurahan hati dan tertawanya yang lepas, menunjukkan sekali bahwa ia adalah pribadi yang “punya kelas”.
Dia sungguh telah menjadi pamong dan pengasuh yang sangat baik bagi kami.
Gaya dan penampilan Frater Puja tahun 1973 itu sebagai Frater Sub-Pamong, sangat khas. Di Seminari Kentungan, oleh teman-temannya seangkatan ia dipanggil “Puja Simbah”. Memang waktu itu ia masih jadi Frater. Tetapi penampilan lahir dan batinnya sudah seperti simbah, opa-opa. Jadi lebih pas kalau disebut Romo daripada disebut Frater.
Saya yakin, Bapak Uskup Agung Semarang Kardinal Julius Darmaatmadja SJ waktu itu menugaskan Romo Puja mengambil studi Teologi Spiritualitas di Universitas Angelicum Roma, karena menilai Romo Puja memiliki kualitas rohani yang tinggi. Hidup doa dan hidup rohaninya benar-benar bermutu.
Waktu masih di Seminari Kentungan dan mengajar Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Agama di Sanata Dharma, saya pernah mengajak para mahasiswa kami rekoleksi di rumah retret Susteran Muntilan. Kebetulan, waktu itu Romo Puja sedang mengadakan retret pribadi di Susteran Muntilan juga.
Suster Marietta OSF, pimpinan Susteran Muntilan dan sahabat dekat keluarga kami, bisik-bisik pada saya : “Kun, contonen Romo Puja kuwi ! Wis 2 dina retrèt nèng kéné, ora kersa diaturi dhahar. Mung ngunjuk banyu. Romo-Romo saiki wis arang sing kersa pasa kaya Romo Puja kuwi. Aku yakin, suk Romo Puja kuwi mesthi dadi Uskup!” (Kun, contohlah Romo Puja itu. Sudah 2 hari retret di sini, tidak mau disiapkan makan. Cuma minum air putih saja. Romo-Romo sekarang jarang yang mau berpuasa dan matiraga seperti Romo Puja itu. Saya yakin, suatu ketika nanti dia akan jadi Uskup”).
Ramalan Suster Marietta ini terbukti benar. Romo Pujasumarta memang kemudian terpilih menjadi Uskup, bahkan Uskup Agung.
![tahbisan uskup mgr. pujasumarta](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2015/11/tahbisan-uskup-mgr.-pujasumarta-e1447290395256.jpg)
Meninggalnya Romo Puja mengingatkan kita pada meninggalnya Paus Yohanes Paulus II. Sama seperti ketika Paus wafat, saya membayangkan yang melayat Mgr. Puja juga pasti banyak sekali. Yang melayat pada misa di Katedral Semarang, di Kapel Kentungan dan pada pemakaman besok Jum’at, pasti membludak.
Seperti Paus Yohanes Paulus II, Mgr. Johannes Pujasumarta adalah imam dan Uskup yang suci. Kesucian mereka terpancar dari hidup dan penggembalaan mereka yang terpuji. Ketika jenasah Paus Yohanes Paulus II hendak dimakamkan, banyak umat yang berulang-ulang berseru membahana : “santo subito”, segeralah jadi Santo. Mereka meminta agar Paus Yohanes Paulus II diproklamasikan sebagai orang kudus saat itu juga, tidak usah menunggu.
Apakah pada pemakaman Mgr.Puja nanti juga akan ada seruan berulang-ulang “santo subito” seperti ketika pemakaman Paus Yohanes Paulus II itu? Saya rasa tidak akan ada. Yang pasti, untuk kami anak-didik Mgr.Pujasumarta, almarhum sudah kami jadikan santo. Bagi kami, Mgr. Pujasumarta sudah menjadi “injil yang hidup”. Karena teladan dalam menghayati panggilan kekudusan sudah ia jalankan dengan sangat baik, kami sebenarnya sudah terus berseru kepada Tuhan: “santo subito” untuk Mgr.Pujasumarta.
Orang itu kalau baik dan suci, “aura”-nya beda, kata seorang teman.
Teman kami alumnus Merto-73 ini termasuk “ngefans” berat pada Mgr. Puja. Di mana-mana, teman kami ini selalu cerita betapa terkesannya dengan cerita suci yang dibacakan oleh Frater Pujasumarta di Medan Pertama (MP). Setiap malam sebelum doa malam, kami mendengarkan bacaan rohani. Biasanya bacaan rohani itu diambil dari kisah para Santo atau Santa.
Yang lebih sering membacakan bacaan rohani itu ya Frater Puja itu, bukannya Romo Udya Pamong kami. Suara Frater Pujasumarta memang khas, khidmat dan “punya aura”. Yang diceritakan jadi meresap.
Ada 2 kisah suci yang selalu kami kenang. Yang pertama adalah kisah tentang Santo Yohanes Maria Vianney, Romo suci dari desa Ars yang menjadi pelindung Romo-Romo Paroki se-dunia. Yang kedua adalah kisah kemartiran Issaq Jocques, yang dipenggal kepalanya oleh para Indian suku Huron. Saking terkesannya teman saya ini pada kisah Issaq Jocques yang dibacakan oleh Frater Puja itu, teman ini sampai-sampai memberi nama 2 anaknya dengan nama tokoh Indian pengikut Issaq Jocques yang bernama Tarsisius Tandhihetsi atau si Senduk Kecil.
Anak teman saya itu diberi nama Monica Hetsi dan Ivo Tandhi. Saya pun juga terkesan dengan 2 kisah suci yang dibawakan Frater Puja itu. Waktu mendapat beasiswa belajar bahasa Perancis di Lyon, saya juga menyempatkan diri menengok makam Santo Yohanes Maria Vianney di desa Ars yang cuma beberapa kilometer dari kota Lyon. Waktu di Canada, saya juga berziarah ke tempat Romo Issaq Jocques SJ.
Semua itu karena Frater Pujasumarta yang mempesona kami dengan bacaan dan teladan kesuciannya.
Sahabat sejati
Saya beruntung, dalam hidup ini pernah diberi “kemewahan” oleh Tuhan untuk hidup serumah dengan orang yang begitu baik dan suci seperti Mgr. Pujasumarta. Sesudah kami selesai Seminari Mertoyudan dan masuk Seminari Tinggi Kentungan tahun 1977, saya masih sempat bertemu Romo Puja kurang lebih setahun sebelum beliau menerima tahbisan imam. Sebagai frater yang baru, kami berbahagia ikut koor pada misa tahbisannya dan diajak datang pada misa pertamanya di Paroki Purwosari, Solo.
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2015/11/Mgr-Puja-dengan-Panitia-Malam-Dana-untuk-pembangunan-PSM-22-Januari-2014-e1447290478774.jpg)
Pengalaman studi lanjut di Roma pada tahun 1986, membuat saya bisa “menikmati kemewahan” bergaul, belajar dan bersahabat dengan sangat intensif pada Mgr. Puja. Sebagai imam diosesan Keuskupan Agung Jakarta yang pertama kali dikirim studi di Roma, saya dan Romo Tarigan sangat dibantu oleh Romo Pujasumarta. Begitu tahu kami berdua mau dikirim oleh Mgr. Leo Soekoto SJ untuk studi di Roma, nampak sekali Romo Puja sangat bersemangat menyambut kami.
Beliau tidak peduli bahwa kami dari Keuskupan Jakarta, sementara beliau dari Keuskupan Semarang. Yang beliau tahu, kami berdua pernah menjadi murid-muridnya di Mertoyudan. Saya ingat, waktu masih bertugas di Paroki St. Matius Bintaro, Romo Puja menelpon saya langsung dari Roma sana. Beliau memberitahu bahwa saya diterima di Collegio San Paolo dan nama saya sudah terdaftar di Universitas Propaganda Fide: Urbaniana.
Begitu masuk asrama, kami yang dari Indonesia langsung disambut sebagai “amici di Giovanni Pugia” – teman-teman Romo Johannes Puja. Rektor Collegio, Suster-Suster asrama dan teman-teman dari lebih 70 kebangsaan itu, rupanya tidak ada yang tidak kenal Romo Puja. Kalau makan, Romo Puja tidak hanya duduk dan ngobrol dengan teman-teman sebangsa dan ngobrol dengan memakai bahasa bangsa itu seperti kebanyakan para mahasiswa lainnya. Romo Puja sangat membaur dan suka bergaul.
Meskipun secara resmi Romo Puja di asrama diangkat sebagai “Bidel” pengurus Kapel dan Liturgi alias Koster, namun diam-diam secara informal semua mahasiswa mengangkat Romo Pujo sebagai capo atau Ketua Umum mereka. Kami yang penggembira ini, ikut-ikutan “kecipratan” nama baik Romo Puja. Mereka mengira, orang-orang Indonesia itu ya pasti baik-baik seperti Romo Puja.
Romo Puja di asrama kami sudah menjadi “trade mark” imam yang baik dari Indonesia. Sebagai muridnya dan rekan imamnya, kami sangat bangga dengan Romo Puja. Dengar-dengar, saking terkenalnya kebaikan Romo Pujasumarta, Rektor kami waktu itu, Mgr. Francesco Pavese, meminta kepada Uskup Semarang supaya Romo Puja sesudah selesai studi diizinkan untuk tinggal beberapa tahun di Roma dan menjadi Wakil Rektor Collegio.
Sebagai rekan imam, Romo Pujasumarta sungguh menjadi sahabat yang sangat baik. Kebutuhan sandang dan pangan kami bahkan sangat diperhatikannya. Kami diwarisi dan dicarikan baju-baju yang tebal-tebal, kalau musim dingin tiba. Secara berkala, Romo Puja mendatangi kamar kami, menanyakan kurang apa atau ada kesulitan apa.
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2015/11/Pemberkatan-Ruang-Multimedia-Seminari-Mertodyudan-6-Desember-2014-e1447290533548.jpg)
Nalurinya menjadi “bapak” bagi kami anak-anak didiknya di Mertoyudan, sangat kelihatan. Dan itu semua tampil dengan wajar, apa adanya dan akrab. Romo Puja juga yang pertama kali mengajak kami ke super market Standa, untuk beli beras, sayuran dan lauk-pauk untuk masak.
Kalau hari Minggu sore asrama tidak menyediakan makan malam, dan kami harus masak sendiri. Negara-negara yang mahasiswanya banyak seperti Nigeria, Kenya, India, Korea dan Indonesia diberi dapur khusus.
Terasi ‘heroin’
Tentang masak memasak ini, kami ingat sekali pengalaman Romo Puja ikut mengurus Romo Bert Van der Heijden SCJ yang “kena kasus” dengan Carabinieri di Bandara Fiumicino. Sebagai “komandan dapur” Collegio San Paolo, Romo Puja ditawari Romo Bert dibawakan oleh-oleh apa dari Indonesia.
Kebetulan Romo Bert, dosen kami di Kentungan dan tinggal di Wisma SCJ Banteng Yogyakarta, memang lagi bertugas ke Roma. Para Romo SCJ kadang-kadang kami undang makan di dapur Collegio kami. Kebetulan Generalat SCJ yang besar itu, letaknya tidak jauh dari asrama kami.
Kepada Romo Bert, Romo Puja titip minta dibawakan terasi. Romo Puja memang suka bikin sambel terasi. Sambel buatan Romo Puja terkenal sekali. Teman-teman dari India, Malaysia dan Nigeria sering meminta sambel bikinan Romo Puja. Untuk hidung orang Nigeria, tetangga dapur kami, sambel terasi bikinan Romo Puja itu nikmatnya luar biasa.
Ternyata terasi yang dibawa Romo Bert itu dicurigai sebagai heroin. Di Bandara, Romo Bert ditahan cukup lama. Beliau diinterogasi seperti seorang kriminal. Uji urin dan uji terasi dilakukan. Teman-teman KBRI Vatikan jadi ikut terlibat. Semua gara-gara terasi pesanan Romo Puja.
Romo Puja juga membiasakan kami untuk bergaul dengan orang-orang Indonesia yang ada di Roma, terutama keluarga-keluarga yang bekerja di KBRI Vatikan dan KBRI Italia. Bersama almarhum Romo Bardiyanto dan almarhum Romo Andreas Leba, Romo Puja adalah pengurus IRRIKA (Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi Roma) yang sangat aktif.
Di bawah kepengurusan Romo Bardiyanto dan Romo Puja, IRRIKA untuk pertama kalinya menyusun AD dan ART. Mereka berdua memiliki visi yang sama, bahwa IRRIKA tidak boleh cuma sekedar menjadi tempat kumpul-kumpul dan kangen-kangenan saja. IRRIKA harus menjadi representasi Gereja Katolik Indonesia yang ideal, yang 100% Katolik dan 100% Indonesia. Gereja Indonesia mesti menjadi sahabat pemerintah, tetapi juga tetap memiliki identitas dan tuntutan etika Katolik yang tinggi.
Ketika Romo Puja mempertahankan dissertasinya tentang “Peranan Awam Indonesia” di Universitas Angelicum, Bapak Dubes Vatikan Suhardiman dan ibu serta keluarga-keluarga Indonesia yang lain, datang dan memestakan Romo Puja. Nampak sekali, untuk mereka, Romo Puja sangat dicintai, dihormati dan diterima dengan sangat baik.
![mgr puja 73a](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2015/11/mgr-puja-73a-e1447290620155.jpg)
Romo Puja juga sangat mencintai Italia, lebih-lebih tradisi kekatolikan dan tradisi imannya yang tinggi. Dalam beberapa kesempatan, ia selalu mengatakan kepada kami: “Kita ini ditugaskan belajar di Roma pasti bukan kebetulan. Mayoritas santo dan santa dalam Gereja itu orang Itali. Mayoritas Paus gereja kita itu orang Itali. Roma yang indah ini seperti museum. Di mana-mana ada gereja dan kapel yang luar biasa bagus. Italia itu selain negerinya indah, juga mewarisi 60% peninggalan sejarah gereja. Karena itu, kita mesti memanfaatkan waktu kita di Italia ini untuk memperdalam iman kita. Salah satu caranya adalah dengan sering-sering mengenal tempat-tempat di Italia yang bisa kita jadikan refleksi iman kita”.
Romo Puja, konsekwen sekali dengan nasehatnya ini. Setiap Natal, Paskah dan libur musim panas tiba, ia rajin membantu pengakuan dosa dan misa di paroki-paroki di Italia. Berbeda dengan di Indonesia, pengakuan dosa masih sangat laku di Italia. Di Paroki Bodaere di wilayah Treviso dan Paroki Lecce misalnya, Don Giovanni Pujasumarta sangat dikenal dan dicintai umat.
Ketika saya membantu di paroki-paroki warisan Romo Puja itu, saya selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dari mudika atau anak-anak paroki : “Kamu dari Indonesia temannya Don Giovanni ya?”
Malah di Treviso, saya masih menemukan majalah paroki yang berisi korespondensi Romo Puja dengan mudika paroki. Ada juga puisi bagus yang dipersembahkan umat paroki kepada Romo Puja sebelum pamit pulang ke Indonesia. Di mana-mana Romo Puja memang dicintai dan dikenal sebagai imam yang baik.
Perhatian Romo Puja kepada saya, kepada Romo Purwatma, kepada Romo Tarigan waktu di Collegio San Paolo, juga dinyatakan dalam bentuk dukungan nyata bagi kemajuan studi kami.
Tahun 1986 itu, kami belum menggunakan komputer. Beberapa teman dari Thailand ada yang sudah mencoba memakai komputer layar hitam putih, dengan program Dos yang belum ada hard-disknya. Sistem dan datanya dibaca dari floppy disk ukuran 5.25. Program menulis yang dipakai waktu itu masih program WordPerfect versi 2.0.
Romo Puja sendiri masih membuat dissertasinya dengan mesin tik bikinan Italia merk Olivetti. Setelah Romo Puja menyelesaikan dissertasinya, mesin tik Olivetti tua itu diwariskan ke saya. Sementara mesin tik elektrik baru yang saya punya malah dipakai sahabat saya Romo Purwatma.
Kalau ada PR atau tugas dari dosen dalam bahasa Italia, Romo Puja tidak segan-segan menawarkan diri membantu mengoreksi. Padahal ketika itu, Romo Puja sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan dissertasinya. Kami cukup salut, Romo Puja menulis dissertasinya dalam bahasa Itali. Rata-rata teman Indonesia menuliskan dissertasinya dalam bahasa Inggris. Karena Romo Puja rajin menjadi koster collegio dan dekat dengan Padre Spirituale kami, maka Romo Pembimbing Rohani kami itu dengan senang hati membantu mengoreksi isi dan bahasa dissertasi Romo Puja.
Saya beruntung, selama di Collegio San Paolo, Romo Puja juga memperlakukan saya sebagai sahabatnya. Tidak segan-segan Romo Puja menunjukkan koleksi korespondensinya dengan kakak dan adik-adiknya. Saya sungguh kagum, ada keluarga yang memiliki dokumentasi begitu baik dan lengkap memaknai apa-apa saja peristiwa hidup sehari-hari dari kacamata iman.
Saya bahkan diminta membaca dan berkomentar ketika keluarga Romo Puja sedang memahami sakit yang dialami bapaknya. Saya jadi menundukkan kepala, betapa kekatolikan keluarga saya begitu jauh dan tidak ada apa-apanya dibanding kekatolikan keluarga Romo Puja yang begitu hebat. Dari obrolan tentang “korespondensi iman” yang ditunjukkan Romo Puja pada saya di kamar beliau di Collegio itu, saya bisa membuka mata betapa hebatnya hidup doa dan hidup beriman sebuah keluarga yang sungguh-sungguh konsekwen mengikuti Yesus itu.
Memang, kami semua tidak akan pernah bisa melupakan Romo Pujasumarta, karena beliau selama ini sudah seperti “malaikat pamomong” atau malaikat pelindung kami. Secara pribadi, saya beruntung dikaruniai Tuhan pertemuan dan persahabatan dengan Mgr.Puja ini. Kami semua sangat terkesan dengan sikap, tutur kata, contoh dan cara hidup beliau.
Romo Pujasumarta, untuk kami sudah menjadi “pamong” yang jempolan dari dulu sampai sekarang. Kita tahu, bahasa Jawa pamong, menjadi padanan dengan kata momong atau mengasuh. Dari Mertoyudan, Roma sampai sekarang, saya beruntung dikaruniai Tuhan sosok “malaikat pamomong”, malaikat pelindung dalam diri Mgr.Puja.
Almarhum menjadi panutan saya untuk mengerti dan menjalankan, untuk apa dan bagaimana menjadi orang Katolik yang semestinya itu. Bagi kami alumni Merto-73, Mgr. Puja adalah sosok teladan gembala dan pengasuh umat yang baik, yang hebat, yang jempolan. Saya yakin, bagi sebagian besar umat, sosok imam, gembala dan Uskup yang baik itu ya seperti Mgr.Puja itu. Titik!
Gembala sungguh baik
Pada hari Sabtu, 6 Desember 2014, Mgr. Puja berkenan mempersembahkan misa syukur di Seminari Mertoyudan bersama kami keluarga besar alumni angkatan 1973. Hari itu, Bapak Uskup juga meresmikan Perpustakaan Digital dan kelengkapan Ruang Multi Media persembahan Alumni Merto-73.
Dalam kotbahnya, Mgr. Puja bernostalgia ketika menjadi sub-pamong untuk angkatan kami pada tahun 1973 itu. Setiap malam, kata Mgr.Puja, beliau ngobrol dengan Romo Udyasusanto, tentang apa yang bisa dilakukan staf untuk para seminaris.
Mgr.Puja sangat terkesan, tahun 1973 komplek Medan Pertama (MP) menjadi komplek yang asri dan bersih. Kebersihan semacam itu pasti mendukung suasana belajar. Untuk terus menciptakan “habitus belajar” yang baik, segala macam upaya telah diusahakan termasuk memelihara burung beo yang sering berteriak-teriak “sinau, sinau!” (belajar, belajar!).
Lebih lanjut, Mgr.Puja pada kotbahnya mengatakan: “Saya sungguh bahagia bertemu kembali dengan teman-teman alumni Merto-73 ini. Alumni atau alumnus itu berasal dari kata Latin : “alere” yang artinya memberi makan. Seminari adalah ibu yang memberi makan kepada anak-anaknya. Bukan hanya makanan jasmani pada waktu potus (rehat minum), tetapi terutama makanan SSS (Sanitas, Sanctitas dan Scientia semboyan Seminari Menengah Mertoyudan)”.
Menurut Mgr.Puja, sanitas itu kesehatan dalam semua dimensinya; sanctitas itu kesucian yang bukan hanya kesalehan dan scientia itu pengetahuan dan keutamaan yang menjadikan insan cendekia yang seutuhnya.
“Saya berbahagia, karena alumni Merto-73 ini dan banyak alumni yang lain, menyadari setelah dulu diberi “makan” sekarang mereka bisa memberi makan. Tidak hanya untuk seminari, tetapi lebih-lebih kepada gereja dan masyarakat luas,” ujar Mgr.Puja.
Setelah Mgr. Pujasumarta dipanggil Tuhan tadi malam, pesan Mgr. Puja pada kotbah ini seakan terngiang kembali. Mgr. Puja menjadi imam, Uskup dan gembala yang sungguh baik, karena almarhum adalah pemberi yang sangat baik. Ia menjadi gembala yang begitu dicintai, karena selama hidupnya ia menjadi pemberi yang tekun, setia dan tak pernah lelah.
Selama kurang lebih 20 tahun terakhir ini, umat Katolik khususnya orang muda Katolik, sangat mengenal Mgr. Pujasumarta sebagai “Uskup Gaul”, uskup yang tidak alergi dengan media sosial. Sebelum zaman Facebook, Mgr. Puja sudah aktif melanglang buana di dunia maya. Walau rajin berpuasa dan bermati raga, Mgr. Puja juga tidak menjauhi dunia. Diajak makan ibu-ibu di resto, tidak dianggap haram oleh Mgr. Puja.
Walau sering memberi kesan “ngèli” (sengaja ikut arus) tetapi beliau tidak pernah “kèli” (terbawa arus).
Kesaksian hidup dan kesaksian iman yang begitu luar biasa dari Mgr. Puja, pasti lahir dari hidup rohani yang mendalam dan berkualitas tinggi.
Motto episcopatnya “Duc in altum” menampakkan sekali “kedalaman” spiritualitas dan kedalaman idealisme iman Mgr. Puja. Ketika di Roma, orang suci yang menjadi “idola” beliau adalah Padre Pio dari Giovanni Rotondo.
Romo Puja secara berkala berziarah ke makam Padre Pio. Waktu itu Padre Pio belum dinyatakan sebagai Santo. Kalau devosi kepada Bunda Maria, jangan ditanya lagi. Beliaulah yang mengajak saya untuk berziarah ke Bunda Maria di Loretto Italia Utara. Saya menyaksikan sendiri pengumuman yudisium ujian doktoral Mgr. Pujasumarta di aula Universitas kami Santo Thomas Aquinas “Angelicum” di Roma. Don Giovanni Trilaksiyanta Pujasumarta, mendapat judisium “magna cum laude”.
Ketika lulus dan menerima judisium itu, saya lihat Romo Puja biasa-biasa saja. Hanya tersenyum lebar seperti biasanya. Bagi kami anak didik dan sahabatnya, ujian sebenarnya sudah dilalui Mgr. Puja selama hidup di dunia ini, tidak di ruang ujian Universitas Santo Thomas Aquinas di bilangan Largo Angelicum itu. Mutu hidup dan mutu rohani Mgr.Puja sudah tidak bisa dinilai dengan judisium apa pun. Summa cum laude pun tidak mencukupi. Tokoh sebesar Romo Mangunwijaya saja ketika wafat, masih meninggalkan “catatan” untuk beberapa imam yang tidak selalu cocok dengan visi almarhum Romo Mangun. Bahkan juga Romo Sanjoyo, yang di Muntilan sudah dianggap suci dan santo.
Tentang Romo dan Mgr.Puja, kiranya hanya pujian, hormat dan syukur yang bisa kita hunjukkan kepada Tuhan, bahwa kita pernah diberi hadiah kehadiran almarhum yang begitu luar biasa di dunia ini.
Selama hampir 39 tahun menjadi imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Puja bisa dikatakan menjalani “karir imamat” yang cukup lengkap. Beliau pernah bertugas sebagai imam paroki di Paroki Ganjuran dan Klaten serta 10 tahun menjadi Vikjen atau Wakil Uskup KAS.
Namun sebagian cukup besar usia pelayanan almarhum, memang lebih banyak dihabiskan dalam menjalankan tugas sebagai formator, pendidik dan pendamping para calon imam baik di Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan, di Seminari Santo Paulus Kentungan maupun di pendidikan Tahun Rohani calon imam diosesan KAS di Jangli Semarang.
Dimana pun beliau ditugaskan, termasuk ketika ditunjuk menjadi Uskup Bandung “cuma” selama 2 tahun pada tahun 2008 dan kembali “pulang kandang” ke Semarang pada tahun 2010, semua diterima dan dijalani dengan taat serta gembira.
Dimanapun Mgr. Puja bertugas, ia selalu menampilkan diri sebagai bapak dan gembala yang baik bagi domba-dombanya. Mgr. Puja tidak hanya menggembalakan dengan “kepala”, tetapi lebih nampak menggembalakan dengan “hati”. Cara beliau menghadapi masalah umat, termasuk masalah yang menjadi pergumulan para calon imam dan rekan-rekan imamnya, sangat jelas menampilkan bahwa seorang imam Pujasumarta pertama-tama adalah “orang rohani”, rekan seperjalanan dalam berjuang menghidupi iman.
Di mata para seminaris, Romo Pujasumarta bukan bos yang suka menyelidik dan menghukum. Kepada pribadi seperti Mgr. Pujasumarta, kami jadi tidak segan-segan untuk “mengeluh” dan berbagi masalah hidup beriman dan hidup di dunia yang senyatanya ini. Beliau tidak hanya menjadi pendengar yang baik. Beliau juga menawarkan masukan dan tawaran solusi yang tidak naif.
Ketika saya memutuskan dan “diputuskan” oleh Uskup untuk tidak lagi menjadi imam, Mgr. Puja sebagai sahabat sejati, tidak sedikit pun memperlakukan saya ini sebagai pecundang. Kalau bertemu, beliau tetap ramah dan akrab pada saya. Kalau ngobrol dengan saya, beliau juga selalu ngajak saya berbahasa Jawa “ngoko”.
Giliran saya yang karena sungkan, pasti menjawab pakai bahasa Jawa “krama”. Bulan Januari 2015 yang lalu, dalam sebuah pertemuan untuk mencari dana bagi pembangunan Pusat Pastoran Sanjaya di Muntilan, secara khusus beliau mengajak saya berbicara panjang lebar mengenai “strategi pastoral Keuskupan Agung Semarang”, sehingga perlu didirikan Pusat Pastoral Muntilan itu.
Oleh Mgr.Puja, saya ini rupanya masih dianggap orang Gereja, umat Tuhan sahabatnya. Saya bahagia sekali.
Ketika Mgr.Puja ditahbiskan jadi Uskup di Gedung Sabuga ITB Bandung, saya diajak Romo FX. Mudji Sutrisno SJ menghadiri tahbisan itu. Saya diajak duduk di antara puluhan para imam yang hadir, persis di depan altar. Saya masih ingat bagaimana “gaya” Mgr. Puja ingin segera akrab dengan umat yang dilayaninya dengan mempersiapkan sambutan dalam bahasa Sunda. Jadilah, malam itu ada Uskup baru dari Solo yang mencoba berbicara Sunda dengan logat Jawa yang kental. Umat yang mengerti bahasa Sunda tertawa terbahak-bahak kalau Uskup baru ini kadang salah ucap. Justru itulah yang mengesankan.
Itulah Mgr. Pujasumarta.
Seusai tahbisan Uskup, saya beruntung bisa menyalami beliau. Tangan saya dijabatnya dengan erat. Saya ingat sekali beliau mengatakan: “Kun, aku saiki didhawuhi dadi pamong nang Bandung je!” (Kun, sekarang ternyata saya diperintahkan untuk jadi “pamong” di Bandung).
Mgr. Puja yang luar biasa. Apa pun yang diberikan, senantiasa dipandang sebagai pelayanan. Apa pun yang ditugaskan, selalu dipandang sebagai pamong, sebagai “pengasuh” umat.
Sesungguhnyalah, kami semua merasakan, Mgr. Puja sudah menjadi gembala yang sungguh baik, karena sebagai imamNya dan UskupNya, beliau tahu menunjukkan domba-dombanya jalan yang benar, dengan cara yang benar, dengan jalan yang baik, dan dengan teladan hidup yang tak tercela.
Sugeng tindak Monsignor, nampi kanugrahan langgeng Gusti.
Teriring doa kami yang tak pernah putus
A. Kunarwoko
(Jakarta – Rabu, 11 November 2015)