SELASA malam itu, Trias juga membagi pengalamannya sampai akhirnya terpilih menjadi Dubes LBBP untuk Tahta Suci Vatikan.
Dari syering pengalamannya yang begitu kaya, terutama semenjak di Seminari Mertoyudan, kuliah di UGM Yogya, sampai 30 tahun lebih menjadi wartawan, Trias mengatakan:
“Jadi orang itu tidak usah banyak menuntut. Hidup dan bekerja saja sebaik mungkin. Kalau kita sudah hidup dan bekerja dengan baik, orang pasti akan melihat”.
Yang dikatakan Trias, menurut saya sebenarnya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Kita sudah sering mendengar nasihat demikian. Namun ketika yang mengatakan itu adalah seorang Trias Kuncahyono, bagi saya yang ia katakan menjadi sangat dalam.
Sangat mengena. Sangat berarti. Jadi “bunyi”.
Maksudnya, bukan seperti tong kosong yang bunyinya nyaring. Mengapa demikian?
Karena Trias memang bermutu. Hidup dan kerjanya berkualitas. Dia professional. Integritasnya tinggi. Diam-diam, dia banyak menulis.
Ia penulis artikel dan penulis buku produktif. Tulisan-tulisannya bagus. Isinya berbobot. Sesudah pensiun dari Kompas, ia tidak lalu pensiun dalam mewarta. Tulisan dan podcast Kredential-nya tetap keren.
Pada syeringnya Selasa malam itu, Trias mengatakan bahwa pojok Kredential-nya itu dia pilih dari kata Latin credere, yang kita semua tahu artinya percaya.
“Ini sama sekali ngga ada hubungannya dengan penyerahan surat credential Dubes,” selorohnya.
Ketika tim sukses Jokowi membutuhkan orang yang bisa dipercaya dalam mengkoordinir media yang amat vital dalam mendukung pencapresan Jokowi, Trias yang dipilih Pak Jokowi. “Dari Kompas ya? OK saya pilih”, begitu kurang lebih Pak Jokowi memilih Trias.
Presiden Jokowi tahu reputasi Kompas. Di mata pak Jokowi, Kompas adalah media yang paling bisa dipercaya. Aspri Jokowi kenalan Trias sejak di Bernas cerita kalau pak Jokowi selalu membaca tulisan-tulisan Trias. Jadi Trias dipandang dan dipilih Jokowi karena memang dia dikenal Jokowi dari tulisan-tulisannya.
“Yang ditulis mas Trias, banyak cocoknya dengan pemikiran Pak Jokowi”, kata teman Aspri itu.
Jelas, Trias terpilih karena ia profesional.
Profesional berasal dari kata professare, yang artinya tersumpah, terakreditasi atau mendapat pengakuan publik. Termasuk pengakuan presiden Jokowi. Bertahun-tahun Trias berkiprah sebagai wartawan profesional, penulis yang baik, bisa dipercaya dan pribadinya bermutu.
Maka Presiden Jokowi memilihnya jadi Dubes. Itu ngga ada urusannya dengan agama dan alumni. Para alumni UGM kampus Jokowi, sebagian terbesarnya juga tidak jadi pejabat.
Karena Trias hanya bekerja, bekerja dan berbuat baik maka ia kini memetik buahnya. Dalam artian positif, Trias sudah “ngundhuh wohing pakarti”, memetik benih-benih kebaikan yang selama ini ia tanam dengan tekun.
Karena credere, yang mengandung makna percaya pada penyelenggaraan ilahi dan bisa dipercaya, maka teman-teman alumni sangat bangga pada Trias.
Setelah jadi Dubes, seperti kalau ada alumnus yang jadi Uskup, maka akan banyak yang bilang “Trias kaé kancaku. Aku kenal cedhak tenan karo dhekké”.
Dengan dipilih menjadi Dubes, Trias menjadi kebanggaan alumni Seminari Mertoyudan. Teman-teman alumni Merto, pasti akan terus mengenangnya dengan narasi : “Ada lho alumni Merto yang jadi Dubes juga. Ngga ‘Cuma’ jadi prodiakon dan pengurus lingkungan”.
Memang, alumni Seminari yang jadi Dubes sedikit sekali. Ini jabatan langka. Kalau saya tidak salah, alumni Merto yang jadi Dubes cuma dua. Trias dan Dominicus Supratikto teman angkatan kami Merto-73. Tikto pernah menjadi Dubes di Suriname. (Berlanjut)
Baca juga: Pijar Vatikan II – Nguntabke Sedulur Tugas Jadi Dubes RI untuk Vatikan: Trias Kuncahyono (40A)