Mat 7:6.12-14
PERNAHKAH kita bertanya, mengapa Tuhan Allah membuat pintu masuk ke Surga itu sempit? Sementara pintu masuk menuju kebinasaan katanya malah dibuka lebar.
Selain itu, dikatakan bahwa di pintu surga yang sempit itu, banyak orang berusaha masuk, tetapi tidak dapat. Ada apa di situ, sehingga mereka yang berusaha ke situ malah mental tidak bisa masuk?
Mungkinkah di depan pintu gerbangnya ada persyaratan dan pengawasan keamanan yang ketat?
Apa dan mengapa bisa begitu? Apakah di dalam sana ada harta karun yang melebihi batu-batu mulia yang ada di dunia ini?
Inilah bentuk pertanyaan kepo dari banyak orang di sini. Kita semua bukan cuma penasaran, tetapi ingin tahu rahasia di balik pintu surga yang sempit itu.
Dari refleksiku melalui meditasi, saya memperoleh kesadaran seperti ini,
Kondisi awal mula manusia mulai dari rahim ibunya sampai dia dilahirkan adalah asli, murni tanpa noda. Dalam situasi dan perkembangan ke sini, kondisi yang tadinya asli ini, terpapar oleh pelbagai macam bentuk keinginan daging.
Salah satu faktornya, pola asuh keluarga yang menitikberatkan pada unsur-unsur duniawi sehingga membentuk watak lain bagi si anak.
Akibatnya, kondisi yang alami dari Tuhan Allah semakin tidak mendapatkan tempat di dalam diri si anak. Dunia manusia mengantikan kondisi alami ini dengan kondisi baru buatan mereka. Jadi, dikonsep manusia kondisi alami si anak berubah melalui program ambisiusnya.
Dan bisa diartikan bahwa manusia yang hilang kondisi aslinya tadi tidak lebih dari robot yang sudah direkayasa melalui banyak program kedagingan manusiawi dan disuntik juga oleh teknologi modern.
Refleksi saya ini semakin menguat dan menemukan akarnya dengan kesadaran yang dibawa oleh Ayub yang mengatakan:
“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayb 1:21).
Kondisi alami manusia sejak semula adalah “telanjang”, tidak memiliki apa-apa. Dalam bahasa kita hari ini menyebutnya kemiskinan.
Oleh Tuhan Yesus kondisi kemiskinan ini dihadirkan kembali ke tengah hidup para murid. Dia mengilustrasikan ketelanjangan awali manusia itu sebagai bentuk kemiskinan. Dan bentuk paling ideal dari kondisi kemiskinan ini terwujud melalui sikap kepolosan seorang anak kecil.
Di situ Dia berkata:
“Kalau kamu tidak bisa bersikap polos seperti anak kecil ini, kamu tidak akan bisa masuk ke dalam Surga” (bdk. Mat 18:1-5). Selanjutnya, nas tentang kepolosan atau ketelanjangan, atau kemiskinan ini kemudian dipanggungkan oleh Tuhan Yesus ke atas bukit.
Dalam kotbah di bukit ini, oleh-Nya tema tentang kemiskinan ditempatkan di urutan pertama dalam sabda bahagia. Kata-Nya, “Orang yang berjiwa miskin mesti berbahagia sebab merekalah yang empunya Surga”. (bdk. Mat 5:3).
Semakin ke sini, ide kemiskinan atau kepolosan ini menjadi diskusi hangat di antara Tuhan Yesus dengan seorang guru besar Yahudi bernama Nikodemus. Dengan bahasa spritual yang sedikit menggigit, Tuhan Yesus meminta Nikodemus yang sudah tua dan terpapar oleh kondisi dunia manusiawi untuk “masuk ke rahim kembali supaya bisa mengalami kembali kondisi yang asli atau alamiah” (bdk. Yoh 3:1-12).
Melalui permintaan itu, kita semakin menyadari bahwa betapa pentingnya bagi Tuhan Yesus untuk para pengikut-Nya supaya mereka memiliki jiwa kemiskinan, kepolosan atau “ketelanjangan”. Paulus sebagai intelektual kitab suci membaca kemiskinan Tuhan Yesus itu, sebagai “kekosongan”.
Dia berpendapat bahwa “oleh karena Tuhan Yesus rela menjadikan diri-Nya “kosong” maka, Allah meninggikan Dia di atas segala-galanya” (bdk. Fil 2:5-11). Di Budhisme, “kekosongan” itu, merupakan puncak teratas dari hidup spritualitas manusia.
Sedang di Hinduisme, pengalaman manusia yang mengalami “kekosongan” disebut nirwana. Dan upaya orang untuk sampai ke tingkat “kekosongan” harus ditempuh melalui hidup puga mundi (bertapa di kesunyian).
Dari semua rangkaian hasil refleksi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa pintu Surga yang sempit itu, sengaja dibuat sempit oleh Tuhan Allah supaya kita semua yang sudah terpapar oleh virus-virus duniawi berjuang berjalan pulang untuk kembali masuk lagi “ke rahim Allah”.
Apa tujuannya?
Tujuannya, supaya manusia “mengalami kembali kelahiran yang asli” (lahir dalam Roh). Upaya perjuangan kembali “ke rahim Allah” inilah persyaratan bagi kita untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Kalau Tuhan Yesus bilang tadi, “banyak orang yang berjuang untuk masuk, tetapi tidak dapat”, mengapa?
Karena kekuatan duniawi juga ikut menarik kita kegengamannya. Kita dibuat olehnya merasa nyaman di sini, sehingga orang mau kembali pulang sepertinya berat karena duniawi telah memupuk keinginan daging kita dengan pelbagai macam kenyamanan.
Namun, menurut Tuhan Yesus orang yang tinggal di tengah kenyamanan duniawi malah hidupnya akan berakhir dengan kebinasaan. Orang yang lupa untuk kembali “Ke rahim Allah” inilah yang dimaksud sebagai pihak yang melewati pintu yang lebar menuju kebinasaan.
Serem Juga Ya!
Renungan: “Orang yang berani pulang ‘ke rahim Allah” berarti membawa ‘kekosongan’, tidak membawa apa-apa! Berani?”