SERASA mukjizat sebagai seorang seniman. Karena selama kurang lebih tiga tahun ini bisa bekerja untuk Keuskupan Agung Pontianak.
Semua karya patung, aksesoris budaya dan ukiran telah dipersembahkan untuk Rumah Retret Santo Johanes Paulus II Anjongan.
Setidaknya itulah pengakuan Pinus (51), seorang seniman dari Desa Sambora, Kabupaten Mempawah, Sabtu pagi tanggal 26 Maret 2022.
Sedari kecil, ia telah membiasakan membuat seni patung, lukis dan pahat. Dan kini di usia genap 51 tahun, semua karyanya telah dikenal publik.
Ini berkat karyanya mengisi permintaan Keuskupan Agung Pontianak. Terutama saat menangani proyek pengadaan patung untuk Rumah Retret Anjongan.
Memang itulah yang Pinus impikan selama ini. Keinginan agar bisa berkarya untuk Gereja dan turut ambil bagian dalam mengukir sejarah.
Di pagi cerah hari Sabtu tanggal 26 Maret di Desa Sambora, di rumahnya warna hijau, Pinus menceritakan pengalamannya. Termasuk impiannya agar bisa berkarya untuk banyak orang. Terlebih untuk Gereja dan masyarakat.
Ayah lima anak ini sudah menggeluti kegiatan seni sedari umur masih SD dan hal itu dia sadari betul. Selama berkarya, Pinus dibantu oleh lima orang sahabat. Namun yang selalu membantunya untuk pembuatan patung dan panggilan mendesak hanya dua orang saja.
Berkat teladan sang ayah yang dulu gemar mengoleksi barang-barang antik dan membuka jasa foto di tahun 1976, Pinus berhasil menduplikat semangat itu. Kini, ia menekuni kecintaannya pada seni patung, ukir, dan lukis.
Lima anak berbakat
Seniman otodidak dari Sambora ini mendedikasikan diri sepenuhnya di bidang kesenian. Dari kegiatan itu, Pinus bersama isteri Seselia Ita (50) berhasil menyekolahkan anak-anaknya. Beberapa kini malah sudah bekerja.
Anak puteri pertama Tila (26) kini sudah bekerja di Rumah Sakit Umum St. Vincentius Singkawang. Sementara, Deden (25) -usai menyelesaikan sekolah tingginya- kini fokus pada bidang karya seni lukis, pahat dan patung – mengikuti jejak Pinus.
Anak ketiganya bernama Hendra (19); sekarang masih kuliah semester empat di Universitas Widya Dharma Pontianak – Jurusan Informatika.
Adiknya adalah Jeko (15); duduk di kelas 1 SMP Mandor. Sementara yang paling kecil, Milau (9), kini masih duduk di kelas 4 SD di Sambora.
Bagi Pinus dan Ita, anak-anak adalah buah hati serta sumber semangat kerja. Karena anak-anak itulah, mereka memiliki semangat berkarya. Apalagi mengingat-ingat anak-anaknya saat bekerja – masing-masing unik dengan karakter dan bakatnya sendiri-sendiri.
Sebagai orangtua, Pinus tak pernah memaksakan jiwa seninya kepada anak-anaknya. Apa pun keahlian anak-anaknya pasti mereka dukung.
Karya patung di Rumah Retret Anjongan
Saat ini, Pinus sedang mengerjakan beberapa aksesoris miniatur Keraton Melayu di Rumah Retret Santo Yohanes Paulus II Anjongan. Ini merupakan permintaan sekaligus tugas dari Uskup Agustinus.
Beberapa patung ukuran 1,6 meter hingga patung yang tingginya 2 meter sudah berdiri di Rumah Retret Anjongan. Di antaranya:
- Dua patung Malaikat Mikael sebagai penjaga gerbang masuk;
- Dua patung Leluhur Dayak (laki-laki dan perempuan);
- Rosario raksasa di depan Gua Maria Anjongan;
- Satu pondasi patung Santo Johanes Paulus II dengan ukiran dari kayu tebelian besar;
- Dua tiang kayu tebelian;
- Dua tiang tangga;
- Satu kolam dengan ornamen alami batu;
- Satu buah nenas raksasa di samping rumah keraton dan beberapa aksesoris lainnya untuk rumah retret.
Orang Dayak aslinya peladang
Dalam perbincangan pagi bersama seniman ini, Pinus mengakui bahwa yang sebenarnya punya ide ‘nyeleneh’ itu adalah Bapak Uskup Keuskupan Agung Pontianak: Mgr. Agustinus Agus. Misalnya format dan konsep patung leluhur yang selama ini tak pernah dia pikirkan sama sekali.Tentang sosok profil orang Dayak asli yang kiranya bisa direpresentasikan dalam wujud sebuah patung.
“Orang membuat patung Dayak, bentuk umumnya kan sering pakai mandau dan perisai. Tapi ide Bapak Uskup ini justru unik. Saya diberi gambaran bahwa sosok profil asli orang Dayak justru harus mampu menggambarkan seorang pekerja, apakah itu peramu hutan atau peladang.
Karena memang itulah ciri khas orang Dayak yang nota bene dulu dan juga sekarang ini selalu mencari sumber nafkahnya dari wilayah pedalaman dan hutan. Sebagai peramu hutan atau peladang,” kata Pinus.
Pinus mengakui sebenarnya dia hanya mengeksekusi ide yang awalnya digagas oleh Uskup Agustinus. Gagasan brilyan ini justru tidak pernah datang dari dia sendiri.
Menghargai sejarah dan budaya leluhur
Pinus mengakui setiap ide Uskup Agustinus selalu mengandung pesan moral, misalnya, bagaimana seorang Dayak mesti menghargai warisan budaya dan para tokoh leluhurnya.
Untuk itu, kata Pinus, Uskup Agustinus ingin membangun patung yang mencerminkan sosok tokoh leluhur Dayak.
Di lain sisi, Uskup Agustinus juga menghargai toleransi dan peninggalan leluhur dari tiga etnis yang kini menjadi penduduk di wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Untuk itu, Uskup Agustinus membangun Rumah Betang, Rumah Tionghoa, dan Rumah Melayu.
“Bapak Uskup pernah bercerita kepada saya begini. Untuk memulai membangun jalan ribuan meter, kita harus memulainya dari langkah pertama.
Salah satu langkah pertamanya adalah menghargai leluhur yang sudah mendahului kita,” kata Pinus.
“Dengan cara pikir itu, saya baru tahu maksud dan keinginan Bapak Uskup,” jelasnya.
Pinus berharap terutama orang muda yang memang tertarik mengembangkan seni, termotivasi untuk berkarya dan tidak putus asa.
Baginya, seniman sejati adalah seniman yang harus selalu berkarya terlepas dihargai atau tidak.
Pinus juga merasa sebenarnya ia sudah menikmatinya pada 51 tahun dan itu sudah terlambat baginya.
Namun, ia percaya bahwa emas akan tetaplah emas, meski sekalipun di tengah lumpur. Suatu saat pasti emas itu akan dicari dan ditemukan oleh orang.
Pesan Pinus untuk orang muda bahwa yang paling terpenting yaitu mengasah kemampuan dan melakukannya dengan fokus.
Menutup diskusi pagi itu, Pinus mengaku bahwa setelah bertemu Uskup Agustinus, Pinus merasa sangat dihargai profesinya sebagai seniman.
Uskup Agustinus pulalah yang selama ini memperkenalkan karya-karyanya ke publik.