SORE itu seperti biasa aku pulang kerja diantar dengan rombongan besar berikut sopir dan kernetnya…alias ngojek naik bus umum. Bersyukur sekali, sore itu aku bisa mendapatkan tempat duduk di dalam bus. Padahal, biasanya jalur bus yang saya tumpangi selalu full house: di dalamnya berjibun para penumpang layaknya ikan sarden dalam kaleng. Pokoknya, padat merayap memenuhi setiap sudut dan koridor bus kota.
Waktu aku naik, posisi tempat duduk di dalam bus itu baru terisi tiga perempat tempat duduknya.
Sebagai bekal perjalanan panjang yang rata-rata makan waktu dua jam itu, aku dengan senang mengeluarkan sebuah pir yang sempat kubawa sebagai bekal. Betapa enaknya bisa duduk dan mengunyah pir manis tersebut.
Kukeluarkan sehelai tisu dan ditetesi sedikit air minum untuk mengelap pir tersebut. Baru saja kulap bersih, ada anak pengamen masuk bus dengan bapaknya. Setahun lalu, seingatku anak itu masih duduk manja dalam gendongan bapaknya. Eh, beberapa bulan lalu, aku melihat orok kecil itu sudah mampu masuk bus sendiri.
Nah, itu dia. Anak pengamen kecil ini langsung duduk di kursi kosong. Persis di sampingku. Matanya menatap tanpa sembunyi-sembunyi ke pir di tanganku.
“Apa itu?,” tanyanya langsung tanpa tedeng aling-aling.
“Ini buah pir,” jawabku.
“Oo, aku juga mau,” jawabnya dan tanpa ba-bi-bu lagi dia langsung minta.
Yah, berpindah sudah kepemilikanlah pir ranum yang sudah siap disantap itu.
Anak itu – usianya tak lebih dari 3 tahun – membalik-balik pir tersebut. Dipelintirnya tangkainya sampai putus, meski sebelumnya sudah aku katakan: “Jangan dipelintir tangkainya. Nanti saja kalau mau dimakan, baru dibuang tangkainya.”
Tangkai yang putus itu langsung dibuangnya ke lantai bus. Aku langsung memberi wejangan kepadanya: “Jangan buang sampah di bus. Bus itu untuk duduk, bukan tempat sampah.”
Anak itu terdiam sejenak, melihat sekeliling dan kemudian menunjuk ke sebuah kantong plastik hitam yang tergeletak di bawah bangku sejajar dengan bangku kami.
“Itu,” katanya seakan menggugat.
“Orangnya kelupaan mungkin. Tapi kalau kita sudah tahu bus itu bukan tempat sampah, maka jangan buang sampah sembarang,” begitu kataku sembari menilai anak itu rupanya tanggap pikirannya.
Melihat tangannya masih memainkan buah pir dengan memindah-mindahkannya dari satu tangan kecilnya ke tangan lainnya, aku lalu mengingatkan, “Awas, nanti jatuh. Taruh saja dulu.”
Buah pir itu akhirnya benar-benar jatuh dari genggamannya dan menggelinding sedikit ke bagian belakang bus. Dia berhasil meraihnya dengan tangan kiri tetapi lalu membawa tangan tersebut ke balik punggungnya.
“Waaa, pir itu sudah pecah. Masih ada lagi ga?”
Waduh, anak ini “mafia” rupanya. Langsung saja aku menyahut: “Tidak, hanya ada satu.”
Dia diam saja menatapku. Tak lama kemudian tangan kirinya dibawa ke depan dan ditunjukkannya buah pir di tangan tersebut. Masih utuh dan baik.
Darimana anak itu belajar berbohong begitu. Pikirku geli bercampur prihatin mengingat anak sekecil itu sudah mempraktikkan kelakuan licik seperti itu.
Aku tak sempat berbincang lebih jauh dengannya karena ada penumpang yang mengambil tempat duduk di sampingku sehingga anak itu jalan ke belakang, mungkin ke bapaknya yang lagi menyanyi.
Tak lama, bapaknya telah selesai menyanyikan dua lagu yang dikatakan untuk menghibur penumpang yang tampak tak terhibur. Digendongnya anak itu dan mulai mengedarkan kantong permen untuk menampung donasi dari para penumpang.
Setelah mereka berdua turun di perhentian berikutnya, pikiranku masih teringat anak itu. Semoga anak itu mendapat didikan yang baik juga dari lingkungan hidupnya yang keras. Walaupun kelihatan tidak mendapat gizi berkecukupan seperti anak lainnya, dia terlihat normal dan tanggap.