PKSN 2021 Komisi Komsos KWI: Wartawan Harus Terus Bertanya, tak Cukup Hanya Tahu Saja

0
238 views
Sesi kelima forum pelatihan tulis-menulis di media massa bersama Mathias Hariyadi, Sabtu tanggal 8 Mei 2021. (Dok. Komisi Komsos KWI)

“DATANG dan Lihatlah, menjumpai orang lain apa adanya” adalah tema pesan pastoral Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 tahun 2021.

Dalam pesannya tersebut, Paus Fransiskus menyoroti krisis yang terjadi di industri penerbitan berita.

Krisis yang dimaksud adalah model-model produk pemberitaan itu hanya dirancang dalam kantor redaksi, di depan komputer, di pusat kantor berita, bahkan di jejaring sosial.

Paus Fransiskus menyebut, model produksi berita itu bisa dilakukan, meski tanpa perlu “menghabiskan sol sepatu”. Juga tanpa perlu bertemu orang untuk mencari cerita atau memverifikasi situasi tertentu dengan mata kepala sendiri.

Keprihatian Paus Fransiskus ini mengemuka dalam sesi “Pelatihan Menulis Media Massa” yang digelar oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI.

Pelatihan ini digelar dalam rangka Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-8 tahun 2021.

Karena terjadi badai pandemi Covid-19, maka tahun ini PKSN 2021 terpaksa dilaksanakan secara daring. Berlangsung dari tanggal 10 April-8 Mei 2021.

Para peserta pelatihan adalah para pegiat jurnalistik dan media dari berbagai keuskupan di Indonesia.

Lima kali sesi pertemuan dan pelatihan online

Ada lima kali pertemuan yang dilaksanakan setiap Sabtu sore. Setiap akhir pekan itu, Komisi Komsos KWI menghadirkan para narasumber yang menjadi fasilitator pelatihan.

Mereka adalah:

  1. Asisten Kepala Divisi Pemberitaan Harian Media Indonesia: Rosmery Christina Sihombing (10/4);
  2. Pemimpin Redaksi Kompas.com: Wisnu Nugroho (17/4);
  3. Redaktur Pelaksana Majalah Tempo: Stefanus Pramono (24/4);
  4. Pengajar mata kuliah jurnalistik Universitas Media Nusantara: Ignatius Hariyanto (1/5);
  5. Pendiri, CEO sekaligus Pemimpin Redaksi Sesawi.Net dan wartawan AsiaNews.It: Mathias Hariyadi (8/5).

Peran dan dinamika mencari berita

Rosmery menuturkan, peran media massa adalah memberi informasi, mengedukasi-kontrol sosial, memberi inspirasi, menghibur, mempengaruhi publik, dan sebagai watchdog.

Menurut alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini, kita harus melihat dengan mata kepala kita, harus lengkap, adil dan berimbang, juga objektif.

Sebab, sumber berita adalah detak jantung jurnalisme.

“Kita harus observasi langsung, seperti Bapa Suci Sri Paus bilang ‘datang dan lihatlah’ itu memang penting. Kita tidak boleh selesai hanya di meja redaksi,” imbuhnya.

Senada dengan itu, Pramono menyampaikan, sebelum menulis berita, kita harus datang ke lokasi kejadian, mengamati, mengumpulkan data serta fakta atau peristiwa. Bukan hanya melihat, tapi mengamati.

Menurutnya, semua itu adalah hal penting dalam reportase.

“Kita datang ke satu lokasi, dan kita mengamati. Bukan hanya melihat, tetapi kita juga mengamati, terus kita juga mengumpulkan data serta fakta atau peristiwa,” ucapnya.

Menurut Ignatius, pesan “Datang dan Lihatlah” mengajak kita masuk pada kebenaran hakiki. Tidak sekadar percaya pada ‘katanya’, ‘menurut kabar’, ‘gosipnya’.

Kita diajak untuk menulis dengan melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat dan tidak dibayangi dengan fantasi semata.

“Datang dan lihatlah itu mengajak kita para komunikator, tidak semata-mata percaya begitu saja pada pesan yang banyak muncul,” imbuhnya.

Lebih rinci, dalam pelatihan ke-2, Wisnu menceritakan pengalamannya berkaitan dengan “Datang dan Lihatlah” berdasarkan pesan Paus Fransiskus itu.

Tetap bisa salah juga

Sewaktu masih menjadi wartawan Istana di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Wisnu memiliki pengalaman menarik.

Setiap Kamis sore di Istana Negara, ada aksi Kamisan yang dilakukan oleh Sumarsih.

Ia adalah ibu dari almarhum Bernadinus Realino Norma Irawan atau yang biasa disapa Wawan yang tewas dalam Tragedi Semanggi I tanggal 13 November 1998.

Setiap Kamis sore, Sumarsih yang memiliki nama lengkap Maria Katarina Sumarsih itu datang ke Istana Negara dengan pakaian hitam dan payung hitam.

Wisnu lalu melakukan riset dan observasi. Ia mengikuti Sumarsih dari Komnas HAM, lalu rombongan Sumarsih menggelar aksi diam di Istana Negara, membentangkan tuntutan dan sebagainya, mereka semua (peserta aksi) memakai baju hitam dan payung hitam.

Wisnu akhirnya menulis kejadian ini, tetapi dia mengandaikan warna hitam yang dipakai Sumarsih dan semua orang yang ada di aksi itu adalah tanda duka.

Wisnu tidak melakukan wawancara lagi untuk mengkonfirmasi dan memverifikasi itu pada Sumarsih. Besoknya, setelah muncul di koran, Sumarsih menelpon Wisnu dan menjelaskan jika arti warna hitam bukanlah tentang duka.

Bagi Sumarsih dan kawan-kawan, kesedihan warna hitam berarti keteguhan.

“Sering kali apa yang kita dapat, belum tentu seperti yang dihayati oleh pihak yang kita beritakan,” ujar Wisnu. 

Dengan berpikir kritis, melakukan verifikasi dan tetap mengabdi pada kebenaran, kita akan jadi saluran dari kejernihan.

Hal yang Wisnu sampaikan ini sesuai dengan pesan Paus Fransiskus bahwa dalam komunikasi, tidak ada yang sepenuhnya menggantikan ‘melihat’ secara pribadi. Banyak hal di dunia ini hanya dapat dipelajari dengan mengalami. Kita semua sudah tahu bahwa ada resiko dari komunikasi sosial yang tidak diverifikasi.

Dewasa ini, banyak berita dan gambar dimanipulasi dengan berbagai macam penyebab dan alasan, terkadang hanya untuk narsisme perorangan atau kelompok semata.

“Kita (wartawan), harusnya tetap berlaku dan bertanya seperti orang bodoh. Ini mengapa pentingnya pencarian kebenaran (berita) dilakukan dengan metode riset, observasi, dan interview. Karena, tugas pertama wartawan adalah menyampaikan kebenaran,” kata Wisnu yang pernah menulis buku.

Pemikiran kritis pada sebuah topik, kejadian atau informasi dapat menggiring kita untuk membuat tulisan yang bertanggungjawab.

Tulisan harus datang dari proses menghabiskan ‘sol sepatu’ di jalan untuk datang dan melihat realita yang terjadi.

Dengan begitu, setiap wartawan dan pembawa informasi dapat memberikan kabar dan berita yang jernih. Pada gilirannya, orang yang membaca berita kita akan ikut menjadi benar-benar memahami, tidak hanya sekadar tahu saja.

Jika kita melihat lebih dalam pesan Paus Fransiskus, apa yang disampaikan Wisnu adalah agar kita tidak sekadar tahu, tetapi benar-benar memahami dan mengerti.

Ruang bagi perjumpaan

Paus Fransiskus mengungkapkan, kita hanya akan menjadi penonton dari luar, jika kita tidak atau enggan menghabiskan ‘sol sepatu’: mau turun ke jalan untuk membuka diri pada perjumpaan.

Meskipun, inovasi teknologi di era sekarang dapat membuat kita seolah-olah berada dalam sebuah realitas luas secara langsung. Tetapi setiap sarana (teknologi) berguna dan bernilai, hanya jika kita mampu menggunakannya untuk mendorong kita pergi. Untuk bisa melihat hal-hal yang tidak akan kita ketahui, jika hanya sekadar mau tahu. Bahkan tanpa mengusahakan adanya perjumpaan, mengikhtiarkan ‘sol sepatu’ benar-benar habis.

Meski, menurut Mathias Hariyadi –dalam pertemuan ke-5, di masa-masa sekarang ini, proses “Datang dan Lihatlah” itu cukup sulit dilakukan.

Namun, kita tetap dapat melakukan banyak cara agar proses itu tetap terlaksana dengan baik.

Tetap harus ada verifikasi, klarifikasi dan konfirmasi terhadap sumber dan isi berita.

“Kita dapat minta bantuan pada orang yang kita kenal yang ada di tempat kejadian. Bisa lewat telepon, dan lain-lain,” jelasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here