Tradisi cukup mewarnai dalam liturgi Gereja Katolik. Berbagai simbol bisa dipakai dan dimaknai sejalan dengan penghayatan iman.
Dalam memperingati arwah semua orang beriman, ada pohon arwah di gerejaku, Santo Lukas Pemalang. Pohon apaan tuh? Kalau hari natal ada pohon natal, dalam peringatan arwah semua orang beriman kali ini kupasang pohon arwah di panti imam.
Banjirnya permohonan/ujub misa untuk mereka yg sudah berpulang menjadi peluang untuk berkatekese tentang hidup keabadian. Kutebang dan kuambil pohon kering yang banyak rantingnya dan telah mati di kebun. Pada ranting-rantingnya kupasangi nama-nama orang yang telah meninggal dan akan didoakan.
Katekese pohon arwah
Bagaimana berkatekese dengan pohon kering itu? Mereka yang telah meninggal sering dianggap tidak berarti lagi, dilupakan setelah tidak menghasilkan lagi. Buat apa memperhatikan orang mati, memperhatikan yang hidup saja susah. Mereka bagaikan pohon kering yang tidak lagi berdaun hijau nan subur. Mereka tidak lagi berbuah dan berkembang seperti semasa hidupnya. Tak ada yang diharapkan.
Namun, sekali-kali Tuhan takkan melupakan mereka, maka kita pun jangan melupakan mereka. Nama-nama mereka masih tercantum dalam dalam ingatan kita. Mereka tetap diingat, dan mengingat mereka yang telah RIP (Latin: Requiescat in pace) berarti membiarkan diri dikuasai oleh Roh.
Kepergian mereka bukan kehendak kita, juga bukan atas perizinan kita. Mengenang mereka bukan mengingat dengan memori saja tentang apa yang pernah dibuatnya semasa hidup, atau memajang foto mereka, namun membiarkan Roh Allah juga bekerja dalam hidup ini.
Mereka tetap hidup karena di hadiratNya memang semuanya hidup. Walau keadaannya telah berbeda namun mereka tetap hidup. Kematian bukan melenyapkan, namun jalan memasuki hidup yang baru.
Alangkah indahnya bila hidup disadari selalu di hadirat Allah, tak akan ada korupsi, tak ada ketidakjujuran, tak ada tindak kekerasan dan sebagainya. Begitulah sekilas pemaknaan pohon arwah.