
USAI merayakan perayaan Minggu Palma pada hari Senin (7/4), saya mendapat kesempatan melihat bagaimana kehidupan masyarakat pesisir selama beberapa hari ini, terutama di Kampung Porauka. Masyarakat pesisir di kampung ini mayoritas beragama Katolik.
Ada tiga mata pencaharian penduduk di sini: nelayan, berkebun, dan mendulang emas. Ketiganya dilakukan sesuai musimnya. Artinya, bila udang atau ikan sedang banyak, maka mereka akan menjaring udang dan atau ikan. Sementara, kebun dan mendulang emas sebagai sampingan.
Suasana pedesaan
Memasuki Kampung Porauka, Anda akan disambut ucapan “Selamat Datang” di gerbang masuk kampung. Jalan utama di kampung ini terdiri atas hamparan pasir. Demikian juga dengan halaman dan pekarangan rumah penduduk hampir seluruhnya merupakan hamparan pasir.
Baca juga: Pastoral di Pedalaman Stasi Progo, Keuskupan Timika: Misa Minggu Palma tapi pada Hari Senin (3)

Jalan utama ini diberi nama Jl. Pater Tilemans. Saya sendiri tidak tahu persis siapa sosok Pater Tilemans, namun saya menduga bahwa dia adalah seorang misionaris besar bagi Keuskupan Timika.
Ujung pangkal dari jalan utama ini adalah Gereja Katolik Stasi Pronggo. Dan sebelum Anda memasuki perkampungan ini, Anda akan melihat gunungan pasir hitam yang berasal dari perusahaan tambang yang sedang bermasalah. Kapal-kapal besar milik perusahaan itu bersandar di muara. Hanya ada sedikit aktivitas di kapal tersebut, anatar lain beberapa orang yang nampak di atas kapal dan suara mesin kapal yang terdengar. Entah apa yang mereka lakukan.
Agak jauh dari muara, di tepi pantai Laut Arafuru, terdapat sebuah kapal besar yang berhenti. Menurut masyarakat, kapal tersebut milik perusahaan tambang yang hendak melarikan diri saat terjadi kerusuhan dengan masyarakat setempat. Akhirnya masyarakat mencegat kapal itu dan mengambil beberapa elemen yang ada di dalam kapal.

Masuk lebih dalam ke kampung, terlebih dari jalan utama, Anda akan melihat rumah-rumah penduduk yang berbentuk rumah panggung. Rumah-rumah ini ada yang disediakan oleh pemerintah sebagai bantuan, ada juga yang dibuat sendiri oleh masyarakat.
Rumah bantuan umumnya punya bentuk dan ukuran yang sama. Sementara rumah yang dibuat sendiri cukup bervariasi bentuk dan ukurannya.
Suasana pedesaan di pesisir diwarnai dengan pohon-pohon kelapa dengan bermacam jenis dan tingginya. Hampir setiap halaman terdapat pohon kelapa, ada yang rendah, ada yang tinggi.
Bila Anda jeli melihat, di halaman-halaman rumah ada rumah-rumahan sederhana, yang terbuat dari empat tiang batang kayu kecil dan di atasnya diletakkan seng sebagai atap. Tempat ini dipakai masyarakat untuk berteduh saat siang hari, dan bahkan malam hari karena di tempat ini memamg sangat panas. Bahkan ada juga masyarakat, baik orangtua maupun anak-anak yang tidur di rumah-rumahan itu tanpa alas apapun.
Tenda di tepi muara
Hidup di pesisir pantai membuat masyarakat akrab dengan pasir dan air. Maka meskipun mereka punya rumah, sebagian besar waktu mereka lebih banyak dihabiskan di pesisir pantai. Mereka mendirikan tenda-tenda di muara maupun tepi pantai. Bahkan pada malam hari pun mereka lebih meemilih tidur di tenda beralaskan pasir daripada tidur di rumah beralas kasur atau pun papan kayu.

Saya sempat melihat bagaimana suasana tenda yang mereka buat. Di dalam tenda itu ada bantal yang diletakkan begitu saja di atas pasir. Ada juga bayi maupun anak kecil yang sedang tertidur tanpa alas lain kecuali pasir. Ada juga masyarakat yang tidur di halaman rumah dengan beralaskan pasir pada malam hari.
Satu-satunya sekolah
Di kampung ini hanya ada satu sekolahan, yakni SD YPPK Tillemans Parauka. Bangunan SD ini hanya memiliki tiga ruang kelas. Tahun ini, jumlah siswa yang terdaftar ada 114 siswa. Sementara tenaga pengajarnya adalah tiga guru kontrak YPPK yang dibantu oleh dua guru PNS dan satu orang tenaga honorer dari masyarakat setempat.
Karena hanya memiliki tiga ruang kelas, maka sistem KBK diatur demikian: Pukul 07.30-10.00 WIT ruang kelas dipakai untuk anak-anak kelas 1-3 dan pukul 10.00-13.30 WIT dipakai untuk kelas IV-VI. Anak-anak yang lulus SD hanya punya dua pilihan: melanjutkan sekolah di luar Porauka (misalnya di Kokonao) atau putus sekolah.
Hal ini tentu saja menjadi keprihatinan bersama.