GUNUNG Merapi adalah gunung berarti di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia.
Gunung Merapi ini selalu identik dengan peristiwa erupsi. Itulah mengapa Gunung Merapi disebut sebagai salah satu dari 16 gunung api dunia yang termasuk dalam Gunung Api Dekade ini (Decade Volcanoes).
Menurut catatan modern, Gunung Merapi selalu mengalami erupsi setiap 2—5 tahun sekali, ditambah lagi permukiman yang sangat padat mengitarinya.
Sejak tahun 1548, gunung Merapi ini sudah meletus sebanyak 68 kali.
Di lereng Gunung Merapi terdapat permukiman sampai ketinggian 1.700 m atau jarak dari permukiman di lereng ke puncak gunung hanya terpaut 4 KM.
Lereng Gunung Merapi masuk wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (sisi selatan), wilayah Provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten Boyolali (sisi utara dan sisi timur), wilayah Kabupaten Klaten (sisi Tenggara), dan Kabupaten Magelang, (sisi barat).
Selain asosiasi kata “merapi” yang lekat dengan bencana erupsi itu, ada apsek lain yang lebih memamerkan karya seni Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagaimana kawasan hutan di sekitar puncaknya yang menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, di di ujung barat lereng Gunung Merapi, terdapatlah sebuah Dusun Sunyi.
Dusun Tangkil.
IMATUKA (Ibu Maria Tuk Ing Kan Katenterman)
Adalah Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo yang menyediakan sebuah karya seni yang begitu megah.
Sejak tahun 1953, Tuk Dadap ditemukan oleh umat Kristen Katolik kemudian dilaporkan kepada Rama Suharja SJ untuk diberkati sebagai sumber air bagi warga di sekitar Tuk Dadap.
Alasan pemberian nama Tuk Dadap karena di atas sumber air itu terdapat banyak pohon dadap yang mempunyai daun selebar tangan orang dewasa yang berkhasiat untuk menyembuhkan atau menurunkan panas bagi siapa saja yang badannya sedang panas tinggi.
Sejak itu, Rama Suharjo SJ pernah berencana untuk mencari Patung Bunda Maria kemudian diletakkan di atas Tuk Dadap.
Tahun 1953 sampai 1970 itu, Tuk Dadap memberikan sumber air yang murni bagi warga Dusun Tangkil untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kemudian pada tahun 1970 sampai 2018, nama Tuk Dadap diganti menjadi Sendang (Tuk) Waringin.
Pergantian nama ini berhubungan dengan kedatangan Rama Kirjito.
Sejak tahun 2000, Rama Karjito berkarya di Paroki Sumber dan mulai menerapkan agi Misa Alam (Perayaan Misha di Sendang/Tuk Waringin) dan Perayaan Natal Tani (Perayaan Natal dengan busana petani).
Konsep ini sering dikenal dengan istilah Liturgi Gila.
Tahun 2018 hingga saat ini, Sendang (Tuk) Waringin mendapatkan nama baru yang diberikan oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko yaitu IMATUKA (Ibu Maria Tuk Ing Katenterman).
IMATUKA berarti “Mata air yang memberikan keseyejukan, kedamaian, dan ketenangan bagi semua orang.”
Dalam sejarah Kerajaan Majapahit, Ratu Kencana Wangu merujuk pada sosok Ibu yang menyelimuti anak-anak dengan kasih dan dalam perspektif Katolik Jawa, Ratu Kencana Wangu adalah Bunda Maria.
Sejak September 2019, IMATUKA disulap menjadi taman doa (Taman Religi). Dana pembangunan Taman Religi ini datang dari swadaya tulus umat Paroki Sumber.
Dan kebetulan pembangunan IMATUKA ini mendapatkan perhatian dari Kementerian Agama, sehingga, dalam perjalanan pembangunan ini ada sumbangan dari Kementerian Agama.
Mujizat Sendang (Tuk) Waringin
Pernah ada pengunjung dari Sumatera Utara yang pernah mendapatkan bisikan berulang kali ketika berada di Medan dan di Surabaya untuk urusan bisnis. Akhirnya dia memutuskan untuk membawa keluarganya untuk datang ke Tuk Waringin.
Dalam bisikan itu, dia mendengar bahwa ada seorang (salah satu matanya putih) di Wilayah Tuk Waringi, khususnya di Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo, Muntilan.
Dan memang benar, pebisnis itu menemukan orang dengan ciri-ciri yang didengar dalam bisikan itu di Tuk Waringin. Bahkan di kemudian hari, dia membawa semakin banyak anggota keluarganya untuk mengambil air di Tuk Waringin demi penyembuhan berbagai jenis penyakit.
Memang pembangunan IMATUKA ini, bukan karena alasan kesaksian mujizat yang dikisahkan oleh kelurga pebisnis dari Medan. Apalagi penyembuhan aneka penyakit dengan menggunakan air dari Tuk Waringin, namun adanya kepercayaan masyarakat Tangkil bahwa “Tuk Waringin adalah anugerah Tuhan”
Oleh karena itu, terbentuk juga Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA).
Gerakan masyarakat lokal ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan atas anugerah-Nya. Ketika banyak mukjizat sebagai wujud kasih Tuhan dan berdoa serta memperjuankan air bersih adalah wujud syukur kepada Tuhan Sang Pencipta, maka harmoni kehidupan umat Tangkil dapat menjadi contoh edukasi untuk berbagai daerah.
Selama masa karya Rama Kirjito Pr, di Gereja Sumber, sekitar 10 sendang diberkati: Sendang Genthuk, Sendang Kete, Sendang Nirmala, dan lain-lain.
Bahkan Romo Kirjito Pr membantu warga Dusun Tangkil dalam menolak penambangan melalui sebuah gerakan bernama “Semut Merapi” aksi protes ini juga dikemas dalam aneka pergelaran seni budaya.
Dalam rencana pembangunan Taman Religi IMATUKA ini, akan dibuatkan patung Yesus yang ditikan pada lambungnya.dan sumber air akan mengalir mesra dari lambung Yesus.
Gereja Sumber
Perayaan misa harian di Gereja Sumber dilaksanakan setiap hari pada pukul 05.30 WIB. Perayaan misa untuk hari minggu biasanya pukul 06.00 WIB; sedangkan perayaan misa pada hari Jumat Pertama dilaksanakan pada pukul 19.00 WIB.
Selain di Gereja Sumber, perayaan misa juga dirayakan di Biara Susteran AK (Abdi Kristus) pada pukul 05.30 WIB, selain perayaan misa hari Jumat Pertama.
Perayaan misha di gereja dalam sebulan selalu menggunakan bahasa Indonesia pada Minggu ke-3 dan Minggu ke-4. Sedangkan perayaan misa dalam bahasa Jawa dilaksanakan pada Minggu ke-2 dan ke-4.
Susteran Abdi Kristus (AK)
Susteran ini adalah pilihan yang tepat untuk menginap, selain pilihan untuk “live in” di Dusun Tangkil.
Di sini terdapat pemandangan yang begitu indah di barat ruang rekreasi. Selain itu, ada juga kolam ikan dengan desain sayuran yang mengelilingi kolam serta bunga-bunga yang berbaris rapi di sepanjang tepi kolam ikan.
Suster Viane AK akan menyambut Anda dalam rangkulan kasih yang begitu lembut. Kopi, wedangan teh, slondok, criping pisang, condot, siap disajikan dalam kemasan hangat dan menyejukkan hati para peziarah.
Selain menu makan snack khas Lereng Merapi, ada juga aneka sayur dan buahan yang siap ditawarkan oleh warga di sekitar Gereja Paroki Sumber air yang ada
Museum Misi Muntilan
Terkenal sebagai tanah kelahiran Gereja Katolik di Pulau Jawa, Muntilan memiliki Museum Misi yang begitu megah.
Menurut catatan sejarah, pada tahun 1906, Romo Fransiskus van Lith SJ membangun sebuah sekolah guru untuk masyarakat Jawa.
Menurut pastor yang berkontribusi dalam pembaptisan ribuan umat Katolik Jawa pertama ini, dari Muntilan inilah pendidikan dianggap sebagai aspek kehidupan yang begitu penting.
Kendatipun setelah 42 tahun pembangunan sekolah guru ini dibakar, namun berkat lembaga pendidikan ini, lahirlah IJ Kasimo, Frans Seda, dan Mgr. Soegijapranata SJ sebagai hasil pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas masyarakat yang lebih humanis.
Hingga saat ini, Museum Misi adalah sebuah karya pastoral Karya Keuskupan Agung Semarang yang lebih dikenal dengan lembaga edukasi.
Tujuan pembangunan Museum Misi ini adalah untuk turut mengambil bagian dalam perkembangan gereja lokal di wilayah Muntilan.
Di Museum Misi kita akan menemukan jubah-jubah, penglengkapan liturgi, foto-foto bersejarah, dan berbagai hal menarik tentang jejak Gereja Katolik pertama di Pulau Jawa.
Museum Misi ini dikenal juga sebagai Pusat Animasi Misioner.
Di sini, kita akan diperkenalkan tentang bagaimana diri kita sebagai umat Katolik dan sebagai bagian dari Gereja. Selain itu, kita diajak untuk mengenal sejarah lokal Gereja Katolik di Pulau Jawa serta bagaimana iman Gereja Katolik di masa lalu dan masa kini.
Di antara peninggalan-peninggalan misioner Romo Fransiskus Georgius Josephus van Lith SJ itu, juga ada sebuah peninggalan bersejarah yang menandai wujud penghargaan Paus Yohanes Paulus II kepada mahakarya Rama Fransiskus Georgius Josephus van Lith SJ.dan kedua muridnya, yakni Mgr. Soegijapranata SJ dan IJ Kasimo.
Peninggalan itu berupa Meja Misa Kudus Paus Yohenes Paulus II pada 10 Oktober 1989 di Stadion Kridosono, Yogyakarta.
Makam Kerkop Muntilan
Kata Kerkop berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Kerkhof (Kerk-Hof) yang berarti taman Gereja.
Sebagaimana model taman Gereja di Negeri Barat, taman Gereja di Muntilan ini memiliki kuburan, sehingga istilah Kerkop yang merujuk pada kuburan pastor-pastor Jesuit (SJ) itu dikenal juga sebagai komplek pekuburan (taman) milik Gereja.
Pada mulanya, makam kerkop hanya digunakan untuk tempat persemayaman para pastor Jesuit (SJ), namun kaerna adanya alasan tertentu, maka beberapa pastor selain pastor-pastor Jesuit boleh disemayamkan di sana: Romo Richardus Kardis Sandjaja Pr.
Rama Sanjaya (panggilan Romo Richardus Kardis Sandjaja Pr) lahir pada 20 Mei 1914.
Rama Sanjaya melayani para domba (jemaat) di Paroki Muntilan, Magelang. Setelah ditabiskan pastor) pada 13 Januari 1943, Rama Sanjaya juga menjadi pendidik di Seminari Tinggi.
Rama Sanjaya dan Frater Hermanus Bouwens SJ dibunuh pada tanggal 20 Desember 1948 di Dusun Kembaran, Muntilan, ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II yang ditandai dengan penyerangan pasukan Belanda ke Semarang hingga berlanjut ke Yogyakarta.
Walaupun Rama Sanjaya hanya berkarya lima tahun sebagai gembala umat pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, namun pengorbanannya sebagai martir pribumi dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.
Makam kerkop ini begitu senyap. Letaknya memang jauh dari kebisingan kota. Tumbuhan hijau dan beberapa pohon perdu tumbuh rapi di antara para makam pastor Jesuit itu. Nisan-nisan pada setiap makam memang menambah nuansa sakral.
Pada bagian kiri pintu masuk, kita akan menjumpai makam Justinus Kardinal Darmojuwono (Kardinal Indonesia pertama yang dilantik tahun 1967). Makam ini berukuran paling besar dengan bangunan utama gaya Jawa Kuno.
Makam Kerkop Muntilan adalah simbol Katolik di Jawa, sebagaimana pernyataan “Awal Mulanya adalah Muntilan.”
Sebelum masuk ke ruangan sederhana yang terletak di ujung barat dari pintu masuk, di kanan-kiri kita akan menjumpai banyak makam para pastor yang tertata rapi dan lengkap dengan tulisan RIP, tanggal lahir, dan tanggal meninggal.
Adalah makam Romo Fransiscus Georgius Josephus van Lith SJ yang berada di sisi kanan sepanjang jalan menuju ruang berdoa makam kerkop. Makam ini telah dibangun juga atapnya.
Meskipun demikian, masih ada beberapa bunga perdu yang berhasil jatuh di atas makam yang bertuliskan “Rama F. van Lith SJ, Ingkang Ambakali Missie Ing Tanah Djawi.” (Yang mengawali karya misi di Jawa)
Rama van Lith ini menjadi pioner pengenalan iman Katolik melalui pembaptisan sekitar 300 orang di Mendut pada tahun 1903, kemudian 20 orang di Muntilan, dan 171 penduduk Kalibawang di Sendangsono pada 14 Desember 1904.
Selain itu, Rama Fransiscus van Lith SJ membuat perkawinan Budaya Jawa dengan doa-doa dalam ajaran Katolik. Proses inkulturasi ini ditandai dengan versi doa Bapa Kami dalam bahasa Jawa dan lagu Ndherek Dewi Maria, dan liturgi Ekaristi dalam bahasa Jawa.
Sebelum masuk ke ruangan berdoa itu, kita akan menuruni dua anak tangga untuk berjalan di antara beberapa deret bangku. Di sudut barat tepat di belakang deretan bangku itu tertuliskan nama-nama para pastor yang ditata seperti loker pada dinding tembok. Di depan setiap loker itu terdapat tempat untuk menaruh lilin.
Selain itu, tepat di atas jalan di antara barisan bangku itu, tergantung papan bertuliskan peringatan berdasarkan surat dari Kepolisian Muntilan bahwa “Pintu Makam Kerkop ditutup pada pukul 18.00-06.00” atau sederhananya pengunjung dilarang untuk menginap.
Selain itu, sebelum sempat masuk ke ruangan berdoa itu, tersedia lilin pada tiga kotak terbuka dengan sebuah kotak persegi yang didesain untuk menaruh uang lilin lengkap dengan tulisan “uang lilin pas.”
Pintu masuk ruang berdoa berada tepat di garis lurus dari pintu masuk hingga ke altar di tengah ruang berdoa. Karpet hijau menggelarkan pelayanan kehangatan bagi para pengunjung yang akan berdoa sebagaimana bersemedi.
Ruangan ini begitu sederhana dengan suasana khusuk yang meliputi seisinya.
Tepat di atas altar itu terdapat foto Rama Sanjaya, Justinus Kardinal Darmojuwono, dan Rama Fransiscus van Lith SJ.
Pada sisi kiri dan kanan tembok melekat nama-nama pastor yang di tulis pada lempengan-lempengan marmer. Makam berbentuk loker itu berderet rapi dengan tulisan nama pastor, tanggal lahir, dan tanggal meninggal.
Di antara deretan makam model loker itu, makam Rama Sanjaya di sudut utara menjadi makam yang paling banyak lilin bernyala.
Makam yang tak pernah sepi oleh pengunjung ini menegaskan bahwa Rama Sanjaya adalah martir domestik yang cukup andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.