SIANG pada hari Selasa tanggal 14 Maret 2017 lalu, ruang rapat Rektorat Unika Atma Jaya telah ditata berbeda. Format kursi dan meja berbentuk persegi panjang kali ini disusun seperti model ruang kuliah. Semua meja dikeluarkan demi bisa memuat lebih banyak kursi di dalam tiga ruang rapat yang dibuka sekat-sekatnya tersebut.
Acara hari itu menjadi sangat istimewa, karena muncul kesempatan bisa mendengarkan paparan Brian J. Grim, Presiden The Religious Freedom & Business Foundation.
The Religious Freedom & Business Foundation –lembaga nirlaba berbasis di AS— banyak berkecimpung dalam gerakan mengedukasi masyarakat bisnis skala global tentang pentingnya memandang agama sebagai faktor penting dalam menjalankan roda bisnis. Lembaga sama ini juga peduli akan pentingnya gerakan mengedukasi masyarakat mengkampanyekan kebebasan mempraktikkan nilai-nilai agama dan ajarannya.
Brian J. Grim hadir di Jakarta untuk memenuhi undangan dari Institut Leimena. Kesempatan bagus itu segera ditangkap oleh JW Junardy, Presiden Indonesia Global Compact Network (IGCN) untuk meminta Brian J. Grim bicara juga dengan para pimpinan bisnis, akademisi, dan sosial yang termasuk dalam anggota IGCN.
Baca juga: YW Junardy Raih Medali Emas Global Business & Interfaith Peace Awards di Rio de Janeiro
Acara dadakan itu pun digelar cepat. IGCN bersama Yayasan Bhumiksara menghubungi Unika Atma Jaya untuk menjadi tuan rumah dan jadilah pertemuan terbatas pada Selasa, 14 Maret siang tersebut.
Brian Grim mengawali paparannya dengan memutarkan iklan Amazon, perusahaan terkemuka bisnis penjualan online di dunia. Iklan ini istimewa karena mengandung unsur pendidikan kerukunan antar umat beragama yang dalam hal ini diwakilkan dengan figur seorang imam dari Islam alias ustad dan imam dalam agama Katolik atawa pastor.
Keduanya bersahabat dan ketika saat bertemu melihat masing-masing punya kesulitan dengan lutut yang susah ditekuk padahal dalam ritual sembahyang selalu ada kegiatan berlutut. Keduanya rupanya punya perhatian tulus terhadap satu sama lain yang setara, masing-masing memesankan alat penyangga lutut di Amazon.com untuk satu sama lain.
Senyum bahagia yang tersungging dari keduanya di tempat ibadah yang berbeda mengakhiri iklan tersebut.
Iklan merupakan satu cara yang efektif untuk mengomunikasikan pesan toleransi dan perhatian terhadap pihak yang berbeda keyakinan, demikian ungkap Brian.
Mengapa agama penting bagi bisnis?
Menurut Brian, ada empat faktor pentingnya agama dalam bisnis.
- Pertama, lembaga agama merupakan produsen dalam bisnis. Dia mencontohkan di Amerika Serikat, 12 kongregasi agama kristen di Philadelphia menghasilkan 52 juta dolar per tahun. Menurut hasil riset yang pernah dilakukannya, nominal nilai ekonomi yang dipegang oleh kongregasi keagamaan termasuk sekolah berbasis agama melebihi nilai lembaga sosial dan pendidikan, dan hampir menyamai nilai usaha bisnis.
- Faktor kedua adalah lembaga agama merupakan pasar bagi produsen dan dengan berjalannya waktu porsinya akan semakin besar. Brian mengutip proyeksi dari OECD yang meramalkan Indonesia akan menjadi negara peringkat kelima dalam kekuatan ekonomi.
- Agama sebagai tantangan merupakan faktor ketiga mengapa agama penting diperhatikan pebisnis. Seperti bisa dilihat, kasus-kasus pemboikotan suatu produk karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah agama tertentu terjadi di banyak tempat. Misalnya di Malaysia pernah terjadi boikot terhadap coklat Cadbury karena dianggap tidak halal.
- Faktor terakhir adalah kebebasan beragama. Menurut analisis Brian, negara yang memiliki indeks kebebasan beragama yang tinggi berkorelasi positif terhadap tinggi tingkat inovatif negara tersebut.
Sebaliknya, mengapa bisnis juga penting bagi agama?
Bisnis juga penting bagi agama, mengapa? Brian mengemukakan empat alasan yaitu kesempatan kerja, contoh, persamaan dan panggilan.
Brian mengemukakan data yang mencengangkan tentang kondisi Irak sebelum ISIS marak berkecamuk di sana. Ketika diriset apa yang paling mencemaskan rakyat Irak jawaban ranking pertama (74%) adalah menjadi pengangguran alias tidak punya pekerjaan. Disusul masalah kejahatan, korupsi, baru konflik keagamaan.
Bisnis juga bisa menjadi suri teladan bagi agama dalam hal penghargaan dan respek terhadap pihak lain yang berbeda keyakinan. Brian mencontohkan BMW group yang tiap tahun memberi Intercultural Innovation Award. Juga Mejdi Tour yang berinovasi memberikan tur yang selaras dan bermanfaat bagi komunitas, bukan mencemarinya.
Faktor persamaan dijelaskan Brian dengan contoh generasi milennial yang lebih melihat persamaan daripada perbedaan yang ada. Generasi milennial yang sangat sadar teknologi, canggih, cenderung berbagi dan berkolaborasi dengan sesamanya tanpa memandang identitas agama.
Hal terakhir yaitu panggilan dipaparkan Brian dengan contoh dedikasi JW Junardy dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat bawah dengan Program Nikah Massal. Pernikahan massal diadakan karena merupakan jalan masuk legalitas bagi anak-anak yang dihasilkan dalam keluarga tersebut supaya mereka punya identitas dan diakui negara. Maka mereka juga akan menerima perlakukan yang sama seperti warga negara lain. Panggilan karya tersebut muncul dari penghayatan keyakinan yang dipraktikkan dalam program yang dikelola dengan manajemen profesional sehingga bisa berhasil guna dan berkelanjutan.
Pembicaraan singkat satu jam yang dilanjutkan dengan sesi tanya jawab tersebut meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta yang hadir. Setidaknya wawasan mereka terbuka untuk tidak tabu melihat korelasi antara agama dan bisnis yang dalam prakteknya sudah terjadi di masyarakat mana pun di dunia.