Renungan Harian
Selasa, 9 November 2021
Pesta Pemberkatan Gereja Basilik Lateran
Bacaan I: Yeh. 47: 1-2. 8-9. 12
Bacaan II: 1Kor. 3: 9b-11. 16-17
Injil: Yoh. 2: 13-22
DALAM sebuah acara, saya tinggal dan menginap di rumah salah satu tokoh umat di paroki itu. Bapak itu sudah sepuh, sehingga sekarang tidak banyak aktif lagi dalam berbagai kegiatan.
Malam itu, setelah selesai acara, saya pulang ke rumah tempat saya menginap, bapak sepuh itu belum tidur. Beliau duduk di balai-balai beranda rumahnya.
Saya menghampiri dan menyapa beliau. Kemudian beliau mempersilahkan saya untuk istirahat, tetapi saya menjawab bahwa saya belum mengantuk.
Sehingga kami ngobrol sambil menikmati kopi yang disediakan isterinya.
“Romo, saya menjadi Katolik dan dibaptis itu sudah dewasa, sudah berkeluarga dan punya anak. Sebelumnya saya mengikuti agama asli.
Saya dulu tidak berpikir untuk menjadi Katolik, karena orangtua saya dan hampir semua orang di sini pengikut agama asli.
Saya tidak tahu apakah itu agama atau bukan, orang-orang sekarang menyebut bukan agama, tetapi tidak penting bagi saya.
Dengan kepercayaan saya itu mengajarkan pada saya untuk menyembah dan menghormati Yang Kuasa dengan cara mencintai dan menghormati semesta. Hormat dan mencintai alam dan manusia.
Kita semua ini sesama ciptaan, baik alam yang hidup maupun yang tidak hidup, maka kami harus menghormati dan menjaga dan melestarikan.
Hal yang penting dari dalam diri manusia adalah mengalirkan kehidupan sehingga semua hal yang kutemui, yang bersentuhan dengan saya haruslah mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kami selalu diingatkan agar kami bisa menjadi seperti air yang mengalir dan udara yang memenuhi semesta ini.
Semua yang mendapatkan air dan udara pasti hidup, segar dan lestari.
Saya dulu masuk Katolik dan dibaptis karena melihat bahwa Gereja, pastor dan umatnya selalu ramah dengan semua orang. Mereka rukun, saling menghormati dan melayani. Dengan semua masyarakat juga membaur, dan menjadi bagian dari masyarakat.
Pastornya selalu jalan berkeliling menyapa semua orang yang ditemui dan pastornya selalu mudah ditemui oleh semua orang.
Pastornya mudah menerima dan membantu banyak orang.
Saya melihat Gereja sebagai tempat yang mengayomi, dan memberi hidup.
Jadi saya melihat Gereja mewujudkan ajaran yang saya anut. Maka ketika saya diajak untuk masuk Katolik, saya dengan senang hati mau menjadi katolik.
Maaf ya romo, sekali lagi maaf.
Saya merasakan semoga salah, Gereja sekarang kok seperti lebih tertutup. Pastornya lebih banyak sibuk di gereja dan kurang membaur dengan masyarakat.
Umatnya sekarang juga seperti kurang guyub, banyak yang bermusuhan dan entahlah, seperti ada kelompok-kelompok.
Saya merasa sekarang Gereja kurang mengalirkan kehidupan untuk banyak orang.
Maaf Romo, semoga saya salah. Saya hanya berharap bahwa Gereja tetap seperti dulu, ramah, membaur, mengayomi banyak orang sehingga terasa mengalirkan kehidupan,” bapak sepuh itu mengakhiri kisah dan nasihatnya.
Saya berterima kasih kepada bapak sepuh itu atas kisah dan nasihatnya.
Saya menyadari betul bahwa keprihatinan bapak itu kiranya menjadi keprihatinan banyak orang.
Gereja, pastor dan umatnya harus lebih mewujudkan tindakan-tindakan kasih kepada semua orang.
Pastor dan umatnya harus lebih membaur dan terlibat dalam masyarakat. Sehingga seperti harapan bapak itu Gereja mengalirkan rahmat kehidupan.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Nabi Yeheskiel: “Ke mana saja sungai itu mengalir, segala makhluk yang berkeriapan di dalamnya akan hidup. Ikan-ikan akan menjadi sangat banyak, sebab ke mana air itu sampai, air laut di situ menjadi tawar, dan ke mana saja sungai itu mengalir, semuanya di sana hidup.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku mengalirkan rahmat kehidupan?