KALAU boleh menengok ke belakang kembali, maka kenangan akan ritus Latin dalam tata liturgi Perayaan Ekaristi pra Konsili Vatikan II (1962-1965) bolehlah dibilang itu benar-benar hanya “milik” para imam.
Umat menghadap altar dan hanya bisa melihat punggung pastor yang “ngedumel” sendiri dalam membawakan doa-doa dalam bahasa Latin.
Konsili Vatikan II telah mengubah tata cara liturgi gerejani dalam Perayaan Ekaristi. Imam kini berdoa bersama dengan posisi menghadap umat.
Lalu, umat boleh ikut berpartisipasi dalam liturgi Perayaan Ekaristi dengan membacakan Bacaan Pertama dan Kedua, melantukan lagu dan antifon Mazmur Antar Bacaan, ikut membagikan Komuni Suci, dan menyanyikan lagu-lagu bernafaskan daerah dalam Perayaan Ekaristi.
“Perubahan sangat radikal itu jelas saya rasakan, saat umur masih remaja dulu hanya bisa ‘melihat’ misa dan bahwa misa dilaksanakan dengan doa-doa dan rumusan teks misa berbahasa Latin.
Namun, sekarang bisa kita ikuti dalam bahasa Indonesia dan bahkan juga dengan bahasa dan simbol-simbol budaya lokal lainnya. Hasil perubahan itu tentu saja sangat menyenangkan,” papar Ketua Pembina Yayasan Bhumiksara Prof. Bernadette N. Setiadi PhD.
Mencintai Kitab Suci
Menurut Rektor Unika Atma Jaya Jakarta (2003-2007) ini, Konsili Vatikan II telah membuka cakrawala baru di kalangan umat tentang apa dan bagaimana isi Kitab Suci.
“Masa pra Konsili Vatikan II, yang boleh membaca dan memiliki buku Kitab Suci hanya para imam dan kaum religius di dalam biara.
Namun, kini Gereja justru memberi semangat kepada kaum awam agar semakin mengakrabi Kitab Suci dengan rajin membacanya – hal yang dulu tidak pernah bisa terjadi,” terang Guru Besar Psikologi Unika Atma Jaya sejak tahun 2008 sampai sekarang.
Harapan ke depan
Kalau boleh menyebut harapan ke depan atas momentum Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II di tahun 2022 ini, maka Prof. Bernadette I. Setiadi lalu menyebutkan harapan-harapannya berikut ini.
- Kemitraan dan praktik kerjasama antara klerus dan awam agar terus semakin ditingkatkan dengan dasar kasih, keahlian, dan kapasitas. Di mana peran kaum awam -sesuai kapasitas dan keahliannya masing-masing itu- dibukakan ruang agar mereka masing-masing bisa berkiprah terlibat untuk ikut mengurusi tata kelola Gereja agar performanya semakin baik, akuntabel, dan dipercaya.
- Dalam konteks yang luas itulah, maka lalu menjadi sangat penting juga bisa membuka ruang selebar-lebarnya bagi setiap upaya dari semua pihak untuk bisa melakukan kaderisasi generasi muda kaum awam. “Karena Gereja Masa Depan pada akhirnya nanti ya akan terletak di tangan kaum muda,” begitu Prof. Bernadet menyatakannya, lantaran sejak usia muda ia sudah sangat antusias terlibat dalam setiap upaya pembinaan kaum muda. Utamanya di wilayah pastoral Keuskupan Agung Jakarta dengan menginisasi berdirinya Civita Youth Camp di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan di tahun 1974.
- Perhatian Gereja akan kelompok-kelompok yang tersisihkan: anak-anak, kaum perempuan, kelompok LGBT, dan lansia.
- “Saya sangat menghargai prakarsa Ikafite yang mendesain program kegiatan Peringatan 60 Tahun Konsili Vatikan II. Tentu ini baik, agar semangat dan gema semangat pembaharuan Gereja itu senantiasa bergaung untuk masa-masa berikutnya,” tandas Prof. Bernadet N. Setiadi.