LULUS dari SMA de Britto Yogyakarta, Prof. Irwanto kemudian berhasil menyabet gelar doktor bidang psikologi perkembangan anak dalam keluarga. Menurut dia, persoalan keluarga di Indonesia begitu kompleks sehingga tak mungkinlah bicara keluarga hanya sebagai satu entitas ‘mandiri’ yang bisa dianggap mewakili semua wajah keluarga Indonesia.
Kasus perceraian paling banyak terjadi pada pasangan yang menikah kurun waktu tiga tahun pertama. Atau, 30 tahun sesudah nikah, ketika anak-anak sudah beranjak menjadi dewasa. Konflik yang dulu ditahan karena ada anak, kini meretas muncul ke permukaan.
Kesulitan berhubungan dengan transisi, keluarga secara natural menjadi lebih tua, anggota menjadi lebih banyak dan harus merubah aturan untuk bisa mengakomodasi perubahan itu. Ini masalah yang bersifat internal, tetapi mengandung risiko internal dan eksternal.
Internal: saat sulit, dimana anak balita meninggal (jumlah kematian balita di Indonesia masih merupakan momok), anak sakit/cacat. Usia 10-15 tahun, gabungan transisi dan krisis (anak-anak belajar menjadi dirinya sendiri; terjadilah ‘pemberontakan’ pada keluarga.
Studi berdasarkan riset
Dalam salah satu risetnya di Penjara Anak di Salemba, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu terdapat hasil yang cukup memiriskan – surat keputusan pengadilan turun makan waktu cukup panjang. Dalam waktu dua bulan, surat itu belum tentu turun. Maka, anak bisa dipenjara extra lama dikarenakan menunggu surat resmi tiba.
Anak-anak yang dipenjarakan disitu umumnya adalah ‘anak negara’ yang sengaja diserahkan orangtuanya agar dididik oleh negara dan diasuh oleh negara di balik penjara. Orangtua mereka angkat tangan dalam pengasuhan mereka.
Hasil temuan lain dari tim Prof. Irwanto adalah bahwa anak sipil dan negara tidak pernah mendapat remisi seperti halnya narapidana lain setiap perayaan HUT kemerdekaan. Mereka ditahan sampai usia 18 tahun. Kebanyakan mereka berasal dari keluarga miskin.
Prof. Irwanto juga mengemukakan hasil temuan Riset Smeru: anak SD yang memiliki IQ di atas rata-rata tidak dapat menyelesaikan pendidikan SD karena secara finansial miskin atau trauma karena ditinggal ibunya. Empati sosial tidak berperan dalam hal ini. Pemerintah berperan dengan menyelenggarakan beasiswa miskin. Sayangnya, Gereja tidak menunjukkan kepedulian dalam hal ini.
Riset lain yang pernah dilakukan Prof. Irwanto di penjara mencoba menemukan jawaban mengapa anak sampai berkonflik dengan hukum? Menurut temuan riset, hal itu bermuara pada satu isu yaitu hilangnya figur ayah di rumah. Anak laki-laki jadi limbung. Mereka tidak tahu harus bertanya kemana.
Keluarga dipahami oleh Prof. Irwanto sebagai kawanan yang melakukan perjalanan panjang, terjal, sering tidak punya waktu atau tidak berani untuk berhenti. “Seharusnya ada 2-3 tangan yang membantu mereka: ‘ayo berhenti sebentar, saya bantu kalian, Namun, di dunia saat ini, keluarga hanya fokus pada diri sendiri. Kalau ada yang bantu, maka saya ikut. Kalau tidak ada, maka saya juga tidak berbuat apa-apa”, demikian ungkap mantan Kepala LPPM Unika Atma Jaya ini.
Pernah dia bertanya kepada suatu komunitas parokial di luar Jawa: Berapa umat yang terkena jerat narkoba di situ? Pastornya malah marah dan menjawab tidak ada umat yang terkena kasus. Padahal Prof. Irwanto telah melakukan penelitian tentang kasus korban narkoba di daerah tersebut sebelumnya. “Pastornya mungkin hanya sibuk dengan urusan administratif dan tutup mata terhadap kondisi umatnya,” ujar Prof. Irwanto.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh Gereja adalah masalah pendataan. “Ini hal yang penting, tetapi jarang ditekuni oleh Gereja. Tim data gereja yang dilakukan Unika Atma Jaya kesulitan mendapat data dari paroki-paroki di seluruh Indonesia,” ungkap Prof. Irwanto.
Mengapa sampai terjadi ketidaksambungan? “Sering kali Gereja hanya bisa menggunakan otoritasnya menjadi lembaga penghakiman, senang memberi stigma, bukan untuk menolong dan melayani,” tandas Prof. Irwanto.
Ketika kita tidak memahami anak-anak atau tidak nyambung, maka anak-anak berpikir, apa yang ditemui di dalam dunia maya itu dianggap benar.
Di akhir paparannya, Prof. Irwanto mengemukakan bahwa Gereja katolik sudah didesain beragam, tetapi sayangnya institusi Gereja tidak bisa menjawab diversitas yang ada.
Kredit foto: Romo FX Adisusanto SJ/Dokpen KWI