DISKUSI tentang tema menarik di atas terjadi pada hari/tanggal: Jumat, 14 Agustus 2015 pukul 19.41-21.21 dengan nara sumber yakni Mgr. Ignatius Suharyo (KAJ) dan Mgr. Vincentius Sutikno (Keuskupan Surabaya). Dimoderatori oleh Ferry Jusuf.
Kita ingin membicarakan identitas kita. Siapa PUKAT, siapa saya dan anda? Kita sudah banyak berdoa, kita minta segala hal kepada Tuhan. Persoalannya, kalau kebutuhan kita dipenuhi Tuhan, kita diberi kesehatan dan begitu banyak berkat, terus mau apa?
Dua nara sumber pertama ini diundang untuk mengungkapkan identitas PUKAT, relasi dengan gereja, bagaimana kita bermitra dengan keuskupan dan sebagainya. Narasumber pertama adalah Mgr. Ignasius Suharyo, dan kedua Mgr. Sutikno. (Baca: Mimpi Kaum Profesional dan Usahawan Katolik Indonesia (PUKAT) 1
PAPARAN NARASUMBER 1: Mgr. I. Suharyo
Saya akan meneruskan homili saya, yang tadi belum selesai, tadi baru bacaan pertama. Bacaan kedua adalah di Injil, terkait pemberian mina. Mana penerima mina yang baik? Biasanya pastor katakan, ‘mari kita kembangkan mina sebanyaknya’.
Bagi saya, yang paling baik adalah yang tidak menghasilkan apa-apa. Tapi maksud saya begini, ada cara berpikir yang lain, yang pantas diperhitungkan, selain pengembangan talenta sebanyaknya.
Perumpamaan tadi punya latar belakang sejarah yang sangat jelas. Ada raja yang akan pergi untuk minta dinobatkan, namanya Herod Archelaus, yang mendapat bagian dari kerajaan Herodes setelah Herodes Agung meninggal, dia mau ke Roma untuk meminta Kaisar menjadikannya raja.
Rakyat tidak suka pada dia karena sebagai bangsawan ia menuntut pajak yang tidak tanggung-tanggung dan ngawur. Rakyat tidak mau, tapi kekaisaran Roma punya kepentingan, jadi ia tetap dijadikan raja. Ada 10 orang yang diberi 1 mina, tetapi hanya satu yang tetap menyimpan mina itu, yang lain mengembangkannya untuk keuntungan. Tentu mereka menggunakan cara-cara yang sama seperti Archelaus.
Yang simpan satu mina itu sebenarnya tidak setuju cara Archelaus menambah kekayaan, maka ia protes, ia tidak mau menjalankan cara yang dipakai Archelaus yang diwariskan kepada orang-orang lainnya. Ini namanya active non-violence, melawan ketidakadilan dengan diam. Kesimpulannya, kalau saya sekarang ini diminta untuk mengatakan siapa yang pantas dipuji, maka jawab saya adalah yang satu mina itu. Seperti Ali Sadikin dulu, pinjam modal tidak dikasih, karena melawan kesewenang-wenangan.
Kedua, ada perselingkuhan antara raja, kaisar dan para pedagang. Dan sekarang pun banyak perselingkuhan antara bisnis dan negara, apalagi didukung senjata. Saya berharap PUKAT jadi komunitas kontras, komunitas alteratif yang tidak ikut arus, tapi punya idealisme melawan arus yang tidak adil. Itulah kenapa dua bacaan itu dipilih.
Bacaan ini mengajak kita untuk bisa berpikir lain, berpikir di balik laba yang dihasilkan itu ada apa. Sering ini hanya ditafsirkan bahwa kita harus kembangkan talenta, tapi jangan satu jadi sepuluh, itu lintah darat namanya. Berusaha, tetapi tetap jadi komunitas alternatif, komunitas kontras yang setia pada idealisme.
Rangkuman Moderator:
Sampul buku The Corporate, yang ditulis Joel Balkan, bergambar pengusaha bawa tas. Di kepalanya ada holo malaikat, tapi di belakangnya ada ekor iblis juga. Saya bayangkan, kita ada di situasi yang dingin, kita punya kayu bakar di perapian yang kecil apinya. Kita bilang pada tungku, ‘beri saya kehangatan, setelah hangat saya beri kayu bakar’. Tapi itu tidak bisa terjadi kalau kita hanya peluk kayu bakar kita. Jadi kita harusnya beri dulu, baru dapat kehangatan. Kalau kayu bakarnya cuma dipeluk, tidak akan dapat kehangatan.
Mgr. Sutikno akan memamarkan tentang relasi PUKAT dengan keuskupan.
PAPARAN NARA SUMBER 2: Mgr. Vincentius Sutikno
Pihak panitia hanya menulis surat dan memberi tugas, judulnya juga salah kaprah yaitu membangun relasi ekonomi dan Gereja. Seolah keduanya dipertentangkan dan oleh karenanya mau dijalin persatuan. Pelaku ekonomi juga Gereja, Anda adalah Gereja. Jadi, judulnya keliru. Yang ada adalah bagaimana pelaku ekonomi, yang adalah awam dan hirarki.
Gereja dalam keanggotaannya dalam Konstitusi Dogmatis Vatikan II (Lumen Gentium), dikatakan Gereja terdiri atas awam dan hirarki atau para pelayan suci (uskup, umam, diakon). Masing-masing punya tiga tugas hidup di dunia yaitu pengudusan (sanctificandi), pengajaran (docendi) dan penggembalaan (regendi).
Awam dan Hirarki dalam keanggotaan Gereja
Lumen Gentium artikel 30, menyebutkan awam adalah kaum beriman kristiani yang berkat baptis jadi anggota tubuh Kristus mengemban tugas imamat, kenabian, rajawi Kristus. Sedangkan hirarki, beriman kristiani, berkat tahbisan, menjadi pelayan suci tubuh Kristus.
Ciri khas awam adalah sifat keduniaannya, urus hal-hal fana seturut kehendak Allah demi kesejahteraan bersama. Sedangkan hirarki, hal-hal ilahi, kekal, suci demi keselamatan hidup kekal.
Awal juga tugas utamanya adalah menyinari, mengatur hal-hal fana, mengusahakan, mengurus hidup keluarga, dan sosial, menjadi ragi masyrakat dalam teran iman, harapan dan kasih. Sedangkan hirarki, mempersatukan, mengarahkan, membimbing, memurnikan, memaknai dalam terang sabda Tuhan dan ajaran gereja. Sebagai imam, jika ada suami istri berkelahi dan bertanya, maka saya akan katakan agar sabar, mengampuni. Bagaimananya, ya ada bagian awam. Sosial itu, awam lebih mengerti, apalagi hal-hal yang berhubungan dengan mengatur ekonomi (oikos dan nomos). Awam yang lebih mengerti bagaimana mengusahakan makanan, sedangkan imam itu memberi penekanan bahwa kita perlu menyediakan makanan yang membutuhkan. Imam itu harus mempersatukan, mengarahkan, membimbing, memurnikan, memaknai.
Saya pernah katakan pada PUKAT Surabaya, dulu aktifitasnya kebanyakan mengurus liturgi dan misa bahasa Inggris: “Itu bukan tugasmu!”.
Jadi proporsional, boleh-boleh saja mengurus doa dan sebagainya, tapi lakukan yang sosial dengan proporsional. Kalau ada satu hal yang sungguh membuat semua pengusaha ini, sesungguhnya soal kesejahteraan Anda juga, kuatir kan? Apakah ini akan terus berlangsung, profitable atau lebih tepat lagi sustainable? Artinya, bagaimana ini bisa terus berlangsung dan memberi makna, mendatangkan kesejahteraan bagi pegawai.
Menjadi pengusaha itu sebenarnya luhur, karena dengan memberi pekerjaan, Anda menyelamatkan banyak orang dan keluarganya. Anda memberi makna bagi orang lain, memaknai pekerjaannya bagi hidup. Tapi mungkin juga Anda ragu-ragu, seolah Injil tidak friendly dengan Anda, bahkan dikatakan lebih mudah onta masuk lubang jarum. Anda mungkin ragu disebut beruang, orang kaya, tapi saya tidak percaya Anda kaya betul, banyak juga yang mungkin banyak uangnya, tapi juga hutangnya banyak. Dunia bisnis begitu, orang yang sudah kaya diberi hutang oleh bank, tapi yang kecil-kecil justru sulit.
Saya usul beasiswa Cawan (calon cendekiawan) Getsemani, mungkin itu bisa Anda buat untuk memaknai ‘kekayaan’ Anda. Kecenderungan umum, orang kaya, anaknya sedikit. Tapi kadang kebingungan kalau sudah sedikit, anak-anaknya semua jadi Romo. Itu bisa terjadi. Bahkan ada yang anaknya meninggal, walaupun sudah berusaha dijamin dengan menyekolahkan setingginya dan ke luar negeri. Tapi yang ingin dikatakan adalah, makna apa?
Gereja sih gampang saja mengatakan, ‘beri ke keuskupan’. Tapi tidak demikian. Katolik sangat konsekuen, tidak mengikuti yang disampaikan Pak Harto dengan dua anak cukup. Mulai usaha dengan makna, sungguh bahwa saya terpanggil.
Profesionalitas karya awam dalam Gereja
Dimensi personal
Memang harus ada dimensi personal (Gaudiem et Spes Konstitusi Pastoral Vat II; Laborem Exercens, Ensiklik P II tentang kerja): profesi sebagai realisasi dan aktualisasi diri, manusialah subjek pekerjaan, sebagai partner Allah dalam karya penciptaan Ilahi yang berkelanjutan sampai akhir dunia, kreatifitas dan inovasi (bdk. LE 6); Martabat personal sebagai nilai etis pekerjaan (bdk LE 9); Tuntutan etis: primat pekerjaan di atas faktor-faktor modal, hak milik, alat kerja (LE 15); Humanisasi bakat, kemampuan, pengelolaan, pengembangan diri (termasuk nilai istirahat) (GS 3); Bernilai martabat/harga diri, kepuasan, kebanggaan (bdk LE 7).
Pengusaha itu perlu dilestarikan, karena tidak banyak. Bapak saya Tionghoa, pegawai negeri. Tidak seperti teman-temannya yang berbisnis. Saya pun tidak bisa berbisnis, ikut Bapak saya sebagai pengabdi. Tidak berani ambil risiko. Pengusaha harus punya bakat untuk berani ambil risiko, berani berhutang. Kalau saya, tidak bisa seperti itu. Pengusaha itu perlu inisiatif, bisa mengkalkulasi. Negatif nya ya kikir, tapi positif nya adalah kalkulasi, dan kalau menghutangi harus tahu kapan kembali.
Dimensi sosial
Pelayanan demi kesejahteraan umum, kerelaan untuk berbagi versus tumpuk keuntungan bagi diri sendiri. Kita akan ditanya, sejauh mana kita berarti bagi orang lain dengan usaha anda. Apakah anda membunuh dalam arti mematikan kehidupan orang? Kadang-kadang membuat perusahaan, justru membuat kehancuran. Ada problem keselamatan. Jadi pikirkanlah apakah saya menyumbang bagi kesejahteraan umum? Apakah pekerjaan yang Anda berikan kepada orang, menyelamatkan orang itu.
Relasi sosial berdasarkan kepercayaan antar subjek vs isolasi diri, tak terbuka pada komunikasi dan pengaruh baik pada sesama.
Pengabdian kepada masyarakat: “dengan pekerjaan manusia secara teratur menunjang kehidupan sendiri dan keluarga, bersekutu dengan saudara-saudaranya, mengabdi kepentingan-kepentingan mereka, melaksanakan cinta kasih sejati (bdk. LR 10). Dengan fellowship ini juga bagian sosial.
Dimensi spiritual
Antara panggilan hidup (vokasi) – pembaktian (konsekrasi), berkat anugerah Roh Kudus (berkat anugerah-anugerah Roh yang berbeda-beda) dan dari panggilan, pembaktian diri ke perutusan melalui profesi kaum awam diutus meresapi duni dengan nilai-nilai Injil.
Pekerjaan kalau dilihat sebagai pekerjaan, ya hanya pekerjaan, nasib-nasiban. Tapi juga bisa kita lihat sebagai pembaktian, pemaknaan, perutusan, solidaritas dengan the poor and the less fortunate. Di Filipina itu ada Konferensi Wali Gereja dan Businessmen Filipina. Sekuler-spiritual. Apakah pengusaha Katolik berani mencantumkan dalam mission statementnya bahwa commit bersolidaritas pada the poor and less fortunate?
Usahawan Katolik itu memikirkan kesejahteraan umum masyarakat berkeadilan. Memikirkan kehidupan, ekonomi tapi juga keutuhan ciptaan. Kalau mau cepat kaya, tidak usah pikir tentang ekologi. Kalau bisnisnya mulai menyentuh soal rokok misalnya, apakah mulai bertanya? Kalau bisnisnya soal kelapa sawit yang sangat dihargai pasar? Apakah kita juga berpikir tentang kerusakan alam karena kelapa sawit ini.
[…] BERIKUT ini beberapa pertanyaan dari para peserta Konvensi Nasional II PUKAT (Kelompok Profesional dan Usahawan Katolik). Pertanyaan ditujukan kepada dua Uskup yakni Mgr. Ignatius Suharyo dan Mgr. Vincentius Sutikno yang memberi paparan di forum Konvenas II PUKAT ini. (Baca: Profesional dan Usahawan Katolik: Bangun Relasi Pelaku Ekonomi dan Gereja (2) […]