AKHIRNYA film Soegija lahir di pentas sineas Indonesia. Soegija lahir dari dapur Studio Audio Visual (SAV) Puskat Yogyakarta. Melalui proses yang panjang – dari mengolah gagasan hingga riset kepustakaan, wawancara saksi, dan studi foto serta dokumen gerejani— di ujung cerita Soegija akhirnya meretas lahir.
Menurut Romo Murti Hadi Wijayanto SJ, film “kolosal” ini melibatkan tak kurang dari 2.775 pemain. Syuting berlangsung selama sebulan, tapi dipersiapkan sebelumnya selama dua bulan penuh. Syuting diambil dengan lokasi antara lain di Semarang, Magelang, Ambarawa, dan Klaten.
Karena didukung oleh para pemain asing dari Belanda, Jepang, dengan sendirinya Soegija bermain di banyak bahasa. Tak kurang 6 bahasa muncul di Soegija yakni Indonesia tempo doelo, Jawa, Inggris, Belanda, Jepang, dan juga “bahasa mati” Latin. “Dengan melibatkan banyak pemain asing dan mereka berbahasa sesuai dengan bahasa ibunya masing-masing, maka Soegija sejak awal pun secara nyata ingin menghadirkan situasi kisah sejarah bernuansa multikultur,” tulis Romo Murti dalam sebuah edaran berita internal.
“Meski dibuat secara kolosal dengan melibatkan ribuan pemain, namun karena tokoh utamanya seorang Mgr. Soegijapranata SJ yang dikenal bersahaja dan rendah hati, maka fokusnya tetap harus pada semangat beliau yang menjadi teladan bagi kita semua,” sambung romo Yesuit kelahiran Panca Arga, Magelang ini.
Rumitnya mencari properti yang pas
Menemukan aneka properti yang menggambarkan suasana Jawa tahun 1940-an jelas merupakan proses hunting yang tidak mudah. Menurut Romo Murti, sudah banyak ikon berupa bangunan, tulisan pada era tahun 1940-an yang sudah hancur atau bahkan tidak ada lagi.
Namun –kata Romo Murti—berkat kelihaian costum designer dan make-up artist yang prima, wajah-wajah era tahun 1940-an bisa kembali hadir di Soegija ini. Lagi-lagi, tandasnya, kekhasan multikultur juga sangat ditonjolkan, baik dari pemilihan karakter wajah pemain, kostum, maupun setting film ini.
“Film ini tidak semata-mata ingin memfokuskan diri kepada kelompok tertentu, tetapi jutru mau merayakan makna kebhinekaan bagi Indonesi. Indonesia yang bhinneka namun tunggal ika,” tulis Romo Murti.
Jadi, yang ingin dijual oleh film ini adalah tatanan nilai kemanusiaan universal dan itu diambil dari sebuah oase perjalanan seorang manusia dan perjuangannya dari seorang tokoh katolik bernama Mgr. Soegijapranata SJ. “Di tengah situasi bangsa yang kini tengah dirobek oleh kepentingan kelompok tertentu, film Soegija lalu menawarkan rajutan nilai ketokohan bagi pembangunan jatidiri bangsa yang mencintai dan menghidupi kebhinekaan,” tutur Garin Nugroho, alumnus Kolese Loyola Semarang yang akhirnya didapuk Puskat Yogyakarta menjadi sutradara “Soegija”.
Garin telah berusaha mendesain jalinan cerita dalam film ini bisa terajut dengan indah dan itu penuh makna.
Keluarga tercerai berai
Soegija diperankan Nirwan Dewanto. Saat ditetapkan menjadi Uskup Vikariat Apostolik Semarang tahun 1940, Mgr. Soegijapranata masuk dalam setting perubahan situasi politik yang sedemikian cepat. Semula dijajah Belanda, kemudian hanyut dalam suasana Perang Dunia II dan akhirnya Indonesia disekap oleh Jepang.
Ketika Jepang akhirnya datang ke Jawa 1 Maret 1942, maka meletuskan perang sporadic antara kelompok nasionalis dengan tentara Jepang. Itulah sebabnya Mariyem yang diperankan Anissa Hertami sampai terpisah dari abangnya bernama Maryono (Mohammad Abe). Begitu pula, bocah bernama Ling Ling (Andrea Reva) kehilangan jejak ibu kandungnya (Olga Lydia).
Perang –demikian kata filsuf Gabriel Marcel—telah menempatkan manusia pada sebuah tragedi kemanusiaan dimana yang bercokol adalah kebencian, dendam dan semangat meniadakan yang lain. Keterpisahan antaranggota keluarga hingga tercerai berai juga dialami oleh keluarga-keluarga kolonial.
Nobuyuki (Suzuki), seorang tentara Jepang di Jawa dan penganut Buddhisme, merasa tak hepi karena jiwanya selalu terngiang akan anaknya di Negeri Matahari Terbit. Pun pula Robert (Wouter Zweers), seorang ‘mesin pembunuh’ dari kesatuan militer Belanda, akhirnya tersentuh oleh pemandangan pilu ketika seorang orok bayi tanpa sengaja dia ketemukan di medan perang.
Meski berbaju tentara, di hati Robert yang terdalam tetap tersembul kerinduan dalam untuk kembali ke tatanan sosial yang damai dan tenang. Ia ingin pulang dan berjumpa lagi dengan maminya di Nederland. Begitu pula Hendrick (Wouter Braaf) malah menemukan cintanya pada seorang gadis inlander namun kandas karena perang telah “memisahkan” mereka.
“Film ini tidak hanya mengisahkan tentang kepahlawan Soegija. Melainkan yang lebih penting adalah justru bagaimana film ini mampu mengajak kita memaknai kembali nasionalisme dalam konteks zaman ini. Soegija mengingatkan bahwa perjuangan tidak identik dengan kekerasan. Soegija memberi teladan melampaui diri dan agamanya. Keutamaan kehidupan berbangsa adalah belajar dan bekerja, membina kerjasama dan memupuk kebangsaan kita dengan terbuka,” tulis FX Triyono dari Puskat Yogyakarya mengutip omong Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI Romo Benny Susetyo Pr.
Photo credit: Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta
Artikel terkait: