Puisi sebagai Karya Seni, Lalu Seni Itu Apa?

0
1,422 views
Ilustrasi: Lukisan khas Asmat di sebuah dinding sekolah di wlayah pastoral Paroki Atsj, Kabupaten Asmat --sekitar 5 jam perjalanan naik speedboat dari Kota Agats di Papua. (Mathias Hariyadi)

SEBAGAI karya seni, puisi ternyata bisa menjadi sarana dialog pesannya dengan puisi sesamanya. Bahkan bisa berfungsi untuk menjadi cermin bertanya.

  • Bagaimana laku keberagaman kita?
  • Bagaimana cara kita beragama sebagai sesama anak bangsa.

Penelusuran langkah demi langkah ini, secara metodologi (baca: cara mencapai sebuah pengertian atau pemahaman akan sesuatu yang disimak dari realitas kehidupan) dimaksukkan sebagai metode induksi. Yaitu, dari fenomena akar yang dialami, lalu dirumuskan secara masuk akal, rasional proses menghayati itu.

Mengapa mesti masuk akal?

Karena untuk komunikasi saling menguji, agar dari beberapa pengalaman, lalu ditarik rangkumannya.

Pengalaman-pengalaman yang induktif itu dihayati dari yang partikular banyak itu. Lalu diabstraksi menjadi tesis atau pendapat yang sering disebut sebagai teks.

Inilah deduksi. Mengabtraksi dari pengalaman keragaman partikular orang-orang Batak, Jawa, Minang, Flores dan lain-lain.

Lalu dibuat abstraksi menjadi kemanusiaan. Dari konteks beragam orang-orang menurut suku, lalu diabstraksi dengan metode deduksi. Maka jadilah teks.

Teori sebenarnya merupakan deduksi dari pengalaman-pengalaman keindahan yang induktif beragam-ragam. Lalu dirumuskan rasional, sistematis berdasarkan hakikatnya atau esensinya. Maka muncul teori esensialis yang merumuskan hakikat pengalaman-pengalaman keindahan dari esensi-nya. Sedangkan yang dialami oleh subjek-subjek yang menghayati secara eksistensialis (baca: dari penghayatan seseorang karena keberadaannya dalam hidup) terumuskan teori eksistensialis.

Definisi atau rumusan apa itu seni dari ranah pengalaman merupakan rumusan sistematis rasional. Semacam teori dengan metodologi induksi; dari lapangan menuju abstraksi deduksi yang memberi tahu apa itu seni.

***

Mari kita lihat definisi dari kamus mengenai apa itu seni.

Poerwadarminta W.J.S. 1976 dalam kamusnya: Kamus Umum Bahasa Indonesia, menulis sebagai berikut:

Definisi seni ialah:

  • kecakapan membuat atau menciptakan sesuatu yang elok-elok atau indah;
  • karya yang dibuat dengan kecapakan yang luar biasa, seperti ‘puisi’ (ditandai oleh penulis) lukisan ukir-ukiran dan sebagainya.

Pengertian apa itu indah bisa dicari dengan metode induksi dan deduksi tadi. Di daerah di mana seni dihidupi dan berakar dengan bahasa lokalnya, misalnya Jawa, sehingga rumusannya bisa ditemukan.

Dalam bahasa Jawa, kamus bahasa Jawa tinggi bernama Bausastra Jawa, di mana Poerwadarminta termasuk salah satu penyusunnya.

Ditulis di Bausastra Jawa itu, rasa seni itu kagunan yang memuat makna:

  • Kapinteran;
  • Jejasan ingkang adipeni alias karya yang berfaedah;
  • Wudaring pambudi nganaake kaendahan – kidung, gegambaran, ngukir-ukir

Yang artinya pengungkapan, bahkan pencurahan rasa yang membuahkan keindahan.

Sanento Yuliman mencari padanan pada ungkapan bahasa Batak dalam kata ‘panggorga’ dan Bali sebagai ‘undagi’ (Sanento Yuliman, Estetika yang Merabunkan, DKJ, 2020, hal. 262). Sehingga bisa dirangkum bahwa seni adalah estetika yang bersumber pada kepekaan keindahan yang dipunyai oleh rasa khusus untuk membuahkan karya elok.

Sebagai definisi yang merumuskan secara logis apa itu seni dengan sistematis yang menjadi teks kamus, maka menarik saya untuk mengkategorisasi arti seni sebagai ungkapan rasa. Juga sekaligus karya yang dibuat dengan kecakapan luar biasa, dalam contoh puisi dan lukisan ini dalam kamus ‘internasional’nya Eran Guter.

***

Mengapa?

Karena dari kamus Guter: Aesthetics A-Z, Edinburgh Univ. 2010, ekspresi rasa itu digolongkan dalam seni sebagai ungkapan rasa senimannya. Inilah esensi seni, semisal contoh teori seninya Tolstoy sebagai ‘emotional transmission’: transmisi emosi senimannya. (cfr. Eran Guter, ‘Aesthetics A-Z’, 2010 p.52-53, sub: definition of art).

Seni dalam kategori ekspresi rasa ini adalah yang ditulis Benedetto Croce sebagai: ungkapan intuitif.  Atau, menurut Collingwood, sebagai aktifitas mengklarifikasi rasa (untuk diungkapkan dalam karya). Jadi, karya-karya seni sebagai ungkapan rasa, semuanya masuk kategori ini. Sebut saja kategori A. Sekali lagi, kita melihat penerapan metode induksi menuju deduksi menjadi teks rumusan.

Ini kategori pertama, seni adalah ungkapan rasa.

Kategori berikut, kategori kedua, seni ditelusuri dari awal rumusannya sejak Aristoteles mengkalimatkan apa itu definisi (sebagai pernyataan yang menjelaskan arti ekspresi atau konsep). Yang dicirikhasi oleh usaha untuk masuk ke hakikat esensi dari seni itu.

Ini yang di atas tadi, kita catat sebagai makna esensial atau pengertian metafisik (adi fisik) dari seni. Kategori esensialis makna seni ini, merumuskan seni sebagai mimesis.

Maksudnya, menekankan kemampuan, potensi seni yang mampu menjadikan orang untuk imitasi alam, menirunya, bercermin pada semesta.

Sebuah lukisan di dinding Rumah Retret Pondok Damai di Sanggau –sekitar enam jam perjalanan dari Pontianak. (Mathias Hariyadi)

Lukisan pemandangan alam yang dimasukkan dalam naturalisme (sesuai gambar alam) muncul sebagai contohnya. Puisi-puisi yang memakai semesta untuk cakap-cakap, berkaca di hadapannya dalam dialaog dengan semesta juga masuk di sini.

Lalu dilanjutkan peran fungsional seni yang mimesis ini: atau menjadi kathersis saat bercermin pada tragedi, seluruh emosi ikut terlibat di tontonan teater, hingga dilapangkan emosi-emosinya dan jadi lega.

Seni sebagai mimesis ini bisa dibaca pada karya-karya Plato, Aristoteles zaman Yunani kuno. Lalu saat rindu kembali mempelajari seni-seni Yunani kembali pada masa renaisance, yang melahirkan lagi apa yang indah di budaya Yunani kuno (makna kata renaissance: melahirkan lagi estetika Yunani di Eropa pasca Abad Pertengahan yang dominan estetika religiusnya).

Ekspresi seni akan iman religius dalam bentuk coretan lukisan di kaca-kaca jendela di Pondok Damai Sanggau, Kalbar. (Mathias Hariyadi)

Kategori ketiga adalah teori definisi Daniel Bell, bahwa seni adalah wujud atau forma bermakna dengan formalisme sebagai ajarannya. Namun, masalahnya dalam seni dalam formalisme ini ialah penentuan mana-mana karya seni yang tampil estetis dari formanya. Mana pula ukuran karya seni yang baik itu.

Sementara itu kategori keempat sebagai reaksi terhadap mashab esensialisme, seni muncul dalam gerakan anti esensialisme pada pertengahan abad ke 20 yang melahirkan pemikir-pemikir atau filsuf yang ragu dan sangsi apakah seni itu bisa dirumuskan.

Argumentasinya adalah, bila rumusan dan definisi diterapkan dalam konsep-konsep khusus (tertentu), dan tetap sebagai definisi terbuka apa itu seni, secara mendasar akan rancu dirumuskan secara logis. Karena intuisi dan rasa akan tidak tuntas begitu dikalimatkan. Rasa esensialisme adalah menjadi saluran usaha terus-menerus untuk mendefinisikan seni dari beragam ranah dan dimensi.

Rumusan seni pada pertengahan kedua abad 20 bisa dideskripsi dalam beberapa tipe (macam).

Tipe 1. Yaitu fungsional, meletakkan seni pada peranannya untuk menyebarkan (promosi) apa itu pengalaman estetis. 

Tipe 2. Historis yaitu menaruh makna seni dan karya seni pada konteks sejarah.

Tipe 3. Menaruh status atau posisi seni dan karya seni dalam masyarakat dan dinamikanya saat masyarakat institusional itu sepakat menegaskan status karya itu sebagai karya seni.

Contoh, lihatlah aliran-aliran seni dalam isme-ismenya sebelum post modernisme, di sana tiap zaman bersepakat menaruh status seni sebagai romantisme atau realisme atau klasik.

Tokoh teori historis Danto. Pendukung rumusan seni dalam konteks pengalaman estetis adalah Beardsley dan promotor teori institusional seni adalah Dickie.

Bila dideskripsi dalam benang merah terlihat bahwa teori itu perumusan pengalaman dan penghayatan seni di lapangan kehidupan (yang induktif aposteriori), lalu diabstraksi dan untuk komunikasi dirumuskan secara logis, sistematis dan rasional, hingga menjadi teks mengenai seni.

Namun, jelas-jelas bahwa sumber seni tetaplah dari kehidupan manusia yang di satu pihak dihayati oleh seniman atau orang-orang biasa komunitasnya sebagai yang indah yang memayu hayuning bawana atau ‘memuliakan hidup’.

Di lain pihak melalui abstraksi deduktif dari pengalaman-pengalaman kongkrit menghayati estetika dalam hidup ini, ditulislah teori rumusannya atau yang disepakai sebagai teks.

***

Karena itu, bila dicoba menulis apa itu jalan seni, maka deskripsinya bisa sebagai berikut:

Ziarah atau jalan seni, sebelum dirumuskan secara logis rasional, baik dalam definisi kamus tulis bahasa Indonesia maupun definisi Eran Guter mewakili estetika rumusan atau definisi (baik Poerwadarminta dalam kamus Bahasa Indonesia maupun Aesthetics A-Z oleh Eran Guter), orang akan menjumpai sumber estetika adalah apa-apa saja yang dialami sebagai indah dan mulia; dari kehidupan dan dari menghayati kehidupan itu sendiri.

Pelukis memuliakan kehidupan dengan membuat hamparan aneka warna, hingga tampil sebagai gambar berkualitas di atas kanvas. Warna dipakai sekaligus sebagai materi yang simboliknya mengungkapkan penghayatan atas irisan hidup si seniman ke kanvas.

Tarian tradisional khas Bajawa di Flores saat digelar di jalanan Air Upas –delapan jam perjalanan dari Kota Ketapang. (Mathias Hariyadi)

Seniman kain tradisional meramunya dalam komposisi warna-warni benang songket yang ditenun indah jadi selendang dan kain untuk ritus atau resepsi. Pula proses serupa dibuat untuk kain ikat tenun.

Dalam tari, para penari mengagungkan kehidupan yang kaya ragam nilai di tanah agraris, menggerakkan tubuh seirama cocok tanam, awal sampai panen di Nusantara ini mengikuti gerak alam dan pengolahnya yaitu para petani.

Yang tradisonal tari mengikuti irama rutin pagi matahari terbit, para petani bahkan sudah ke sawah sampai nanti sore, di sela-sela sawah basah mananami dan menyiangi rerumput yang mengganggu.

Sedang tari modern Indonesia yang sudah melepaskan diri dari keterikatan tradisi, berusaha mencari hal baru dari kehidupan, keindahan untuk sapa manusia zaman ini, kebenarannya untuk dijadikan arah pengembangan ilmu, keadilannya untuk para pejuang kemanusiaan dan hak-haknya.

Kesuciannya untuk berlutut di hadapan kehidupan, mengaku laku salah, serakah menghancurkan dan merusaknya selama ini. Kebaikannya yang tiap hari memberi rejeki asal tidak serakah dan memanipulasinya untuk kepentingan sendiri, namun membaginya sebagai berkat bagi sesama.

***

Momen puisi

Momen yang tak terbahasakan kata lagi ini saya alami dan saya hayati dalam-dalam, ketika Arswendo Atmowiloto, 26 Juli 2019 dipanggil Tuhan.

RIP (Rinengkuh Ing Pangeran)

Erat pegangan

Melemah

Diganti ulur tangan-Nya

RIP adalah ungkapan jiwa manusia yang berbela sungkawa, yang berkabung dengan harapan semogalah Arswendo beristirahat dalam damai.

Bahasa lainnya: requiescat in pace atau nuansa Jawanya adalah moga Rinengkuh Ing Pangeran, yang dalam bahasa Inggris adalah Retire in Peace.

Cobalah menangkap kontekstualisasi ungkapan doa harapan untuk kepergian sahabat ‘diwadahi’ dalam rumah bahasa Jawa, Inggris dan Latin.

Ditaruh dalam penggolongan definisi seni (baca: definisi adalah rumusan pengertian mengenai isi seni, pengalaman menghayatinya), terangkum salah satu definisi seni sebagai ekspresi atau ungkapan rasa atau emosi pelukisnya, untuk lukisan dengan jiwa tampak.

Rasa sedih, berduka dan toh berharap dalam heningNya, melalui puisi RIP oleh penyairnya atau sederhana saja melukiskan melalui kata yang dirangkai dan diheningi dengan makna suasana berkabung atau suasana duka melalui puisi.

Karena itu, saya juga menulis jejak puisi dalam Puisi Berjejak tahun 2004, 10 Maret.

Bila kamu mau mengalami puisi

Kebenaran kan berjejak

Keindahan berembun

Membasahi kehidupan bertapak

Di sini ada pemahaman yang ditulis menjadi konsep mengenai kehidupan sebagai sumber kebenaran, yang dalam eksplorasi rasional dan pengembangannya menjadi pengetahuan. Ranah kehidupan yang menjadi rumah untuk yang indah itulah estetika atau seni.

Ranah kehidupan yang menyusuri dan menjadi laku hidup baik, itulah etika. Saat hidup dihayati, ditanyakan mendasar siapa pencipta, disanalah religiositas atau yang suci berumah.

Tarian adat Dayak yang dikemas dalam balutan seni modern di Pontianak dalam kesempatan pembukaan SEKAMI. (Mathias Hariyadi)
Mengemas seni dalam citarasa modernitas di acara SEKAMI di Pontianak. (Mathias Hariyadi)

Menghayati kehidupan dengan mengalami keindahannya oleh Mark Johnson dalam Aesthetics of Embodied Life (cfr. Art and the Aesthetics of Life, 2018, p.200). dibeberkan ciri-ciri atau dimensi-dimensi pengalaman estetisnya sebagai:

Kualitatif: berada di emosi (artinya dihayati dalam rasa); menyentuh rasa, ekspresinya membutuhkan metafora-metafora untuk melampau pengkerdilan (reduksi: penyempitan) pisau analitik rasional.

Dengan kata lain, pengalaman estetis dari kehidupan dikenali wajah-wajahnya dengan menyadarinya, semisal Jiwa Tampak dalam lukisan (Soedjojono) atau dialog batin komunikatif dengan karya sastra puisi atau pun prosa.

Wajah ajakan dialog batin rasa puitis itulah yang menjadi jejak-jejaknya dalam hidup, semisal puisi Joko Pinurbo yang saya jawab ajakan dialognya (salah satunya dalam puisi saya berjudul: Buat JokPin).

Buat JokPin                   

(Jelang Natal 2019)

kau tulis: ketika aku berdoa

Tuhan tak pernah menanyakan agamaku

kutambah: sehatkah anakku?

kujawab lirih: dalam hadirMu

tak hanya sehat ragaku

namun pula jiwaku

karena dalam hening suwungMu

hanya ada engkau

dan bukan agama tentang Kau!

Dalam dialog puisi saya dan puisi JokPin, jejak sosiologis langsung tampak lantaran persoalan pengalaman keberagaman dipertajam makna hakikinya dalam kata kunci religiositas: pengalaman hening keimanan pada Tuhan.

Agama bisa secara sosiologis dihayati sebagai pengetahuan tentang Tuhan. Maka tahapan pengalaman di tingkat ini, lalu menjadi pengetahuan budi dan belum ke hati.

Dalam tingkatan ini, kemanusiaan yang mestinya menyatukan masyarakat disumbernya yaitu keimanan bahwa manusia adalah citra Allah, gambar ayu dan agung Allah: imago Dei, bisa bertemu dialog antara keyakinan (religiusitas) dengan manusia pada hakikatnya adalah khalifatullah Allah dan temu dialog ini dalam kalimat puisi JokPin ditulis dengan ‘menggugat’ kontras antara sehari-hari sosiologis politis beragama, di mana dipisahkan garis agama kami versus agama mereka dan berakibat memecah dan tidak merukunkan.

Padahal dalam religiusitas hening doa, Tuhan tidak pernah menanyakan apa agama kita.

Karena itu kutanggapi dengan puisi bahwa pada saat menghayati kehadiran Tuhan dalam doa hening di sana yang hadir adalah Engkau (baca: Tuhan) dan bukan mengenai Tuhan, tentang Kau.

Tarian khas Papua di atas panggung seni SEKAMI di Pontianak. (Mathias Hariyadi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here