PERTAMA-tama adalah melakukan tugas teramat penting. Yakni, lobbying. Apalagi ini menyangkut nasib pekerja migran Indonesia (PMI) yang pergi masih hidup dan kini pulang sudah jadi mayat.
Sekarang dikenal dengan istilah PMI. Dulu, istilahnya adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau TKW (Ternaga Kerja Wanita).
Nasib PMI non prosedural selalu tidak beruntung. Selalu saja ada permasalahan yang mereka hadapi. Mulai kontrak kerja, dianiaya majikan, bahkan beujung dengan kematian.
Ini juga dialami oleh almarhum seorang pekerja migran Indonesia asal Sumba Timur. Sebut saja namanya adalah Rambu Tia. Ia telah meninggal di Johor, Malaysia. Dalam keadaan hamil.
Konon disebutkan, almarhumah mengalami keracunan dan kemudian meninggal. Tiba-tiba saja, jenazahnya sudah ada di sebuah rumah sakit di Johor sana.
Maka, kepolisian Johor lalu menghubungi KBRI dan selanjutnya KBRI bersurat pada BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia).
Siapakah diriku ini?
Dan surat itu akhirnya juga sampai juga ke HP saya dengan pesan yang berbunyi: “Suster mohon bantuannya ya“.
Saya langsung jawab: “Maksudnya Pak?”
“Iya suster, kami mohon bantuannya untuk proses pemulangannya, karena tidak ada yang bertanggung jawab dan keluarga tidak mampu.”
Dalam hati saya katakan “Negara saja tidak mampu, apa lagi saya. Siapakah hamba ini?”
Mencari solusi
Allah Sang Penyelenggara selalu kreatif menggunakan hambanya, maka dengan semangat dan sukacita pergi meretas batas merangkul kehidupan yang terancam.
Saya mencoba kontak sana-sini dan mohon bantuan baik dengan jaringan Gereja maupun kenalan yang peduli dengan masalah kemanusiaan ini.
Beberapa teman jaringan menghubungkan dengan Kemenlu dan BP2MI pusat.
Dan saya pun kontak langsung juga namun jawabannya sudah saya duga sebelumnya. Karena statusnya PMI non prosedural, maka tidak mungkin Kemenlu akan memfasilitasinya. Sedangkan BP2PMI hanya bisa memfasilitasi jika jenazah sudah ada di wilayah Indonesia.
Penelusuran alamat
Setelah mengumpulkan tenaga dengan istirahat di shelter Dondres yang dipimpin oleh Romo Mikael Keraf CSsR. Pagi itu, saya langsung berpamitan melanjutkan perjalanan ke Lewa untuk kunjungan keluarga yang berduka.
Pater,meminjamkan mobilnya untuk mengantar saya ke desa Lia ha, perjalanan dari Tambolaka ke desa Lia Hau memakan waktu sekitar empat jam.
Sebelumnya, saya menghubungi salah seorang pendeta dari Gereja Kristen Sumba yang bertugas di klasis Lia Hau. Selain itu, saya menghubungi petugas BP2MI Waingapu sebagai wakil pemerintah.
Saya pikir ini akan lebih efektif dalam memperoleh keterangan yang akurat dan terpercaya dari keluarga yang berduka.
Perjumpaan dengan keluarga
Sesampai di kampung, kami disambut hujan gerimis, keluarga pun menyambut kami dengan seribu pertanyaan yang ada dipikirannya. Pembicaraan yang hangat tersebut diawali oleh pendeta dan langsung memperkenalkan kami dan memberitahukan maksud kedatangan kami.
Tak panjang lebar saya pun langsung berbicara pada pokok persoalannya yaitu mengali informasi almarhum Rambu Tia.
Isi komunikasi simpang siur
Informasi dari keluarga saat itu, sebelum meninggal, almarhumah tinggal bersama kakak kandungnya.
Pada siang hari -tidak diceritakan tanggal berapa- mereka makan bersama dengan daun pepaya, setelah beberapa jam kemudian almarhumah telah ditemukan di kamarnya pingsan. Dengan mulut berbusa.
Saat itu, kakaknya membawa ke rumah sakit dan ditinggal begitu saja. Kemudian ia memberi informasi keluarganya yang di kampung bahwa Rambu meninggal dunia dan melahirkan seorang bayi perempuan.
Saat itu, kondisi bayi meninggal atau hidup tidak dijelaskan keberadaannya.
Keluarga berusaha minta foto bayi tersebut, namun kakaknya menjawab, tidak bisa karena dijaga ketat oleh polisi. Dan terakhir mengatakan bahwa rambu meninggal karena covid-19, namun beberapa hari kemudian kakak kandungnya minta dikirim uang 45 juta untuk biaya pemulangan ke Sumba.
Keluarga curiga kalau memang terkena covid-19 harusnya langsung dimakamkan. Maka keluarga tidak mengirimkan uang yang dimintanya, sedangkan untuk makan saja mereka mengaku susah.
Terakhir, kakak kandungnya meminta uang Rp 22 juta untuk proses pemakaman. Yang begini ini pasti tidak bener.
Karena marah, kakak kandungnya tidak memberikan kabar apa pun dan nomornya dinonaktifkan sampai saat ini.
Ada seseorang yang memberi kabar bahwa almarhum sudah dimakamkan. Keluarga sudah dua kali mengadakan ibadat syukuran pemakaman.
Perlu diketahui bahwa saat ibadat syukur, mereka pasti akan memotong babi atau kerbau sebagai kurban. Dan keluarga juga mengadakan doa penguburan dengan jam yang sama seperti diinstruksikan pada penelpon.
Ada juga seseorang yang menjanjikan bahwa tulang belulangnya akan dibawa ke kampung tahun 2022 nanti kalau dia pulang.
Mereka masih mengharapkan jika jenazahnya tidak bisa dipulang, maka pakaian bekas almarhum dan tulang belulangnya pun akan mereka tunggu.
Kekuatan doa
Dengan sangat hati-hati saya menjelaskan pada keluarga bahwa jenazah masih ada di rumah sakit sampai saat ini. Pihak KBRI tidak akan menguburkan jenazah tersebut kalau belum ada surat permohonan dari keluarga untuk penguburan di Malaysia.
Reaksi keluarga saat itu antara percaya dan tidak percaya.
Secara spontan, saya mengajak mereka berdoa bersama keluarga agar jenazah almarhumah bisa dipulangkan ke kampung.
Tuhan kasih penolong
Setelah berdoa saya juga menjelaskan bahwa kita harus punya pengharapan bahwa Tuhan akan mendengarkan doa-doa kita. Saya pun belum tahu uang dari mana untuk pemulangan jenazah tersebut.
Dalam situasi putus asa dan tiada harapan, satu-satunya harapan kita hanyalah Allah: “Kita angkat tangan dan Tuhan turun tangan“.
“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu (Mat 7: 7).
Setelah doa kami pun pamit pulang ke kita Waingapu. Kami menempuh perjalanan dari desa Lia Hau sampai Waingapu dalam waktu dua jam.
Sesampai dirumah saya langsung masuk kamar dan buka HP dan terkejut bahwa saya dapat WA katakana demikian: “Suster untuk dana pemulangan jenazah yang diperlukan sudah masuk ke rekening suster.“
Langsung saya mengucapkan puji syukur tak henti hentinya pada Allah. Setelah mandi saya langsung kontak jaringan di Kuala Lumpur untuk proses pemulangan Rambu Tia.
Menunggu dengan pasti
Sesampainya di Kupang, saya terus berkoordinasi dengan teman yang biasa mengurusi masalah pekerja migran di Keuskupan Penang.
Saat proses pemulangan seperti ini baik HP, pikiran dan hati saya selalu aktif, karena memang harus bergerak cepat terutama dalam mengumpulkan segala informasi yang benar.
Dari mulai mengumpulkan data keluarga, komunikasi dengan jaringan dan KBRI dan surat-surat pernyataan yang harus segera dibuat.
Apa lagi kasus yang sangat complicated dan berurusan dengan polisi.
Tiga hari setelah mulai mengurus proses ini saya dapat kabar bahwa bayinya sudah ketemu.
“Suster baby-nya sudah ketemu, tapi sudah meninggal.“
Saya langsung mengatakan bahwa langsung saja dijadikan satu dengan ibunya. Awalnya mau dipisah peti jenazahnya, namun berpikir mengenai biaya lagi karena menjadi dua peti dan harga kargo akan tambah mahal.
Maka dengan pertimbangan biaya tersebut, kita jadikan satu saja dengan ibunya. Meskipun harga kargo naik tapi tidak semahal kalau dua peti jenazah. Setelah semua selesai dokumen, maka segera pesan kargo jenazah tersebut.
Kami yang di Indonesia termasuk keluarga mendapat berita yang pasti dan akurat kalau almarhum akan tiba di kampungnya.
Menjemput dan mengantar
Siang itu, kami bersama TIM Kargo El Tari Kupang menunggu kedatangan pesawat Garuda 438 dari Jakarta. Sekitar pukul 13.00 WITA, pesawat mendarat di bandara El Tari Kupang, seperti biasanya kami menunggu dengan setia.
Barang-barang kargo yang lain keluar duluan, selang satu jam peti jenazah ditarik keluar. Setelah peti dipindahkan ke mobil ambulans kami pun langsung berdoa bersama, bersyukur bahwa jenazah sudah tiba di Kupang.
Setelah selesai berdoa jenazah langsung dibawa ke ruang jenazah Rumah Sakit Umum Kupang.
Seperti biasanya jenazah yang berasal dari luar Pulau Timor akan transit di Ruang Jenazah RSU Kupang sambil menunggu jadwal pesawat maupun kapal.
Seperti daratan Flores, Sumba, Rote dan Sabu akan transit. Jika jenazah berasal dari daratan Timor, maka akan langsung diantar menuju ke kampungnya.
Minggu siang, tepatnya tanggal 8 November 2020 yang lalu, saya bersama seorang teman berangkat ke Waingapu untuk menyerahkan jenazah ke keluarganya di kampung.
Biasanya saya sendiri tidak selalu mengantar jenazah ke kampung, keluarganya. Namun jika ada kasus tertentu saya akan berusaha mengantar dan menyerahkan langsung ke keluarganya.
Sesampai di Waingapu, kami langsung menuju ke desa Lei hau dengan menggunakan ambulans.
Kebiasaan saya jika mengantar jenazah pasti bersama almarhum di mobil ambulans. Jarak dari Waingapu ke desa tersebut ditempuh dalam waktu dua jam, sesampai di rumah duka jenazah langsung diserahkan oleh BP2MI dan Dinas Nakertrans Waingapu.
Perasaan yang muncul saat itu bercampur antara sedih dan bahagia karena dapat menghantar almarhum sampai ke kampung halamannya.
Saat itu, saya juga pesan pada keluarga sebaiknya cepat dimakamkan saja karena sudah terlalu lama. Maka setelah urusan adat selesai, esok harinya sekitar jam 16.00 waktu setempat jenazah tersebut dimakamkan secara Kristiani.
Meskipun keluarga besarnya masih banyak yang menganut Marapu, maka upacara pemakaman menjadi lebih singkat. Sedangkan kalau menurut adat di Sumba Timur ada yang lebih dari dua pekan baru dimakamkan.
Saya bersyukur pada Allah bahwa tanpa campur tangan Allah saya tidak berarti apa-apa, Kristus-lah yang bertindak di dalam dan melalui diri kita, entah kita mampu dan berhasil atau tidak berdaya dan mengalami kegagalan.
Bahwa Allah Sang Penyelenggara akan menyempurnakan karya-Nya.
Tua Providentia Pater Gubernat
Kupang, 14 November 2020
Berkah Dalem.
Sr. Laurentina SDP