TUHAN, sebenarnya aku sedang terpuruk. Sangat jengkel aku dengan diriku sendiri. Mengapa ditimpakan padaku seluruh kejelekan, sehingga citra diriku demikian buruk dan tak indah dipandang.
Pada saat seorang gadis hendak “ditembak” seorang cowok, selalu sahabat-sahabatnya menasihati dengan kalimat yang seolah bijak. “Hati-hati, jangan-jangan yang naksir kamu seorang buaya darat.”
Tuhan, aku selalu setia. Mengapa aku dijadikan lambang pribadi yang mengobral asmara dari satu perempuan ke perempuan lain?
Saat ada orang yang sedang menangis dan menumpahkan segala isi hati dan gelegak emosi, ia justru ditatap tanpa belas kasih. Sesamanya bergumam, “Ah, cuma air mata buaya.”
Tuhanku, mengapa aku dijadikan lambang kepura-puraan? Mengapa seolah-olah aku hidup dalam kemunafikan? Sebenarnya, ada yang lebih kejam memperlakukan aku. Aku dibuat lapar di kolam-kolam kecil.
Tak diberi makan berhari-hari. Dan ketika dilepaskan di Sungai Nil, aku dipaksa keadaan harus menelan anak-anak bayi Ibrani yang disembelih atas perintah Firaun.
Kenangan itu, tergores dan melukai hatiku amat dalam. Bagaimana aku harus berbelas kasih kepada para pemaksa itu?
Kepala dan mulutku yang menganga dengan taring tajam dikenakan di kepala manusia yang Engkau pilih jadi uskup Katolik di Amerika Serikat. Seolah mereka golongan yang ganas dan suka memangsa. Seolah tak ada setitik kebaikan pada mereka.
Tawar hatiku, Tuhan. Sulit aku melihat kebaikanku yang dilupakan. Di restoran-restoran Australia, tersaji dagingku yang putih dan renyah.
Di butik-butik metropolitan gemerlap dan rumah para perempuan super kaya, kulitku mereka pakai. Tapi, apalah aku ini.
Selalu nampak buruk. Apa yang ada dan kulakukan seolah tanpa keindahan.
Aku cuma minta: pulihkanlah citraku.