SUATU kali saya bertemu Mbak Inayah Wahid saat Haul Gusdur di Ciganjur. Dia berkomentar, “Wah, Romo ini seperti Tuhan Yesus, rambutnya gondrong”.
Tetapi waktu saya merayakan misa Natal di Paroki Baturetno, tempat asal saya. Para misdinar “ngrasani” (membicarakan saya dengan bisik-bisik, tapi saya bisa mendengar), “Romonya gondrong kayak Linbad,” kata Romo Aloys Budi Purnomo saat misa di tengah-tengah Timja HAK Kevikepan Semarang dan Solo beberapa waktu lalu.
Dia menambahkan, “Di kalangan orang hebat seperti Inayah Wahid, saya dibilang mirip Tuhan Yesus. Eh… malah di kampung sendiri, saya dibilang mirip Linbad. Orang luar sangat menghargai, di kampung sendiri malah tidak dianggap apa-apa.”
Yesus pulang ke tempat asalNya, Nasaret. Ia mengajar di rumah ibadat. Orang-orang takjub, kagum mendengarnya.
Namun mereka kecewa ketika mengetahui latar belakang Yesus. “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria? Bukankah Ia saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudaraNya perempuan ada bersama kita? Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.
Yesus berkata, “Seorang nabi dihormati dimana-mana kecuali di tempat asalNya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya”.
Maka Yesus tidak mengadakan satu mukjizat pun di sana.
Kagum dan takjub saja tidak cukup. Orang diminta membuka hati untuk percaya. Imanlah yang menentukan terjadinya mukjijat. Tanpa iman, orang hanya kagum, takjub dan berhenti di situ. Sesudah itu tak terjadi apa-apa.
Sama dengan orang yang sering ziarah ke Lourdes, Fatima, Vatikan. Mereka hanya kagum dan takjub. Tetapi sesudah pulang tak terjadi perubahan apa-apa dalam hidupnya.
Yesus tidak membuat mukjizat di Nasaret karena mereka tidak beriman kepadaNya. Hati mereka berhenti pada kagum, tidak sampai beriman.
Melihat bintang di langit biru
Sambil mendendangkan sebuah lagu
Aku sangat mengagumiMu
Namun Engkau lebih mengasihiku.
Berkah Dalem,