SETIAP pagi , almarhumah Ibu Hardjadisastro dan almarhumah Bu Tatik selalu mengikuti misa pagi di Gereja Gubug Sedayu. Rumah beliau dengan gereja berjarak sekitar 2 km melalui rel kereta api yang melintas di tengah persawahan desa.
Hari masih gelap, beliau berdua sudah berjalan kaki menuju gereja. Bahkan kadang pintu gereja belum dibuka pun, beliau-beliau ini sudah siap di depan gereja.
Suatu kali hujan terus mengguyur pagi itu. Peserta misa hanya ada 6 orang yakni 2 bruder, 2 suster dan kedua ibu yang setia itu. Para bruder dan suster langsung pulang ke biara. Tetapi kedua ibu itu masih berdiri di depan gereja menunggu hujan reda.
Saya mengeluarkan mobil dari pasturan dan mempersilahkan kedua ibu itu masuk ke dalam mobil. Saya mengantar sampai di depan rumah di Sedayu.
Dengan sangat takzim Bu Sastro meminta saya singgah untuk minum teh hangat sebentar. Tetapi dengan sopan saya menolak dengan alasan mau melanjutkan perjalanan ke kota.
Kisah kecil ini sering diceritakan Bu Sastro kepada ibu-ibu di lingkungan. Saya kadang merasa jengah karena sebagai orang muda sudah seharusnya menolong yang sudah “sepuh” (tua).
Orang kusta dalam bacaan Injil ini menunjukkan betapa gembiranya sudah disembuhkan. Kita bisa masuk ke dalam pengalaman si Kusta. Bertahun-tahun disingkiri masyarakat. Dibuang dan divonis sebagai orang najis, berdosa di hadapan Tuhan.
Maka betapa sukacitanya saat Yesus berkata, “Aku mau, jadilah engkau tahir”. Seketika itu juga ia menjadi tahir, bersih, hilang kustanya. Sukacitanya melebihi orang mendapatkan lotre atau undian berhadiah milyaran rupiah.
Lalu ia lupa akan pesan yang disampaikan Yesus kepadanya. Bukannya membawa persembahan kepada imam sebagai bukti bahwa ia tahir, tetapi lari kesana kemari mewartakan siapa yang mentahirkannya.
Sepertinya ia tidak membutuhkan persyaratan legal dari seorang imam bahwa ia telah tahir. Yang pasti ia sudah sembuh, bebas dari belenggu yang selama ini mengekangnya.
Marilah berbuat baik. Sekecil apapun kebaikan itu akan dikenang sepanjang hidup bagi yang kita bantu. Kebaikan itu seperti bumerang, ia akan kembali kepada kita sebagai buah baik yang telah kita tanam. Kebaikan akan melahirkan kebaikan.
Ke Gunung Merapi jalannya menanjak naik
Ke puncak tak mampu terpaksa cari pintasnya
Janganlah bosan selalu berbuat baik
Suatu saat kita akan memetik buahnya
Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr