SEKARANG lagi hangat dibicarakan debat capres dan cawapres dalam rangka persiapan Pemilu bulan April mendatang. Tapi bolehlah kita mengingat kembali bagaimana masing-masing pasangan mencari calon wakilnya.
Waktu Jokowi ditanya pers siapa wakilnya, beliau memberi sinyal calonnya berinisial M. Orang mulai berspekulasi macam-macam. Lama tidak ada kejelasan, mereka bertanya lagi.
Pak Jokowi hanya menjawab santai, “Mbok Sabar”. Orang heboh bikin meme pasangan Jokowi – Mbok Sabar.
Orang Jogja tahu siapa Mbok Sabar.
Ketika Jokowi mengumumkan wakilnya adalah Ma’aruf Amin. Banyak pihak yang mempertanyakan.
Begitu pula sebaliknya, ketika Prabowo memilih Sandiaga Uno, banyak kelompok mempertanyakan kenapa tidak memilih mereka yang telah direkomendasikan oleh para ulama? Pasti mereka berdua sudah memiliki pertimbangan yang matang.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus memanggil Lewi anak Alfeus, seorang petugas cukai untuk mengikutiNya. Yesus lalu makan bersama di rumah Lewi. Tentu Saja Lewi mengundang juga teman-teman seprofesinya.
Pemungut cukai tergolong kelompok orang berdosa karena mereka dianggap mengabdi penjajah. Ahli Taurat dan orang Farisi mempertanyakan, mengapa Yesus memilih makan bersama dengan mereka? Jika Ia seorang Rabbi, mestinya tahu dan memilih dengan siapa bisa bergaul. Mereka bertanya, “Mengapa Gurumu makan bersama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”
Yesus menjawab, “Bukan orang sehat memerlukan tabib, tetapi orang sakit! Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa!” Yesus bergaul dengan siapapun. Dia tidak jaim seperti ahli-ahli Taurat yang pilih-pilih pertemanan. Mereka menganggap diri orang saleh, maka menjaga jarak dengan rakyat jelata. Mereka mengangkat diri orang suci, maka najis bergaul dengan kaum pendosa.
Muncul pengkotak-kotakan pergaulan. Yesus menembus cara berpikir ahli Taurat itu. Ia menerima siapapun juga kelompok masyarakat. Pergaulan Yesus terbuka luas dengan siapapun. Kaum kaya (Zakheus), kaum miskin (Lazarus), kaum marginal (kusta, lumpuh, buta, pelacur) semua diterima Yesus.
Merekalah yang membutuhkan pertobatan.
Budaya intoleran dimulai saat kita berpikir terkotak-kotak: saleh-kafir, suci-dosa, najis-tahir, kaya-miskin, benar-salah. Itulah gaya berpikir ahli-ahli kitab dan kaum Farisi. Yesus tidak menghakimi seperti itu.
Dia datang untuk menyelamatkan, menyembuhkan dan merangkul meraka yang sakit, lemah, terkucil dan berdosa. Di mata Allah semua orang sama.
Ada band namanya Naif. Ratu dangdut adalah Inul Daratista.
Mari kita berpikir inklusif. Karena semua adalah saudara
Berkah Dalem
Rm. A. Joko Purwanto Pr