Minggu Biasa XXX
Matius 22:34-40
MENGAPA sebuah dompet yang jatuh di kereta api cepat, Shinkansen di Jepang kemungkinan besar akan kembali kepada pemiliknya?
Karena orang Jepang berpikir, kalau dompet ini saya ambil, jangan-jangan pemilik dompet ini tidak punya uang lagi.
Dia pasti kebingungan bayar hutang, bayar listrik, bingung beli makan. Dia akan dimarahi oleh istri dan anak-anaknya.
Mereka bisa mati oleh perbuatan jahat saya ini.
Orang Jepang punya empati yang sangat tinggi. Maka, negaranya aman dan sangat maju karena warganya dididik sejak kecil punya empati.
Empati adalah sikap “memposisikan diri saya sebagai dia.”
Andaikan saya adalah dia yang sedang kebingungan, kesulitan atau mengalami kesedihan.
Itulah empati.
Orangtua, pimpinan atau tokoh yang dihormati memberi contoh kongkret kepada masyarakat. Misalnya, pimpinan yang ketahuan korupsi bunuh diri karena malu. Pejabat yang gagal akan mundur karena dia memakai cermin rakyatnya.
Wanita pulang malam terjamin keselamatannya, karena para pria berpikir, gimana kalau dia itu adik, anak atau isteri saya. Orang selalu menempatkan diri jika saya ada di pihaknya.
Dengan begitu rasa empati akan tumbuh.
The Golden Rule atau Aturan Emas atau Etika Timbal Balik adalah suatu bentuk empati. “Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.”
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”
Itulah perintah agung yang diajarkan Yesus.
Ajakan Yesus itu melampaui rumusan negatif yang diajarkan sebelumnya. Jangan melukai kalau kamu tidak ingin dilukai.
Yesus merumuskan secara positif dan aktif menjadi suatu tindakan kongkret kepada orang yang butuh pertolongan. Ia membuat contoh tentang orang Samaria yang baik hati.
Kepada ahli Taurat yang bertanya, Yesus berkata, “Pergilah, dan perbuatlah demikian.”
Yesus menekankan tindakan positif yang membawa manfaat bagi sesama, bukan sekedar menahan diri dari tindakan negatif yang merugikan orang lain.
Para supporter Jepang membersihkan sampah di stadion Rusia saat usai pertandingan piala dunia 2018.
Bukan hanya tim Jepang yang menang atas Kolombia, tetapi supporternya menarik simpati masyarakat dunia dengan tindakan bersih-bersih sampah itu.
Kegiatan seperti itu sudah dimulai sejak tim Jepang masuk ke Piala Dunia Perancis 1998.
Pasti mereka sudah punya habitus hidup bersih di negaranya. Tidak salah jika Jepang dianggap negara yang bersih dan disiplinnya tinggi.
Beda dengan di Indonesia, setiap kali demo, sampah berserakan di mana-mana, taman kota rusak, pos polisi dibakar, halte bus dan fasilitas publik hancur.
Mereka itu belum bisa membangun saja sudah pandai merusak. Tidak ada empati. Maka Walikota Surabaya marah-marah kepada pendemo.
“Kenapa kamu rusak kotaku, kenapa kamu gak rusak kotamu sendiri. Aku belain wargaku setengah mati,” seru Risma dengan suara bergetar kepada pendemo yang berasal dari luar kota.
Hal itu terjadi karena kita tidak punya empati dan “rasa handarbeni” sebagai warga bangsa.
Mari kita belajar berempati dan miliki “rasa pangrasa handarbeni.”
Ada lubang di cendela.
Bisa untuk mengintip matahari.
Kasih kepada sesama,
Adalah wujud kasih pada diri sendiri.
Cawas, La Puerta de Burgos….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr