ONTOSENO bertanya kepada Pandhita Durna, “Mbah, kamu itu pandita atau prajurit ta? Kalau Pandita-rohaniwan kok membawa senjata Kyai Cundhamanik? Kalau sudah niat jadi Pandita itu jangan bawa senjata, tapi berani meninggalkan hal-hal duniawi. Senengnya kok bawa gerombolan Kurawa demo di Negara Amarta. Pandita itu tugasnya membawa kebaikan kepada segenap makhluk. Kamu ke sini kok malah ngajak perang. Kalau kamu sungguh pandita, ayo sekarang perang tidak pakai senjata, tapi pinter-pinteran,”
Demikian tantang Ontosena. Durna ditantang mengajukan pertanyaan lebih dulu.
Ia bertanya kepada Ontoseno, “Padhange ngungkuli srengenge, akehe ngungkuli suket, petenge ngungkuli wengi, kuwi apa?” (Terangnya mengatasi matahari, banyaknya melebihi rumput, gelapnya melebihi malam itu apa?).
Ontoseno berhasil menjawab dengan tepat.
Sekarang Ontoseno balik bertanya kepada Durna, “Nur saka ndhuwur, jalma ngerah nyawa, sirna dalaning pati, apa artinya?”
Ternyata Pandita Durna tidak tahu jawabannya. Ia yang katanya pandita linuwih hanya “plonga-plongo” tak tahu apa-apa.
- Sekali lagi Ontoseno bertanya kepada Durno sambil menunjukkan kepalan tangannya, “Ini apa?”
- Jawab Durna, “Asta cempala.” Itu artinya tangan yang mengepal siap bertinju.
- “Kalau tangan gini jatuhnya dimana?” Durna menjawab tidak tahu.
- Tanpa dinyana-nyana, kepalan tangan Ontoseno langsung menghajar muka pandita yang sok pintar tapi sombong itu.
Yesus memperingatkan kepada murid-muridNya, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.”
Kita harus waspada terhadap orang-orang yang mengaku sebagai Durna-Durna zaman kini. Omongannya berbuih-buih mengutip Kitab Suci. Tetapi dari buahnyalah kita akan mengenali mereka. Kalau akhirnya terpeleset Kasus “Tiga Ta” (harta, tahta dan wanita).
Itu tandanya nabi palsu. Agama itu isinya nilai-nilai kebaikan. Tetapi ada oknum-oknum yang menyalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Kalau ada pandita tetapi mengajarkan kekerasan, perang, kebencian dan permusuhan, maka itu pandita yang tidak baik.
Itu seperti kisah Pandita Durna. Dia dihajar habis-habisan dan dipermalukan oleh kaum muda Amarta seperti Ontoseno dan Wisanggeni yang kritis dan berani.
Tidak mungkin pohon baik menghasilkan buah yang tidak baik ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Pengajaran Pandita Durna dapat dilihat dari buah-buahnya. Siapa pun kita akan dapat dinilai dari buah tutur kata dan tindakannya.
Naik loteng ke lantai tiga
Salah masuk ke kamar tetangga
Hati-hati dengan tutur kata kita
Akan dinilai dari buah-buahnya
Berkah Dalem.
Waduh…… ini wayang vwesi Jogja Romo. Lha kalau versi Solo; Pendita Durna itu Pendita yang benar-benar berhati mulia mengedepankan etika dan moral; oleh karena itu diangkat sebagai Guru Besar kerajaan Hastina yang bertanggungjawab terhadap pendidikan para putera kerajaan (Pandawa dan Kurawa). Versi Solo sesuai dengan pakem sebagaimana ditulis di kitab Mahabarata.
Saya bingung kok ketika hijrah ke Jogja wajah Pendita Durna diubah menjadi culas; bahkan terkadang melebihi sang provokator Sengkuni.
Saya tidak sepakat dan tidak rela bila Pendita Durna digunakan sebagai personifikasi keculasan-keculasan.
Jayatun
Umat Paroki Wedi – Klaten