Puncta 03.06.21
PW St. Carolus Lwanga dkk, Martir
Markus 12: 28b-34
SEBELUM bapak dipanggil Tuhan, ia minta supaya anak-anak semua berkumpul. Karena situasi pandemi, kami tidak bisa kumpul di rumah sakit. Hanya Romo Joko Susanto Pr (anak ke 2) dan Marta Andriastuti (anak ke 3) yang bisa ketemu bapak.
Saya minta mereka yang datang, karena mereka tinggal jauh di Palembang dan Lampung. Bahkan adik kandung saya, Romo Sus bisa memberi Sakramen Minyak Suci kepada bapak.
Setelah itu bapak memberi pesan dan nasihat kepada mereka. “Aja padha lali anggone sembahyang lan sing rukun marang sedulur mligine Ely lan Ratri direngkuh bareng.”
(Jangan lupa selalu berdoa dan rukun dengan saudara, khususnya Ely dan Ratri didampingi bersama).
Hari ini seorang Ahli Taurat datang kepada Yesus bertanya, “Perintah manakah yang paling utama?”
Yesus menjawab dengan mengutip Dekalog dalam Kitab Taurat.
“Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita itu Tuhan yang Esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.’ Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini.”
Bagi kami, pesan terakhir bapak itu adalah perintah utama dalam keluarga kami.
Tidak boleh melupakan sembahyang atau doa adalah ajakan untuk mengasihi Allah dengan segenap hati.
Bapak tidak hanya berpesan tetapi bapak memberi teladan. Kami masih ingat bapak dan ibu selalu berdoa tengah malam ketika kami nyenyak tidur.
Setiap minggu berboncengan naik sepeda ke gereja di Somokaton atau di Gereja Maria Assumpta Klaten yang jaraknya lebih dari sepuluh kilometer.
Satu sepeda dinaiki lima orang: bapak, ibu, saya, adik saya Romo Joko Susanto dan Tutik.
“Sing rukun marang sedulur” (hidup rukun dengan saudara) kami maknai sebagai mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri.
Saya bangga dengan bapak.
Ia mengasihi sesama dengan total.
Bapak membantu saudara-saudara bertransmigrasi ke Pasang Surut. Tinggal di sana sampai mereka hidupnya mapan.
Mengembangkan umat di sana sehingga imannya subur.
Bapak pernah bilang, “Aku senang benih iman yang ditanam di Pasang Surut mulai panen.”
“Kok bisa pak?” tanyaku.
“Lha sekarang sudah ada putera-puteri Pasang Surut yang jadi romo, bruder dan suster.” katanya dengan senyum yang mengembang.
Terimakasih bapak telah memberi wasiat dan teladan indah bagi kami.
Tidak ada gunanya perintah atau teladan itu jika tidak dilaksanakan.
Seperti penegasan Yesus kepada Ahli Taurat itu, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah.”
Tidak jauh itu berarti belum masuk. Mengapa belum bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah?
Karena ahli Taurat itu hanya mengulang kata-kata Yesus. Ia tidak atau belum melaksanakannya.
Semoga kami bisa melaksanakan perintah bapak, supaya besuk boleh masuk ke tempat bahagia yang sudah dialami oleh bapak dan ibu saat ini.
Cerah sekali sinar matahari.
Secerah senyum ibu Sridadi.
Mari kita lebih mengasihi.
Agar memperoleh hidup ilahi.
Banyuaeng, mimpi dipeluk ibu…