Punya Anak Sungguh Menyenangkan, Mendidiknya Melelahkan

0
343 views
Ilustrasi: Ibu dan anaknya. (Ist)

BAPERAN-BAPERAN

Kamis, 23 Desember 2021.

Tema: Bersyukur saja.

Bacaan

  • Mal 3: 1-4, 4: 5-6.
  • Luk. 1: 57-66.

MEMILIKI anak. Itulah salah satu harapan di dalam hidup perkawinan. Mereka meneruskan turun-temurun sejarah kebaikan dan keberlangsungan.

Itulah sejarah manusia yang paling manusiawi.

Gereja bersyukur atas keluhuran keluarga. Gereja mengajari bahwa punyai anak itu bukanlah satu-satunya alasan perkawinan.

Kalau demikian, bagaimana dengan mereka yang secara fisik lemah dan terbatas? Mungkin ilmu kedokteran bisa membantu.

Gereja tetap mengajari bahwa inti perkawinan justru terletak pada kesepakatan bersama lelaki dan perempuan untuk hidup bersama.

Kata “terbuka” berarti menerima dengan kegembiraan, bila Tuhan menganugerahkan.

Tetapi, tetap bersyukur dan menikmati sukacita berkeluarga, bila Tuhan tidak menganugerahkan. 

Kegembiraan dan kebahagiaan suami dan isteri ada dalam kebersamaan perjalanan mereka.

Kerjasama antara Allah dan suami-isteri di dalam ranah hidup bersama sebuah keluarga Katolik menjadi sebuah anugerah. Mereka melahirkan putera-puteri yang beriman kepada Allah.

Gereja selalu gembira menyambut setiap anak yang dilahirkan. Gereja selalu berterimakasih atas jerih payah orangtua dan kerepotan-kerepotan yang ditimbulkannya.

Gereja bergembira.

Kehadiran anak-anak merupakan anugerah istimewa bagi Gereja. Kegembiraannya terletak pada kasih Allah yang menemani, menghimpun umat-Nya mengarungi zaman dalam kesetiaan, kekudusan dan kerahiman Allah.

Aku anggota keluarga Allah. Dipersekutukan dalam kasih-Nya. Dihimpun di dalam Gereja-nya. Dikuduskan bagi kemuliaan-Nya.

Amazing. Aku dicintai tanpa batas.

“Halo, apa kabar?”

“Baik, Romo. Ayo masuklah.”

Mereka mengajak saya masuk. Rumah besar bersih dan tertata rapi. A sweet home, really.

Anak pertama laki-laki, saat itu sedang membantu toko orangtuanya.

“Wah koko hebat ya. Sudah bisa membantu papa mama.”

“Iya Romo,” jawabnya singkat, sederhana.

Saya lihat dua adiknya laki-laki sedang sarapan.

Yang menarik, mereka duduk berdekatan dan tidak ribut soal makanan. Masing-masing mempunyai makanannya sendiri. Dan menikmati.

“Aduh enaknya… lagi sarapan. Makan yang banyak ya. Biar cepat gede.”

 “Iya…,” sahut mereka sambil menganggukkan kepala.

Mereka memandangi saya sejenak.

Mereka melanjutkan breakfast-nya. Saya lihat mereka menghabisi makanan tanpa menyisakan sedikit pun di piring.

Saya percaya, orangtua mereka mengajari jangan sampai membuang makanan. Ambil secukupnya. Dihabiskan. Kurang, maka bisa ambil lagi.

Mereka akur.

Dan yang paling kecil, juga laki-laki sedang bermain. Yang menarik, baru pertama kali jumpa tapi dia tidak takut. Kadang-kadang mengajak main. Menyenangkan.

Kami pun duduk di teras belakang dan sejenak berbincang.

“Belum ada yang perempuan ta?”

“Enggak Mo, cukuplah sudah. Sungguh teramat capek.

Bukan mengeluh romo. Tapi waktu saya terbatas. Ini pun kadang-kadang merasa bersalah. Kurang bermain bersama anak-anak. Pagi harus urus toko. Kadang sampai malam. Anak-anak ingin bermain. Kalau saya ada waktu, saya usahakan. Tapi kalau capek, ya saya harus istirahat.

“Tambah dong satu lagi. Saya akan mendoakan untuk seorang puteri.”

“Iya, kalau perempuan. Kalau tidak?”

“Iya lagi.”

“Ih Romo ini. Segampang itukah? Bukan soal biaya. Soal memberi perhatian. Menemani pertumbuhan mereka dengan kasih dan perhatian. Mengajari dan bersama mereka tumbuh dalam keluarga. Butuh waktu, perhatian, hati dan kesabaran.”

“Sudah ditutupkah ‘pabriknya’?”

“Belum. Ini semua caesar lo. Sudah cukuplah,” katanya mantap.

Kan belum ada yang perempuan. Biasanya anak perempuan lebih care saat kita tua.

Sedangkan anak laki-laki pasti akan lebih menyayangi keluarganya. Wajarlah. Walau mereka tetap sayang dan hormat kepada orangtua.

Prioritas perhatian mereka pasti pada keluarganya sendiri.

“Iya sih. Demikian kata banyak orang. Yang terbaik sajalah. Semoga anak-anak baik dan menjadi anak Tuhan.”

“Ayo segera siap-siap. Sudah hampir pukul 10.00 loh untuk misa,” seru mamanya mengingatkan ekaristi via streaming.

“Hebat,” pujiku.

“Anak-anak kami dibiasakan tetap ikut misa melalui streaming,” jelasnya.

Lukas menulis, “Menjadi apakah anak ini nanti?” Sebab tangan Tuhan menyertai dia,” ay 66b.

Tuhan, cukupkanlah kami dengan rahmat-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here