Bacaan I: Yun 3:1-10
Injil: Luk 11:29-32
“DIA pulang setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita,” kata seorang ayah.
“Dia, anakku yang merasa kecewa dengan kami semua, lalu pergi seperti ditelan bumi,” kata ibunya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?,” tanyaku pada mereka.
“Tujuh tahun lalu, dia bertengkar dengan ayahnya soal calon yang kurang kami setujui,” kata ibunya.
“Lalu dia pergi, dan baru pulang saat ini bersama isteri dan anaknya,” kata ayahnya.
“Kami bersyukur bahwa mereka mau pulang dan masih menganggap kami orangtuanya,” kata ibunya.
“Siang malam kami berdoa demi kebahagiaan, keselamatannya,” kata ayahnya.
“Kepulangannya merupakan jalan yang panjang baginya, saya bisa merasakan bahwa dia harus mengalahkan rasa marahnya, rasa sesalnya, kesombongannya, ngengsinya,” kata ibu dengan penuh syukur.
“Saya tidak perlu kata-kata lagi, melihat dia mau pulang dan memeluk kami, itu sudah lebih dari seribu kata maaf,” kata ayahnya dengan sungguh.
Dalam Bacaan Pertama kita baca, “Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka; dan Ia pun tidak jadi melakukannya.”
Pertobatan terjadi bisa tanpa kata, namun dengan sikap dan keberanian mengalahkan ego diri untuk datang dengan niat yang baik.
Mau datang kepada orang yang pernah berkonflik dengan kita –meski tidak membicarakan masalah yang pernah ada– menjadi jalan rekonsiliasi dalam hidup bersama.
Kedatangan anak itu bersama isteri dan anaknya adalah tanda bahwa ketulusan hati dan doa-doa yang tulus tidak pernah sia-sia.
Orangtua mereka selalu berdoa dengan harapan sang anak sehat dan bahagia, penuh rezeki, telah mengetuk hati anak untuk pulang.
Pertobatan menjadi begitu sederhana, meski untuk itu harus melewati jalan panjang menundukkan kesombongan diri.
Masih adakah masalah yang kita hindari, hingga menjadi beban hati?