Yeh. 18: 21-28; Mzm. 130: 1-2, 3-4ab, 4c-6, 7-8; Mat. 5: 20-26.
MEMATUHI hukum yang tertulis itu baik dan terpuji. Tetapi tidak cukup. Kita jangan merasa puas dan seolah menjadi orang yang paling hebat, seperti anggapan kaum Farisi dan para ahli Taurat.
Sikap seperti itu dikecam oleh Yesus: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.” (Mat. 5: 20).
Ukuran kedalaman hubungan dengan Tuhan kalau hanya dilihat dari ketaatan pada hukum tertulis secara mutlak itu sama sekali tidak tepat. Sikap ini justru yang dimiliki oleh kaum Farisi dan ahli Taurat: Mereka mudah menghakimi orang lain hanya karena ia tidak menjalankan peraturan secara ketat dan harfiah seperti mereka.
Kita seyogyanya tidak terjebak dalam sikap yang legalistis verbal dan formal seperti itu.
Jangan membunuh
Dalam perikop Injil hari ini, dikisahkan bahwa Yesus melihat larangan untuk tidak membunuh itu baik, tetapi tidak cukup, terutama bagi para pengikut Kristus.
Dia mengajak kita untuk mempunyai dimensi dan wawasan baru dalam mematuhi suatu peraturan. Dia menginginkan agar sebagai pengikut-Nya tidak berhenti dan puas pada aturan “Jangan membunuh” saja, melainkan harus juga mempunyai “nilai lebih”, yaitu mampu melihat semangat yang terkandung dalam peraturan yang tertulis itu.
“Jangan membunuh” harus dilengkapi dengan suatu sikap penghormatan akan hak-hak pribadi seseorang, sikap membina persahatan, mau mengampuni serta ramah terhadap sesama.
Karena itu, jika kita masih menyimpan rasa marah, dendam dan keinginan untuk membuat suatu perhitungan kepada orang lain itu tidak beda dengan tindakan “membunuh”.
Jangan sembarang menuduh
Itulah sebabnya, Yesus sampai mengatakan: “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya, harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya ‘Kafir’, harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata ‘Jahil’, harus diserahkan ke dalam neraka yang bernyala-nyala” (ayat 22).
Sikap marah dan dendam serta memandang seseorang selalu dengan sudut pandang yang negatif – apalagi fitnat- tidak akan menyelesaikan suatu permasalahan. Malahan bisa menimbulkan masalah baru.
Mawas diri
Pada Masa Prapaskah ini marilah kita sering mawas diri: bagaimana sikap kita dalam mematuhi suatu peraturan publik, peraturan Gereja atau komunitas kita? Marilah kita perbaiki relasi kita baik dengan TUHAN, sesama maupun alam sekitar kita.
Nabi Yehezkiel dalam Bacaan Pertama, memberi andil besar bagaimana umat pada zamannya (dan juga masih relevan pada zaman digital ini!) memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan, agar memperoleh keselamatan kekal.
Sang Nabi menunjukkan keselamatan kita tidak bertama-tama ditentukan oleh perbuatan kita pada masa silam. Perilaku dan perbuatan kita yang baik pada masa silam akan kehilangan makna, jika pada saat ini tidak kita pertahankan dan kita hidupi lagi.
Sebaliknya, perilaku dan perbuatan jahat pada masa lalu bisa tidak diperhitungkan lagi, jika saat ini kita mulai berperilaku dan berbuat kebaikan.
“Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan, sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati” (Yeh.18: 26-28).
Masa Prapaskah ini suatu kesempatan emas buat kita untuk berbalik kembali kepada Tuhan, saatnya kita bertobat
Marilah kita pergunakan sebaik-baiknya.
Ya Yeus, arahkanlah hidupku selalu pada Hukum Kasih-MU. Biarlah aku setia dan taat pada Hukum-MU itu.
Ampunilah aku sebab tanpa sadar aku kerap tidak mau menerima orang lain yang memiliki masa kelam di masa lalunya. Amin.
Selamat beraktivitas. Selamat berpantang.
AMDG. Berkat TUHAN.