Puncta 27.09.23
PW. St. Vinsensius de Paul, Imam
Lukas 9: 1-6
BELUM ada seorang imam yang bertugas di satu paroki lebih lama daripada almarhum Rama Ambrosius Adiwardaya Pr. Ia bertugas di Paroki Nanggulan selama 22 tahun.
Ia sangat menikmati tugasnya sebagai rama paroki desa, pinggiran dan jauh dari hiruk pikuk kota besar.
Ia akrab dengan umat, dicintai dan diterima semua kalangan. Pergaulannya luas dan supel dalam membawakan diri. Ia senang menolong orang-orang yang sedang mengalami kesusahan.
Banyak orang dicarikan pekerjaan di kota-kota besar. Mereka yang putus sekolah dibantu agar bisa melanjutkan studynya. Ia bikin sekolah untuk anak-anak yang drop out.
Pastorannya tidak pernah sepi, karena banyak orang yang datang minta dibantu. Ia punya hati bagi umat yang sedang berbeban kesulitan, pun pula mau mendengarkan rekan-rekan imam yang bermasalah.
Ada teman imam yang keluar terus dibantu untuk bisa hidup mandiri dan berhasil.
Kepeduliannya sangat besar terhadap orang kecil dan menderita. Hatinya sangat terbuka untuk menerima siapa pun.
Ia siap membantu sekuat tenaga demi keberhasilan orang lain. Berada di dekatnya berasa tenang, damai, dihargai dan dicintai.
Membayangkan Rama Adiwardaya seperti menghadirkan kembali hidup dan semangat Santo Vinsensius de Paul (1581-1660).
Ia dikenal sebagai pembaharu dalam Gereja Katolik dan dijuluki “Bapak bagi Kaum Miskin.” Pastor desa dan pinggiran.
Vinsensius adalah tipe pastor desa yang suka “blusukan” berkunjung ke umat yang miskin dan sederhana.
Ia pribadi yang tidak lupa akan asal usulnya. Ia berasal dari keluarga miskin dan ditahbiskan untuk melayani yang miskin.
Ada lho gembala yang lupa asal usulnya. Bagaimana Gereja mau dekat dengan orang miskin, kalau gaya hidup para imamnya glamor dan elite, bangunannya megah dan fasilitasnya top executive?
Kita mesti kembali pada semangat hidup Santo Vinsensius. Spiritualitasnya menginspirasi Suster Teresa dari Kalkuta untuk melayani orang-orang miskin.
Karya Gereja akan relevan dan signifikan jika sungguh-sungguh berpihak pada yang kecil dan miskin. Jika tidak, bersiaplah Gereja akan ditinggalkan orang.
Kita diingatkan kembali akan perutusan Yesus kepada para murid-Nya; “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju.”
Beranikah kita lepas bebas dan mengandalkan penyelenggaraan Tuhan semata? Marilah kita renungkan bersama.
Pergi ke mall ingin membeli jas,
Bayarnya harus pakai uang kertas.
Jadi gembala pengin popularitas,
Belum kerja sudah minta fasilitas.
Cawas, belajar hidup seadanya