SAYA memang tidak minta lahir ke dunia menjadi orang Tionghoa bermata sipit atau orang Papua, atau Italia. Saya tidak minta lahir dengan mata biru atau sipit atau yang lain.
Ketika lahir di dunia, aku sudah ditentukan demikian sebagai bayi bermata sipit lahir dari rahim seorang ibu bernama Ny. Tjan Swan Nio dan seorang ayah bernama Bah Liem Ing Lian, yang sudah bertahun tahun lahir dan tinggal di Kampung Kepanjen, Balong, Solo
Aku dan saudara-saudara, kita semua harus menerima diri apa adanya, dilahirkan di bumi Indonesia sebagai ciptaan Allah yang bermartabat.
Allah sudah mengatur hidup manusia di dunia dengan situasi dan keadaan bumi tempat tinggal manusia. Di sinilah aku berpijak dan menjunjung tinggi bumi, tanah air Indonesia yang kaya raya, beragam etnis, adat budaya
Cinta Tanahair dengan segala kekayaan budaya. Cinta tidak peduli kita orang Cina dengan mata sipit, atau orang Ambon berkulit hitam. Atau orang Jawa yang terlalu nrimo sekalipun. Kalau cinta, ya cinta. Titik. (Dyah Prameswarie, penulis Indonesia)
Saat ini aku sadar dan disadarkan bukan lagi saatnya memperbincangkan nasionalisme sempit. Aku memang lahir sebagai Orang Tionghoa di Solo, warga negara Indonesia yang secara politik dan hukum dilindungi oleh negara, dengan tetap membawa identitas fisik “mata sipit”.
Mantra “Bhinneka Tunggal Ika” yang dahulu hanya berlaku bagi suku bangsa pribumi sudah mencair dengan masuknya Tionghoa ke dalam kebinekaan itu.
Hari Raya Imlek yang secara resmi menjadi hari libur nasional menjadi bukti nyata negara untuk makin memperkaya budaya Indonesia.
Hak berbudaya sudah dijamin negara, tinggal kemudian kewajiban semua kultur yang ada untuk bergotong-royong dan bekerja sama memajukan Indonesia.
Bakti dan persaudaraan
Sebagai ungkapan rasa bhakti (hauw) aku, Liem Tjay, sebagai anak terhadap orangtua dan leluhur, yang telah melahirkan dan membesarkan aku di Tanahair Indonesia serta Tuhan Allah yang memilihku sebagai pastor; maka aku memberikan salam hormat “Bai-bai” dengan membungkuk tiga kali: yi jugong, zai jugong, san jugong.
Nabi Kong Hu Cu berkata: “Berbakti bila di dalam keluarga, dan jaga persaudaraan bila di luar. Hati Hati dalam ucapan dan sikap, kasihi sesama dan dekati yang berkebajikan bila masih bisa, banyaklah belajar.”
Tepian Serayu, Banyumas
Capgomeh, 5 Februari 2023
Nico Belawing Setiawan OMI
Baca juga: Imlek Sudah Lewat, Huruf Cina “Fu” dan Pengaruhnya bagi Pastor Tionghoa (3)
mantab romo ?