Rekonsiliasi

0
320 views
Ilustrasi: (Ist)

Renungan Harian
Selasa, 14 September 2021
Pesta Salib Suci

Bacaan I: Bil. 21: 4-9
Bacaan II: Flp. 2: 6-11
Injil: Yoh. 3: 13-17
 
“ROMO, mohon maaf, kami minta tolong romo untuk menghubungi isteri kakak saya. Sekarang, kakak saya sakit parah dan sudah tidak bisa apa-apa lagi.

Sekarang bicaranya sudah ngelantur. Dan yang selalu disebut adalah nama isteri dan anak-anaknya. Beberapa kali dia minta kami menghubungi isteri dan anak-anaknya; keinginannya sebelum meninggal ingin minta maaf pada isteri dan anak-anaknya.

Kami sudah beberapa kali menghubungi, tetapi ditolak. Dan akhir-akhir ini kami malah sudah tidak bisa menghubungi lagi.

Jadi mohon romo, kiranya romo bisa menghubungi isteri kakak,” seorang ibu yang didampingi suaminya meminta tolong.
 
Saya agak keberatan untuk dimintai tolong. Itu karena saya tahu persis bagaimana isteri dan anak-anaknya punya trauma dan luka yang amat mendalam karena perilaku bapak itu.

Tetapi di lain pihak, saya juga akan merasa bersalah dan tidak pantas kalau menolak permintaan ibu itu.

“Ibu, bapak, sejujurnya saya amat keberatan untuk mengabulkan permintaan ibu. Saya amat khawatir kalau permintaan ini akan merobek luka yang mulai tertutup, dan itu pasti akan lebih menyakitkan.

Ibu dan bapak tentu ingat peristiwa satu tahun yang lalu.

Kejadiannya persis seperti sekarang. Ibu datang minta tolong, karena kakak sudah sakit parah ingin meminta maaf dengan isteri dan anak-anaknya.

Ibu ingat apa yang terjadi? Alih-alih minta maaf, kakak ibu justru melampiaskan emosi dan kemarahannya kepada isteri dan anak-anaknya.

Kakak ibu, dengan kata-kata kasar memaki dan mencela isteri dan anak-anaknya; ia merasa diri sebagai orang yang benar dan harus dibenarkan.

Maaf ibu.

Ibu adalah juga seorang perempuan, juga seorang isteri dan ibu.

Ibu juga tahu persis kelakuan kakak ibu seperti apa. Jadi, ibu pasti mengerti luka dan trauma yang dialami isteri dan anak-anaknya,” jawab saya menanggapi permintaan ibu itu.
 
“Romo, kalau sekarang rasanya kakak saya tidak mungkin berlaku seperti dulu lagi. Bahkan untuk ngomong pun sekarang sudah amat lemah,” ibu itu mencoba meyakinkan saya.

“Baik ibu, saya akan menghubungi kakak ipar ibu. Namun seandainya tidak mau, maka saya mohon maaf,” jawab saya.
 
“Romo, saya akan membawa anak-anak untuk menemui suami di rumah sakit,” jawab ibu, isteri dari bapak yang sedang sakit.

Saya amat terkejut dengan kesediaannya itu.

“Ibu yakin akan pergi ke sana? Dan ibu tidak apa-apa?” tanya saya meyakinkan.

“Betul Romo, saya yakin. Memang perasaan yang muncul ada kekhawatiran, cemas dan takut mungkin ini rasanya di Taman Getsemani. Kami siap kalau harus mengalami peristiwa seperti waktu itu.

Kalau peristiwa  tahun lalu saya anggap salib, maka kami siap untuk menanggung salib yang baru.

Syukur-syukur salib yang saya pikul itu menjadi berkat dan bekal kehidupan kekal untuk suami saya,” ibu itu menegaskan.
 
“Luar biasa, iman ibu ini,” kata saya dalam hati.

Kesediaan dan kerelaan ibu itu untuk bertemu dengan suaminya yang selama ini telah menggores-ngores luka dan ada kemungkinan menggores luka lebih dalam lagi.

Bagi saya, itu adalah bentuk meninggikan salib Kristus dan mengalirkan rahmat salib.

Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes: “Demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”
 
Bagaimana dengan aku?

Dengan cara apa aku meninggikan salib Kristus?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here