Minggu Biasa XIV
Bacaan I: Za. 9: 9-10
Bacaan II: Rom. 8: 9.11-13
Injil: Mat. 11: 25-30
BEBERAPA tahun yang lalu, sepasang suami isteri datang menemui saya. Pasangan ini sudah 20 tahun menjalani hidup perkawinan. Pasangan ini saya lihat sebagai pasangan yang harmonis, dan ideal. Banyak dari teman-teman mereka juga melihat bahwa pasangan ini pasangan yang harmonis dan ideal. Mereka sudah dikarunia dua orang anak, yang sudah beranjak besar. Pasangan ini aktif dalam kegiatan, baik di paroki maupun di lingkungan.
Dalam perjumpaan itu mereka mengatakan pada saya, bahwa mereka ingin bercerai. Seandainya karena aturan Gereja mereka tidak boleh cerai, minimal mendapatkan izin untuk berpisah.
Mendengar apa yang mereka katakan, saya amat terkejut, ada setan apa, kok pasangan yang baik ini tiba-tiba ingin bercerai.
Mereka bercerita sebagai berikut:
“Romo, hidup perkawinan kami semakin hari semakin hambar dan penuh keributan. Dalam kehidupan kami tidak ada masalah orang ketiga, keempat, kami baik-baik. Tetapi kami tidak tahan kalau begini terus.”
Dalam pembicaraan dengan keduanya secara terpisah, saya mengerti mengapa mereka memutuskan untuk berpisah. Pasangan ini dua-duanya, mempunyai konsep tentang dicintai yang selalu dipegang teguh. Kalau suami mencintai istri berarti harus selalu ada untuk istri. Oleh karenanya mereka masing-masing tanpa sadar membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi. Sehingga ketika merasa peraturan itu tidak dipatuhi maka akan terjadi keributan; yang satu mengadili, yang satu membela diri.
Bahkan hal-hal yang dahulu dilakukan karena cinta dan perhatian, sekarang menjadi aturan yang dituntut. Misalnya saat makan siang memberi kabar, ketika lupa tidak memberi kabar maka akan menjadi keributan besar.
Dua-duanya merasa hidup di antara banyak ranjau. Hidup selalu dalam bayangan ketakutan salah dan menimbulkan keributan. Dan yang menurut saya agak konyol dan dirasakan juga oleh mereka adalah “peraturan-peraturan” itu tidak tertulis, dan tidak konsisten tergantung “mood” masing-masing.
Misalnya ketika dua-duanya lagi sibuk seharian sehingga tidak sempat berkabar tidak masalah akan saling mengerti tentang kesibukan masing-masing. Akan tetapi ketika yang satu sibuk dan yang satu sedang tidak sibuk, ketika yang sedang sibuk tidak sempat berkabar, maka terjadi keributan.
Demikian selalu terjadi.
Dua-duanya selalu ngomong seharusnya begini, seharusnya begitu. Masing-masing hidup dengan konsepnya masing-masing dengan aturan masing-masing yang semua tidak jelas. Karena terbelenggu dengan konsep masing-masing dengan “seharusnya-seharusnya” mereka tidak merasakan dan menikmati cinta diantara mereka.
Cinta yang dahulu berkobar-kobar sekarang redup, bahkan menghilang karena mereka bertutur dan bertindak sekedar agar tidak menginjak ranjau.
“Buang konsep-konsep itu, hilangkan “seharusnya-seharusnya” itu, hilangkan peraturan-peratuan itu, sekarang rasakan perhatian dan cintanya, nikmati itu. Belajar untuk menerima dan menikmati jangan menuntut.”
Pesanku pada mereka.
Pasangan ini terbelenggu dengan “kuk” berupa aturan-aturan sehingga tidak bertindak dengan cinta dan tidak mengalami cinta.
Dalam hubungan dengan Tuhan, aku juga sering terjebak dengan konsep-konsep dosa- tidak dosa, hukuman dan neraka, seharusnya begini, seharusnya begitu. Sehingga hubunganku dengan Tuhan sekedar mematuhi aturan agar tidak dosa, tidak masuk neraka.
Tidak ada hubungan cinta. Aku tidak merasakan cinta Tuhan dan aku juga tidak mencintai Tuhan dengan seluruh rasaku.
Sabda Tuhan hari ini, sejauh diwartakan Matius mengingatkan kita, bahwa hubungan dengan Tuhan adalah hubungan cinta.
Dan cinta itu membebaskan, karena orang tidak terpaku pada peraturan dan tidak terbelenggu dengan konsep-konsep.
Semua dilakukan karena cinta sehingga yang ada adalah kerelaan dan kebahagiaan. “Sebab enaklah kuk yang Kupasang dan ringanlah bebanKu”.