Bacaan I: Hos. 10: 1-3.7-8.12
Injil: Mat. 10: 1-7
DI sebuah stasi, yang meliputi satu kampung, dimana semua warga kampung itu katolik, mengadakan pemilihan ketua stasi.
Ketua stasi, yang juga katekis di stasi itu sudah amat lama memegang jabatan sebagai ketua stasi, maka ia berharap ada warga stasi yang bersedia menggantikannya.
Ketua stasi lama meminta umat untuk mengusulkan satu nama yang akan dipilih menjadi ketua stasi yang baru. Entah bagaiman semua umat sepakat memilih seorang bapak untuk menjadi ketua stasi yang baru.
Bapak ini, hampir tidak pernah ikut kegiatan stasi, misa pun dia tidak pernah hadir. Di kampung itu bapak ini dikenal sebagai tukang mabuk, dan kalau mabuk menakutkan banyak orang karena kemana-mana selalu membawa parang.
Anak dan istrinya pun selalu hidup dalam ketakutan.
Alasan umat memilih bapak itu supaya bapak itu bertobat dan mau terlibat di stasi. Dan yang luar biasa atau bahkan aneh bapak itu mau menjadi ketua stasi. Karena dipilih umat secara aklamas,i maka Pastor Paroki mau tidak mau melantik bapak itu menjadi ketua stasi.
Setelah terpilih menjadi ketua stasi bapak itu tidak berubah, tetap suka mabuk. Setiap hari minggu, pagi-pagi dia akan keliling kampung dengan berjalan oleng membawa parang, berteriak-teriak menyuruh warganya pergi ke kapel.
Kalau ada warga yang tidak pergi maka dia datangi rumahnya dan menyuruh warganya pergi ke kapel sembari memukul-mukulkan parangnya ke tiang rumah warga itu.
Sejak bapak itu menjadi ketua stasi, kapel selalu penuh, semua warga ikut ibadat atau perayaan ekaristi. Kegiatan stasi selalu diikuti semua warga. Tentu hal itu terjadi karena semua takut. Tetapi bapak itu tidak pernah masuk dalam kapel, dia selalu di halaman berdiri dengan parangnya mengawasi umat.
Stasi yang awalnya sepi, umat sedikit yang datang ke kapel, sekarang kapel selalu penuh, dan menjadi stasi yang aktif dengan banyak kegiatan. Tentu peran katekis yang memimpin dan menyelenggarakan kegiatan, sedang ketua stasi menggerakkan warganya.
Suatu saat Pastor berkunjung ke rumah bapak ketua stasi itu. Pastor berterima kasih karena sejak bapak itu menjadi ketua stasi, semua umat selalu ikut ibadat atau misa dan terlibat dalam kegiatan stasi.
Stasi menjadi hidup dan aktif. Pastor kemudian meminta agar bapak itu tidak mabuk lagi, dan mulai ikut ibadat dan misa di dalam kapel, tidak di luar seperti selama ini terjadi.
Bapak itu menjawab: “Pastor, sejak saya dipilih menjadi ketua stasi, saya sudah tidak pernah mabuk lagi, saya sudah tidak pernah menyentuh minuman keras lagi. Sekarang keluarga saya damai dan anak-anak tidak takut lagi dengan saya. Pastor, kalau saya selama ini masih kelihatan mabuk, sebenarnya saya pura-pura, biar umat takut dan mau ke kapel dan ikut kegiatan stasi.”
Mendengar itu Pastor tertawa dan bersyukur.
Melihat pengalaman di atas saya semakin diteguhkan dengan karya Allah yang luar biasa. Allah memilih seseorang menjadi alatnya bukan karena kemampuan dan kehebatannya. Allah memilih karena Ia menghendaki.
Dan dia yang dipilih akan dilengkapi dengan kuasa dan sarana agar karyaNya dapat terlaksana. Satu hal yang dibutuhkan dari seseorang adalah kesediaannya.
Dalam banyak pengalaman ketika seseorang ditawari untuk terlibat dalam pelayanan sering menjawab tidak pantas, tidak mampu dan semacamnya.
Pertanyaannya adalah benarkah jawaban itu sebagai bentuk kejujuran diri dan kerendahan hati atau sebuah penolakan yang halus?
Atau karena begitu mengandalkan diri sendiri dan lupa akan Tuhan yang akan melengkapi?