Renungan Harian 11 September 2020: Prodiakon

0
620 views
Ilustrasi: Pelayanan membagikan komuni suci untuk kaum lansia.


Bacaan I: 1Kor. 9: 16-19.22b-27
Injil: Luk. 6: 39-42
 
BAPAK sepuh yang satu ini selalu menarik perhatian saya, sejak saya bertugas di sebuah paroki. Beliau setiap hari selalu mengikuti misa harian di pagi hari. Terlebih misa hari Minggu, beliau bisa mengikuti misa lebih dari sekali.
 
Kami mengenal beliau sebagai prodiakon paroki. Meski banyak prodiakon di paroki, akan tetapi yang mempunyai sebutan “Bapak Prodiakon” hanya beliau. Sehingga bila ada orang menyebut “Bapak Prodiakon” sudah dapat dipastikan yang dimaksudkan adalah beliau.
 
Hidup beliau sungguh-sungguh diabdikan untuk pelayanan di gereja. Hampir setiap hari, setelah misa pagi beliau mengirim komuni untuk orang-orang sakit atau yang sudah sepuh.

Sore hari, beliau menemani lingkungan-lingkungan yang mengadakan pertemuan; atau menemani kelompok yang mengadakan kegiatan devosional.

Kalau ada umat yang meninggal beliau akan mengurus semua dengan baik.
 
Bagi saya, beliau adalah sosok pelayan yang luar biasa. Bahkan beliau melebihi pastor paroki.
 
Pernah suatu kali ketika kumpul-kumpul dengan bapak-bapak ada seorang bapak yang bertanya: “Pak, hidup bapak itu sungguh-sungguh untuk pelayanan, apa yang bapak peroleh dari pelayanan itu?”

Belum sempat bapak itu menjawab, ada bapak lain sudah menjawab: “Ya, hidup kekal lah. Kan pelayanan itu mengumpulkan harta surgawi.”

Bapak lain menyeletuk: “Ya kalau ada surga kalau nggak ada gimana?”

Ger semua tertawa.
 
“Sebentar, jangan ditanggapi dulu, biar Bapak Prodiakon yang menjawab,” selaku menengahi.

Bapak Prodiakon itu diam tampak berpikir untuk menyusun kata.

Beliau lalu menjawab: “Waduh saya bingung, apa ya yang saya dapat? Apa yang saya terima dengan pelayanan ini, ya berkat sehingga saya bisa melayani. Maksud saya bahwa saya boleh melayani ini sudah berkat bagi saya.”

Kami semua sontak terdiam, mendengar jawaban beliau. Seolah-olah kami diajak untuk memahami rahmat itu. “Wow luar biasa,” kataku dalam hati.
 
Mendengarkan jawaban Bapak Prodiakon itu menjadikan saya seperti tertampar. Apa yang diperoleh seorang pelayan bukan materi atau janji akan Kerajaan Surga. Tetapi rahmat menjadi pelayan itu sendiri.

Aku lalu menyadari keterpilihanku menjadi seorang pelayan adalah rahmat besar. Jadi ketika aku menjalankan kegiatan pelayanan adalah wujud syukurku atas keterpilihanku menjadi pelayan.
 
Kiranya itulah yang dialami Santo Paulus sebagai Rasul, sebagaimana dituliskan dalam surat kepada umat di Korintus: “Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita injil.”
 
Bagaimana dengan aku?

Betapa memalukan ketika dalam pelayanan aku memikirkan apa yang aku dapat lewat pelayanan ini; sementara menjadi pelayanan adalah rahmat besar bagiku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here