Renungan Harian 13 Agustus 2020: Pengampunan

0
642 views
Ilustrasi -- Sungkeman di Hari Raya Lebaran untuk saling bermaaf-maafan - ist


Bacaan I: Yeh. 12: 1-12
Injil: Mat. 18: 21-19: 1

PADA waktu saya masih kecil, setiap kali Hari Raya Idul Fitri, kami sekeluarga akan mengunjungi saudara-saudara yang lebih tua. Pada masa itu, seingat saya, kunjungan itu bukan sekedar untuk mengucapkan selamat berlebaran. Akan tetapi lebih dari itu untuk bermaaf-maafan. Sebagaimana biasanya, maka yang muda akan mendatangi yang lebih tua.
 
Saya masih ingat pada masa itu, kami yang muda akan sungkem dengan berlutut sedang yang lebih tua akan duduk di kursi.

Saya akan mengatakan: “Ngaturaken sembah pangabekti, lan nyuwun pangaputen awit saking sadaya kalepatan kula.” (Saya menghaturkan hormat bakti dan mohon ampun atas segala kesalahan saya).

Kemudian yang lebih tua akan menjawab: “Padha-padha ya ngger, wong tua ya akeh keluputane, muga-muga kabeh linebura ing dina riyaya iki.” (Sama-sama nak, kami orang tua juga banyak kesalahannya, semoga terhapuskan semua di hari raya ini).
 
Lepas dari bahwa itu tradisi sehingga apakah benar memaafkan atau tidak bukan itu poinnya akan tetapi kata-kata yang terucap adalah kata-kata yang indah dan sarat makna.
 
Mereka yang meminta ampun mendahului dengan menyampaikan hormat dan bakti. Artinya ada pengalaman kasih dan hormat yang hidup dalam dirinya. Sehingga memohon ampun tidak lepas dari sikap hormat dan kasih yang hidup dalam dirinya; dan berharap dengan ampunannya tidak menghilangkan kasih dan hormat yang hidup dalam dirinya.
 
Beliau-beliau yang memberi ampun menerima permohonan ampun dengan penuh kasih.

Beliau-beliau yang memberi ampun tidak meletakkan diri sebagai orang yang benar, orang yang menuntut dan pengadil akan tetapi meletakkan diri sebagai orang yang banyak melakukan kesalahan.
 
Dalam pengalaman, kesulitan mengampuni karena saya merasa benar berhadapan dengan orang itu.

Dan saat saya merasa benar berhadapan dengan orang yang minta ampun, saya merasa bahwa diri saya tidak pernah salah.

Artinya rasa sebagai orang benar menutup kenyataan bahwa saya sudah berkali-kali (tak terhitung) membuat kesalahan dan mendapatkan pengampunan.
 
Selanjutnya saat saya merasa benar yang ada dalam diri saya hanyalah keinginan untuk menuntut dan mengadili bahwa dirinya salah.

Kehendak yang demikian menutup pengalaman kasih dengan kebencian yang menggelora.
 
Sabda Tuhan sejauh diwartakan Matius mengingatkan saya bahwa pengampunan itu tak terbatas sebagaimana aku telah lebih dahulu menerima pengampunan yang tanpa batas.

Maka kemampuanku mengampuni bergantung pada kesadaran diri akan banyak kesalahan yang telah kuperbuat dan begitu banyak pengampunan yang telah kuterima.
 
Andai aku tidak pernah menerima pengampunan maka aku tidak dapat memberi ampun karena aku pasti telah ditiadakan oleh mereka yang padanya aku berbuat salah.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here