Bacaan I: Yeh. 16: 1-15.60.63
Injil: Mat. 19: 3-12
SEORANG bapak tua, yang sudah nampak rapuh, duduk berjemur di taman sebuah panti jompo. Setiap pagi bapak itu keluar kamar, berjalan menggunakan tongkat dan duduk berjemur di halaman itu. Dia duduk diam, tatapannya kosong, dan nampak sedang memikirkan sesuatu, sehingga semakin menampakkan kerutan di wajahnya.
Beliau kalau sedang duduk berjemur seperti tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Disapa tidak menanggapi. Bahkan kalau ada orang lain yang duduk di sebelahnya, beliau akan pindah tempat duduk. Kalau pun tidak mendapat tempat duduk, beliau akan berdiri bertopang pada tongkatnya.
Para pengasuh di situ selalu mengatakan opa, kalau berjemur tidak mau diganggu. Beliau tidak marah, tetapi menyingkir. Seolah mau mengatakan pada semua bahwa dirinya ingin menikmati waktu itu untuk dirinya sendiri. Namun di luar waktu berjemur, beliau adalah sosok yang ramah dan murah senyum.
Menurut para pengasuh, bapak tua itu sesungguhnya orang yang hidup berkecukupan, bahkan termasuk orang yang berada.
Beliau punya rumah dan beberapa toko. Namun beliau tidak mempunyai anak. Maka beliau mengangkat anak.
Anak angkatnya ini tidak diasuh dari kecil, tetapi anak angkat ini adalah karyawannya.
Karena waktu ikut beliau masih kecil baru tamat SD, maka kemudian disekolahkan dan diangkat anak. Setelah besar dan tamat sarjana, anak ini mengurus semua toko.
Dan berkat bantuan anaknya ini semakin berkembang.
Setelah istrinya meninggal, bapak ini mewariskan seluruh hartanya ke anak angkat ini. Maka dia mengalihkan semua kepemilikan tanah, rumah dan toko ke anak angkatnya. Beliau khawatir kalau nanti meninggal hartanya menjadi masalah.
Bencana terjadi, setelah anak angkatnya berkeluarga, bapak ini diusir oleh anak angkatnya dan dibawa ke panti jompo ini.
Mendengar kisah bapak tua dari para pengasuh membuat saya bukan hanya sedih tetapi menjadi emosi dan “mengutuk” sikap anak angkatnya.
Dia menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih.
Dalam khazanah Jawa ada pepatah “kacang lali kulite” (kacang lupa kulitnya) yang artinya orang lupa dengan asal usulnya.
Dari yang bukan siapa-siapa, diangkat menjadi anak dengan segala fasilitas dan bahkan diwarisi harta yang banyak akan tetapi ujungnya mengusir orang tua angkatnya yang melimpahi cinta dan kebaikan.
Maka rasanya semua orang yang sehat dan nalar, pasti prihatin dengan kejadian itu dan mengecam perilaku anak angkat itu.
Ternyata dalam hubunganku dengan Tuhan, aku tidak lebih baik dari anak angkat itu. Aku juga orang yang “kacang lali kulite” aku sering durhaka pada Tuhan.
Sering kali aku membanggakan keakuanku, membanggakan ke hebatanku sehingga aku lupa dari mana datang semua yang aku punya itu.
Nabi Yeheskiel menggambarkan dengan amat baik: “Engkau mengandalkan kecantikanmu dan kemahsyuranmu kau gunakan untuk bersundal.”
Maka betapa penting pesan para leluhur: “Dadi uwong aja kaya kacang lali kulite.” (Jadi orang jangan seperti kacang lupa kulitnya).