Bacaan I: Ibr. 4: 1-5. 11
Mrk. 2: 1-12
DULU waktu masih frater novis, saya menjalani probasi (percobaan) menjadi buruh pabrik Tekstil APdi Tangerang. Dalam menjalani probasi itu, saya bekerja di gudang kain jadi. Setiap hari selama 2 bulan saya menjalani kegiatan sebagaimana buruh-buruh yang lain.
Pengalaman yang paling menarik adalah rasa persaudaraan yang luar biasa di antara para buruh. Meski saya orang baru dan tidak punya pengalaman dan yang paling utama tidak mempunyai tenaga sekuat mereka, saya tetap diterima mereka dengan baik.
Tiap kali istirahat saya mendengarkan cerita-cerita pengalaman mereka. Bahkan salah satu buruh yang paling senior sering memberi nasihat yang amat baik. Nasihat-nasihat itu bersumber dari pengalaman hidupnya.
Teman itu bercerita: “Wan, saya anak ketiga dari 5 bersaudara. Orangtua saya, dua-duanya guru dan mempunyai sawah yang luas di kampung sana. Keempat saudara saya semua sarjana, 2 jadi dokter, 1 kerja di bank dan 1 jadi dosen, sedang saya hanya lulus SMP. Kalau saya mengingat pengalaman masa lalu saya, sering saya menyesal, seandainya saya dulu nurut orangtua, mungkin saya juga sudah jadi sarjana.
Wan, setelah lulus SMP, saya tidak mau sekolah lagi. Saya mau ikut teman-teman kerja di Jakarta. Saya lihat teman-teman saya yang kerja di Jakarta, kalau pulang kampung banyak uang, dan pakaiannya bagus-bagus. Maka saya ingin seperti mereka.
Orangtua dan saudara-saudara saya marah, melarang saya pergi, tetapi saya tidak pernah mau mendengarkan. Saya hanya mendengarkan teman-teman saya yang mau berangkat ke Jakarta. Siapa pun yang memberi tahu dan bahkan menunjukkan bukti-bukti bahwa sekolah itu amat penting, tidak pernah bunyi untuk saya. Orangtua melarang dengan keras, semakin saya dilarang semakin saya yakin untuk pergi.
Akhirnya saya nekat pergi ke Jakarta.
Wan, kalau saya mengingat masa itu, saya juga heran, kenapa nasihat semua orang itu tidak ada yang saya dengarkan. Saya heran kenapa saya seperti orang yang tuli. Saya sekarang menyesal, sudah bikin malu orangtua dan saudara-saudara saya. Tetapi yang lebih penting adalah hidupku sekarang ini ya… hanya bisa jadi buruh.
Maka Wan, kamu meski sekarang kerja, usahakan kalau sore kamu kuliah, biar kamu tidak selamanya jadi buruh seperti saya.”
Saya terharu mendengarkan kisah teman itu. Ketegaran hati yang membuat tidak mau mendengarkan nasihat apa pun, selain apa yang dia mau menghasilkan penyesalan panjang.
Saya bisa membayangkan bagaimana ketika lebaran kumpul keluarga di mana semua saudaranya sukses sementara dirinya seperti itu.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam surat kepada orang Ibrani, pewartaan apa pun tidak berguna dan tidak bunyi bagi mereka yang tegar hati karena tidak beriman.
“Sabda pemberitaan itu tidak berguna bagi mereka, karena tidak bertumbuh seiring dengan pertumbuhan mereka, sebab mereka tidak beriman.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah aku mudah mendengarkan sabda-Nya?