Bacaan I: Yes. 38: 1-6.21-22.27-28
Injil: Mat. 12: 1-8
SAAT masih frater, saya live in di sebuah desa dan tinggal di keluarga petani. Bapak petani di mana saya tinggal, adalah seorang petani tulen.
Saya sebut sebagai petani tulen karena beliau keturunan petani, dan sejak kecil menjadi petani sampai sekarang. Selain bertani beliau juga memelihara sepasang lembu dan lima ekor kambing
Setiap hari beliau ke sawah untuk mengerjakan sawahnya, dan dilanjutkan mencari rumput atau daun-daunan untuk makan ternaknya.
Pagi-pagi ketika matahari belum terbit beliau sudah pergi ke sawah dan akan pulang ke rumah nanti menjelang mahgrib. Itulah yang dikerjakan setiap hari.
Kecuali hari Minggu, beliau tidak ke sawah, tetapi ke gereja untuk ikut ibadat atau perayaan ekaristi; setelah pulang dari gereja, beliau pergi untuk mencari makanan ternak hingga menjelang mahgrib.
Hal yang paling menarik bagi saya adalah, setiap pagi sebelum ke sawah dan nanti sore hari setelah mandi, beliau selalu berdoa Rosario, di depan meja kecil yang ditata sebagai semacam altar doa.
Di atas meja itu ada Salib, lilin dan patung keluarga kudus. Setiap hari ia berdoa di tempat itu.
Beliau mengatakan: “Frater, saya ini orang buta huruf, bisanya hanya doa Rosario. Ini wujud syukur saya dan penyerahan diri saya pada Allah. Allah selalu menjamin hidup saya. Saya amat yakin “Gusti ora sare” (Tuhan tidak tidur). Dalam hidup saya banyak mukjizat Frater”
Di suatu malam beliau bercerita tentang pengalaman mukjizat yang beliau alami:
“Frater, pernah suatu saat saya gagal panen. Semua padi habis dimakan wereng. Anehnya hanya di tempat saya, di tempat lain, di sawah teman-teman, mereka bisa panen.
Saya sedih sekali frater, stres. Saya tidak panen, sementara utang pupuk ke KUD harus dibayar, saya tidak tahu bagaimana dapat uang untuk membayarnya.
Di saat teman-teman panen padi, saya hanya bisa memanen damen (batang padi) untuk pakan ternak. Teman-teman menawarkan untuk ikut membantu panen dengan upah damen. Saya jalani semua itu.
Saya sedih, stres tetapi saya tetap berharap, Gusti ora sare.
Teman-teman menjemur gabah (bulir padi), saya menumpuk damen. Rumah dan halaman teman-teman penuh dengan karung-karung gabah, rumah dan halaman ini penuh dengan damen.
Frater, sesaat kemudian musim kemarau yang panjang. Di saat teman-teman yang punya ternak kesulitan mendapatkan pakan, saya punya pakan yang melimpah. Saat itu ternak mereka kurus-kurus, ternak saya gemuk-gemuk. Nah pada saat Lebaran Haji, ternak saya semua laku dengan harga yang tinggi, yang tidak pernah saya bayangkan. Dari hasil penjualan ternak, saya bisa mengembalikan utang ke KUD, bisa membeli bibit, bisa membeli pedhet (anak lembu) empat ekor dan bisa membeli cempe (anak kambing)10 ekor. Saya amat bersyukur. Bahkan teman-teman mengatakan bahwa saya yang panen damen lebih untung dibanding mereka yang panen padi.
Frater, pengalaman itu membuat saya tidak pernah takut dan was-was. Sungguh bagi saya Gusti ora sare, Dia selalu mendengarkan doa-doa saya, meski doa-doa itu tidak terucap. Dia selalu menjamin hidup saya.”
Ungkapan “Gusti ora sare” yang sering saya dengar, baik dari orangtua saya maupun dari banyak orang, adalah ungkapan iman yang mendalam akan Allah yang penuh kasih.
Ungkapan yang selalu menjadi pegangan hidup; hidup yang penuh iman dan pengharapan.