Renungan Harian 17 November 2020: Naik Kelas

0
431 views
Ilustrasi: Cincin nikah.


PW. St. Elisabeth dari Hungaria, Biarawati
Bacaan I: Why. 3: 1-6. 14-22
Injil: Luk. 19: 1-10
 
SETELAH misa Sabtu sore, ada pasangan suami istri yang masih muda meminta waktu untuk berbicara. Saya meminta mereka untuk sebentar menunggu di ruang tamu, karena saya masih ingin menyapa umat yang lain.

Setelah halaman gereja mulai kosong, saya segera ke ruang tamu untuk bertemu dengan pasangan suami istri yang sudah menunggu.
 
Setelah saya menyapa mereka, istri berkata: “Pastor, kami mau minta berkat untuk cincin ini; cincin ini untuk mengganti cincin perkawinan kami.”

“Oh, baik. Cincin yang lama kenapa? Hilang atau sudah tidak muat lagi?,” tanya saya.

Mendengar pertanyaan saya, mereka tiba-tiba terdiam dan saling berpandangan. “Emmm, cincin yang lama masih ada sih, pastor; cuma…. Gimana ya pastor, ceritanya agak panjang. Pastor punya waktu mendengarkan kami bercerita?,” suami menjawab.
 
“Pastor, sebenarnya kami minta berkat cincin ini untuk memperbaharui perkawinan kami. Selama hampir setahun ini  kami sudah pisah ranjang. Kami masih tinggal satu rumah, tetapi hampir tidak pernah bertegur sapa. Kami bicara seperlunya saja; bahkan kami cenderung pulang selarut mungkin supaya tinggal tidur tidak harus ketemu apalagi bicara.
 
Awal persoalan rumah tangga kami adalah perselingkuhan istri. Saya mendapati istri selingkuh dengan teman kantornya. Mulanya dia tidak mengakui, sehingga hal itu menimbulkan pertengkaran hampir tiap hari. Saya menjadi tidak percaya dengan istri dan saya jadi sering marah-marah.  Sampai kemudian dia mengakui dan minta maaf. Tetapi saya sulit memaafkan dan saya balas dendam. Jadi kemudian yang terjadi dalam rumah tangga kami tidak karuan. Istri selingkuh dan saya juga selingkuh untuk balas dendam.
 
Akhirnya kami lelah dengan situasi ini. Kira-kira sebulan yang lalu pastor, istri saya ngajak ngobrol. Kami berdua ngobrol di rumah. Istri tanya ke saya, rumah tangga ini mau diapakan, kalau begini terus apakah tidak lebih baik kita pisah saja. Istri saya mengatakan bahwa sebenarnya sejak ketahuan dan mengaku itu sudah tidak berhubungan lagi dengan teman kantornya itu. Dia sungguh-sungguh sudah bertobat. Saya sendiri sebenarnya selingkuh juga tidak sampai satu bulan, karena hanya ingin balas dendam.
 
Istri saya mengatakan bahwa dia amat mencintai saya, dan berharap bisa memulai lagi dari awal hidup perkawinan ini. Saya juga sadar kalau saya juga amat mencintai istri saya dan hanya karena sakit hati sehingga saya berbuat seperti itu.
 
Selama sebulan pastor, kami tiap malam ngobrol bareng membuka diri dan jujur satu sama lain. Akhirnya kami menyadari bahwa selama ini kami terlalu sibuk mengejar ambisi kami masing-masing sehingga lupa untuk saling memperhatikan dan menyayangi sehingga terjadi perselingkuhan itu. Istri saya salah karena selingkuh, dan saya juga salah karena kurang memberikan cinta sehingga menyebabkan istri selingkuh. Kami selama ini hidup rumah tangga tetapi cinta kami kurang mendalam dan rasanya seolah-olah saja.
 
Akhirnya kami sepakat memulai dari awal lagi rumah tangga kami. Persoalan rumah tangga ini kami anggap sebagai sekolah hidup, dan kami sekarang sudah naik kelas. Cinta kami lebih mendalam dan berjuang untuk semakin mendalam bukan biasa-biasa. Itulah pastor kenapa kami minta berkat cincin perkawinan lagi.”

Suami menutup kisahnya.
 
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali aku terjebak dengan sesuatu yang rutin dan biasa-biasa, jelek sih tidak, tetapi baik juga tidak.

Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Wahyu mengingatkan agar tidak suam-suam kuku: “Aku tahu segala pekerjaanmu, engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas. Jadi karena engkau suam-suam kuku dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan dikau dari mulut-Ku.”
 
Bagaimana dengan aku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here