Bacaan I: Ef. 2: 12-22
Injil: Luk. 12: 35-38
MALAM itu, ketika saya sedang libur di rumah, saya menemani bapak nonton tv sambil ngobrol “ngalor ngidul”. Malam itu, saya hanya berdua dengan bapak, sedang ibu sedang pergi kondangan dengan teman-temannya keluar kota.
Ketika sedang ngobrol tiba-tiba bapak berdiri. “Sik,” (sebentar) kata bapak sambil berjalan ke belakang.
Saya pikir bapak mau ke kamar mandi. Tetapi bapak tidak segera kembali, saya segera menyusul ke belakang. Saya khawatir kalau ada apa-apa dengan bapak di kamar mandi.
Ternyata bapak sedang menuangkan air dari termos-termos ke dalam panci yang besar dan menambah dengan air hingga hampir penuh. “Arep diagem apa Pak, kok bengi-bengi arep nggodok banyu?” tanyaku. (Pak mau buat apa kok malam-malam masak air?)
“Iki nyepake banyu panas ben mengko diagem siram ibu,” jawab bapak sambil meletakkan panci besar itu ke atas kompor yang sudah dihidupkan. (Ini menyiapkan air panas untuk mandi ibu).
“Lho kok akeh banget ta?,” tanyaku. (Kok banyak sekali?)
“Ibu yen kondur seka tindak adoh mesti siram jamas.” Jawab bapak. (ibu kalau pulang dari bepergian jauh selalu mandi keramas)
Tidak berapa lama bapak meletakkan ceret ke atas kompor, tetapi kompor tidak dinyalakan.
“Iki ditumpangke wae, mengko yen ibu wis rawuh lagi digodhok. Dadi sedheng ibu siram, banyune wis umep,” Kata bapak seolah mengerti keherananku. (ini hanya diletakkan aja nanti kalau ibu sudah pulang baru dimasak, sehingga sementara ibu mandi, air sudah masak)
Setelah itu bapak menyiapkan gelas, diisi gula dan teh; karena ibu senang minum teh tubruk.
Kami kembali ke depan dan bapak duduk nonton tv. Saya lihat bapak bertahan untuk tidak tidur, walaupun kelihatan sudah mengantuk.
“Pak, ibu kondur jam pira ta?” tanyaku. (Pak, ibu pulang jam berapa?)
“ya, mesti tengah wengi, wong resepsine bengi,” jawab bapak. (ya pasti tengah malam, karena resepsinya malam hari).
“Ya wis bapak sare sik wae, aku sing nunggu ibu, mengko yen ibu rawuh, bapak tak wungu,” pintaku. (Bapak tidur dulu saja, saya yang menunggu ibu, nanti kalau ibu pulang, bapak saya bangunkan).
“Ora papa, yen Mas Iwan arep bobok, bobok wae,” jawab bapak. (tidak apa-apa kalau kamu mau tidur, tidurlah)
Setengah satu dini hari, ibu sampai rumah. Setelah menyapa ibu, bapak ke belakang. Bapak menyiapkan ember besar di kamar mandi.
Lalu meminta saya untuk menuangkan air panas yang tadi sudah dimasukkan ke dalam termos-termos. Saya menuangkan tiga termos ke dalam ember yang telah disiapkan bapak.
Kemudian bapak mengisi dengan air dari bak sembari tangannya mengecek kehangatan air.
“Djeng, wis gek siram, kae banyune anget wis tak siapke,” kata bapak kepada ibu. (Bu, mandi, itu air hangat sudah saya siapkan)
Bapak kemudian ke dapur menyalakan kompor memasak air untuk bikin teh. Sementara ibu mandi bapak duduk di dapur menunggu air mendidih. Setelah air mendidih bapak menuangkan ke dalam gelas yang tadi sudah disiapkan. “Djeng, ngunjuk sik,” kata bapak. (Bu, minumlah dulu).
Bapak menemani ibu minum teh sembari ibu mengeringkan rambut.
Sebuah pemandangan yang luar biasa bagi saya. Cinta bapak pada ibu yang begitu besar, membuat bapak sabar menunggu ibu dan menyiapkan segala sesuatu untuk ibu dan membuat ibu bahagia.
Dari pengalaman itu, saya sadar dan mengerti, menunggu dan berjaga yang didasari cinta yang besar menjadikan semua dapat dijalankan dengan luar biasa seolah tanpa beban.
Andaikan menunggu dan berjaga karena kewajiban dan keterpaksaan pasti akan menyiksa.
Kiranya sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan St. Lukas: “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya sedang berjaga ketika ia datang,” harus dipahami dalam pengalaman cinta.
Berjaga dan menanti dengan penuh kasih menjadikan seseorang siap sedia menyambut kedatanganNya.
Adakah aku selalu berjaga dan menanti kedatanganNya dengan hasrat dan cinta yang besar?
Terimakasih Romo ??
Sangat ngena sekali.
Maturnuwun Rmo