Pesta St. Matius Rasul
Bacaan I: Ef. 4: 1-7. 11-13
Injil: Mat. 9: 9-13
SETIAP kali ada kerja bakti membersihkan gereja dan sekitarnya, ibu muda itu selalu membersihkan tempat-tempat yang tidak dikerjakan orang lain. Dia selalu bekerja sendiri, dan menyendiri. Begitu selesai dia langsung pulang; tidak pernah ikut kumpul-kumpul dengan umat yang lain.
Beberapa kali saya melihat ibu ikut misa, tetapi selalu di luar tidak pernah masuk ke gereja. Meski saat itu gereja tidak penuh. Pernah saya menegur, agar masuk tetapi dia tetap bergeming. Ibu itu tidak pernah menyambut komuni. Dan begitu selesai berkat langsung pulang.
Pernah suatu saat, ketika saya tidak mempersembahkan misa, saya mencoba menyapa ibu itu. Tetapi ibu kelihatan tidak ingin bicara dengan saya, hanya tersenyum dan segera menghindar.
Saya pernah bertanya pada salah satu umat tentang ibu itu, ia menjawab: “Memang selalu begitu pastor.”
Suatu sore, ibu muda itu datang. Ia meminta ijin untuk membersihkan patung bunda Maria, dan Hati Kudus Yesus.
Saya mempersilakan, dan ibu segera meninggalkan saya untuk ke gereja. Sejak saat itu tiga kali dalam seminggu, di sore hari ibu membersihkan patung dalam gereja.
Suatu malam, beberapa tokoh umat dan sesepuh datang menemui saya ingin berbicara.
Salah satu bapak bertanya kepada saya: “Maaf, Pastor, apakah benar, pastor yang mengijinkan ibu itu membersihkan patung-patung dalam gereja?”
“Iya betul,” jawab saya.
“Pastor harus segera menghentikan dan melarang ibu itu untuk membersihkan lagi.”
Bapak itu dengan tegas sedikit emosi meminta saya. “Lmemang dia merusak?,” tanyaku dengan agak terkejut.
“Tidak Bapak Pastor. Dia itu orang yang tidak pantas untuk itu, dia itu pelacur,” jawab bapak itu.
Saya sekarang benar-benar terkejut.
Untuk menutupi keterkejutan, saya bertanya: “Bapak-bapak yakin dan tahu persis?”
“Kami tahu persis, dia tiap malam selalu ada di tempat itu, beberapa dari kami melihat dengan mata kepala kami sendiri,” bapak itu menegaskan.
Dengan bercanda, sambil tertawa kecil saya menimpali: “Lho jangan-jangan bapak-bapak yang melihat itu pelanggannya?”
Hanya dua orang yang tertawa bersama saya, yang lain tertunduk dengan wajah tegang; mungkin candaan saya menyinggung mereka.
“Bapak-bapak, adakah yang salah dengan orang yang membersihkan patung-patung itu?,” tanya saya.
Dengan nada bercanda saya melanjutkan: “Begini, nanti kalau bunda Maria dan Tuhan Yesus protes, saya akan menghentikan.”
Mereka, diam dan masih tetap mendesak saya agar menghentikan ibu itu untuk membersihkan patung-patung itu.
Malam itu saya merenung: “Apa yang akan dikatakan bunda Maria dan Tuhan Yesus? Adakah orang itu akan dihakimi?”
Aku bertanya dalam diriku: “Adakah aku lebih pantas dari ibu itu? Ibu itu dianggap tidak pantas karena semua orang melihat dia sebagai orang yang tidak pantas, sedang dalam diriku mungkin lebih banyak hal yang tidak pantas.”
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Matius menyejukkan diriku: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang sakit.”