Bacaan I: 1Sam. 1: 24-28
Injil: Luk. 1: 46-56
BEBERAPA waktu yang lalu saya menerima tamu sepasang suami istri dan anak laki-lakinya. Ibu itu sejak bertemu dengan saya menangis terus; sampai susah untuk bicara. Bapak juga kelihatan amat sedih, sedang anak laki-lakinya kelihatan tenang-tenang saja.
Saya menunggu cukup lama untuk bisa mendengarkan persoalan yang dihadapi keluarga itu. “Romo, kedatangan kami ke sini untuk mohon nasihat romo bagi anak kami,” bapak itu membuka pembicaraan.
“Lho ada apa dengan anak bapak?,” tanya saya.
Sejauh saya kenal anak itu cukup aktif di gereja, sering tugas misdinar, bahkan sering kali misa harian dia bertugas menggantikan teman lain, dan tidak jarang hari minggu bertugas lebih dari sekali kali karena menggantikan teman lain.
Anak yang cukup dewasa, bisa membimbing teman-teman misdinar yang lebih muda dan amat diterima oleh teman-teman misdinar yang lain.
“Begini romo, beberapa hari yang lalu dia (menunjuk anak laki-lakinya) membawa formulir pendaftaran seminari menengah, untuk saya tanda tangani. Dia mengatakan setelah lulus SMA ini tidak mau kuliah tetapi mau masuk seminari.
Selama ini dia tidak pernah cerita dan juga tidak pernah minta izin tiba-tiba minta tanda tangan. Kami berdua syok dan amat keberatan kalau dia menjadi imam,” bapak itu menjelaskan.
“Lho, masuk seminari kan baik, seharusnya bapak bersyukur dan bahagia karena anak bapak menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi Imam,” jawab saya.
“Betul romo, menjadi imam itu panggilan mulia dan memang Gereja amat membutuhkan imam, tetapi jangan dia romo. Dia anak kami satu-satunya. Kami berjuang dengan doa dan air mata untuk mendapatkan dia.
Kami harus menunggu 12 tahun sampai istri saya bisa hamil dan kemudian melahirkan dia. Romo, kami masih keberatan untuk berpisah dengan dia. Dia boleh aktif di gereja, kegiatan ap apun di gereja boleh romo, kami tidak keberatan tetapi jangan menjadi imam.
Romo, kami mohon dengan sangat agar romo menasehati dia, agar dia membatalkan keinginannya.
Romo, mendapatkan dia itu anugerah besar bagi kami, tidak henti-hentinya kami bersyukur, dan sampai sekarang syukur kami belum habis, maka mohon jangan diambil dulu dari kami,” Bapak itu mengungkapkan keberatannya.
“Bapak, ibu, bukankah seharusnya rasa syukur dan kesadaran anak sebagai anugerah besar dalam keluarga membuat bapak ibu rela mempersembahkan anak itu kepada Tuhan?” kata saya.
“Romo, itu anugerah satu-satunya, kalau diberi lebih dari satu pasti kami tidak keberatan. Kami bersyukur maka kami mau menjaga dan merawat dia terus,” bapak itu menegaskan.
Saya bisa mengerti dan memahami perasaan bapak ibu itu.
Namun pada saat yang sama, saya juga berpikir dan menimbang-nimbang: “Betapa banyak di antara kita, termasuk saya, satu pihak sadar akan apa yang kuterima adalah anugerah cuma-cuma dari Allah, tetapi kemudian aku merasa berhak dan memegang erat apa yang aku punya. Sehingga ketika diminta maka aku menjadi “owel” (keberatan dan tidak rela untuk melepas).
Pengalaman syukur dan kesadaran akan anugerah tidak serta merta diikuti dengan kerelaan untuk memberi.”
Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan dalam Kitab Samuel pengalaman syukur dan kesadaran anugerah menghantar pada kerelaan untuk mempersembahkan kepada Tuhan.
Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah kerelaan dalam diriku untuk mempersembahkan anugerah yang kuterima dari Tuhan?